Minggu, 09 Maret 2008

Sang Pengantar Madu


Ratri memasuki mal tetap dengan langkah santai walau tahu betul bahwa dirinya telah terlambat hampir dua puluh menit dari waktu yang telah dia sepakati. Dia tidak terlalu merasa bersalah, tidak juga berusaha mempercepat langkahnya. Dia juga cukup lega karena laki-laki itu tidak sibuk menelepon atau mengirimkan pesan ke ponselnya untuk menyuruhnya segera datang ke tempat pertemuan mereka. Mereka sepakat untuk bertemu di salah satu restoran fast food di mal ini. Ratri yang menentukan tempatnya, juga waktunya. Tapi Ratri juga yang dengan setengah sengaja keluar kantor lebih lambat dari seharusnya, sehingga terlambat pula sampai disini. Tadi dia sudah mengirim pesan ke ponsel laki-laki itu, bahwa dia terpaksa datang terlambat. Dan jawaban yang diterimanya singkat dan sungguh melegakan : OK, aku tunggu saja disini sampai kau datang.

Sebenarnya Ratri sangat enggan pergi. Andai saja Budhe Sekar tidak meneleponnya langsung dari Mataram hanya untuk memastikan pertemuan ini, pasti dia akan memberikan seribu alasan untuk menghindar. Mungkin alasan harus keluar kota mendadak. Atau ada makan malam sekaligus pembicaraan bisnis dengan buyer Eropanya. Atau alasan lupa. Tapi kali ini tidak bisa begitu. Pertama karena telepon Budhe Sekar yang sampai dua kali itu. Kedua karena ibunya sendiri ikut-ikutan berkeras mewajibkannya bertemu dengan laki-laki itu. Kalau Budhe mewajibkankkan dengan cara yang halus, pakai alasan menitipkan madu asli dari Sumbawa untuknya, ibunya malahan dengan terus terang menyuruhnya datang karena laki-laki itu adalah kandidat yang sangat layak untuk dipertimbangkan. Jadi, Ratri melupakan seribu macam alasan menghindar dari pertemuan itu. Sebagai gantinya dia memilih datang terlambat.

Sekarang dia sudah berdiri di depan restoran fast food itu. Ada tiga laki-laki yang duduk sendirian. Yang berkaus hijau army duduk di pojok, menyelonjorkan kakinya, acuh terhadap sekelilingnya, asyik dengan buku di tangannya. Yang seorang lagi berkemeja lengan pendek putih, duduk di dekat jendela tapi sama sekali tidak memperhatikan jendela yang menyuguhkan pemandangan kota di waktu malam karena asyik menyuapkan makanan ke mulutnya sambil mengetik sesuatu di PDA-nya dengan tangan kiri. Seorang lagi duduk di hanya beberapa langkah dari pintu masuk, berkaus ketat, asyik menggoyang-goyangkan tungkainya di bawah meja sambil mengamati sekelilingnya. Diam-diam Ratri mengeluh dalam hati karena merasa tidak tertarik pada ketiganya. Tapi dia sudah kadung berdiri disini, tidak mungkin lagi untuk mundur dan pergi. Dia bisa membayangkan omelan ibunya dan protes halus tapi tajam Budhe Sekar. Ratri memutuskan untuk menelepon. Begitu terdengar nada sambung, melihat seorang laki-laki berdiri dari kursinya, melambai-lambaikan tangannya ke arah Ratri. Laki-laki itu bukan salah satu dari tiga laki-laki yang tadi dilihat Ratri duduk sendirian. Sejenak Ratri merasa sedikit lega.

“Hai, aku Abi, Abimanyu sebenarnya”
Ratri menyambut uluran tangannya sambil menyebutkan namanya, dan meletakkan tas besar berisi notebook-nya di salah satu kursi kosong. Mata Ratri langsung tertuju pada seorang bocah perempuan lucu berambut ekor kuda yang duduk di depan Abi, asyik menyendoki es krim strawberry. Abi langsung dapat membaca apa yang dipikirkan Ratri.
“Namanya Sheila. Dia kesini dengan neneknya tadi. Tapi neneknya menitipkannya padaku karena Sheila tidak mau diajak ke supermarket di sebelah, padahal sang nenek lupa membeli susu. Jadi aku menjaganya sementara neneknya kembali ke supermarket sebentar.”
Ratri cuma ber-o saja lalu mengambil tempat duduk di sebelah Sheila.
“Maaf, lama ya menunggunya?.Ada hal yang harus kuselesaikan tadi.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak ada acara apa-apa, waktuku luang sama sekali malam ini.” Abi menanggapi permintaan maaf Ratri dengan senyuman santai. Tahu-tahu Ratri menyukai senyuman itu.
“Bunda Sekar mengirimkan salam untukmu. Juga ini.”
Sebotol madu disorongkan Abi ke arah Ratri. Hanya botol kecil, tidak lebih besar dari botol kecap ukuran sedang. Dalam hati Ratri tertawa, bukan madu dan volumenya yang penting, tapi justru pengantarnya yang perlu diperhatikan.
“Terima-kasih. Sering ke Mataram?”
“Tidak juga. Cuma kebetulan sedang diundang ke sana untuk memberi kuliah. Jadi sekalian menengok Bunda. Bunda Sekar adalah sahabat keluargaku. Bertahun-tahun kami tinggal bersebelahan semasa Bunda masih di Jakarta.”
“Bunda Sekar-mu itu kakak ibuku. Waktu SMP dulu aku beberapa kali menghabiskan liburan sekolahku di rumahnya di Jakarta.”
“Berarti seharusnya kita sudah pernah bertemu sebelum ini, bertahun-tahun yang lalu, karena rumah Bunda termasuk habitat masa kecilku. Kemarin Bunda juga bilang begitu.”
“Mungkin saja. Apakah aku harus meminta maaf karena melupakanmu?”
Abi tertawa kecil. “Tentu saja tidak perlu, karena rasanya kita memang tidak pernah benar-benar berkenalan waktu itu. Tadi ketika melihatmu, aku juga sempat berpikir wajahmu tidak terlalu asing bagiku. Mungkin ini bisa dijadikan bukti bahwa kita pernah bertemu semasa kecil dulu, tapi kita tidak menyimpannya baik-baik dalam memori kita. Atau bisa jadi ini indikasi yang lain.”
Pembicaraan terputus sejenak karena kedatangan nenek Sheila menjemput cucunya. Abi mencium pipi bocah lucu itu sebelum menyerahkan pada neneknya. Sang bocah pergi sambil melambaikan tangannya pada Abi.
“Lucu ya dia?”
Ratri cuma mengangguk. Dia agak terkesan pada adegan Abi mencium pipi Sheila tadi. Juga terkesan karena bocah itu kelihatannya menyukai Abi.
Sepeninggal Sheila, mereka memesan makanan dan segera mulai makan malam .
“Bunda bilang kau desainer interior.”
“Desainer furnitur tepatnya. Aku sebenarnya arsitek yang agak tersesat sehingga jadi desainer furnitur. Kau dosen apa?
“Sastra Inggris.”
“Ke Surabaya dalam rangka memberi kuliah juga?”
“Tidak. Tadi siang ada jadwal bertemu teman yang memintaku membantu proyek penelitiannya tentang perkembangan sastra China perantauan. Dan malam ini jadwalku adalah mengantar madu kepadamu.” Abi mengucapkan kalimat terakhir tadi sambil memasang mimik muka lucu.
Ratri langsung merasa wajahnya agak memanas, mengingat arti kata mengantar madu yang baru saja keluar dari mulut laki-laki yang baru dikenalnya ini.

“Kau selalu pulang kerja selarut ini?”
Giliran Ratri yang tertawa. “Kau akan marah jika kukatakan aku setengah sengaja berlambat-lambat? Mungkin jika aku sedikit lebih giat, aku bisa menemuimu tepat waktu. Tapi aku memilih untuk datang terlambat dengan sedikit memperlambat etos kerjaku hari ini. Aku harus minta maaf padamu untuk hal ini.”
“Sudah kuduga. Sebelum menerima pesanmu, aku sudah tahu kau akan datang terlambat. Aku tidak keberatan, karena seperti aku bilang tadi, aku sama sekali luang malam ini.”
“Kalau memang kau tidak ada keperluan lain, kenapa tidak mengambil pesawat sore untuk pulang ke Jakarta?”
“Kan sudah kubilang tadi bahwa aku harus mengantarkan madu untukmu.”
Mereka berdua serentak tertawa bersama seusai kalimat tadi.
“Kau bisa saja mengantarkan madu itu ke kantorku tadi siang kemudian langsung ke bandara.”
Abi menggeleng. “Tidak, aku memilih untuk menghadapimu.”
“Boleh aku tahu sudah berapa kali kau mendapat tugas 'mengantar madu' seperti ini?”
Abi mengerenyutkan mulutnya dengan lucu sebelum menjawab. “Yang benar-benar harus mengantarkan madu baru sekali ini. Yang lain bentuknya tidak seperti ini. Bisa berbentuk mengantarkan ibuku ke rumah salah satu kenalan baiknya, atau menemani orang tuaku ke acara teman mereka. Terakhir kali bentuknya adalah menjemput adikku di rumah salah satu sahabatnya. Dan kau pasti tahu apa yang kutemui pada semua bentuk acara tersebut.”
Kembali mereka tertawa serentak.
“Kau sendiri bagaimana? Sering mendapat 'kiriman madu'?”
“Sama sepertimu, beberapa kali. Mungkin jadwalnya bisa lebih padat jika aku masih tinggal sekota dan serumah bersama mereka. Kau tahu, salah satu yang kusukai dari kenyataan bahwa aku tinggal terpisah dari mereka adalah aku tidak perlu setiap saat dihadapkan pada hal seperti itu.”
“Bukankah itu salah satu wujud dari cinta mereka kepadamu?”
“Ya, cuma kadang aku merasa tidak nyaman. Aku merasa seperti komoditas yang dibawa kesana kemari untuk dicarikan pembelinya. Aku jadi tahu perasaan furnitur-furnitur yang kudesain ketika mereka kupertemukan dengan para calon buyer-nya.”
“Tentu saja tidak seperti itu!” sergah Abi sambil tertawa.
“Ya mungkin tidak persis sama, tapi paling tidak mirip seperti itu. Kau tidak pernah merasakannya? Tak pernah terganggu dengan hal itu?”
“Ya, ada kalanya aku terganggu. Terutama jika itu terjadi ketika aku sedang sibuk dan tidak punya banyak waktu. Tapi seringkali aku juga menikmatinya. Mendapatkan teman baru cukup menyenangkan bukan? Menyenangkan orang-tuaku juga. Toh semua keputusan tetap ada di tanganku. Kalau kau jadi tahu perasaan furniturmu, aku jadi tahu perasaan mahasiswaku jika mereka tahu-tahu; tanpa mereka duga; mendapatkan soal ujianku ternyata dalam bentuk pilihan ganda”
“Jadi kali ini pun kau datang juga dengan target utama menyenangkan orang-tuamu dan Budhe Sekar?”
“Hei, tolong jangan tersinggung! Aku tidak bermaksud buruk atau merendahkanmu.”
“Hei tenang saja! Aku sama sekali tidak tersinggung.”
“OK, seperti biasa, aku memang ingin membuat mereka senang karena aku patuh pada permintaan mereka. Tapi tidak itu saja. Aku ingin bertemu dengan perempuan yang sangat dijagokan dan direkomendasikan dengan begitu bersemangat oleh Bunda Sekar. Kau mau tahu apa saja yang diceritakan Bunda tentangmu padaku?”
Ratri menggeleng cepat-cepat. Dia tidak bisa menahan rasa gelinya terhadap cara Abi mengucapkan kata 'dijagokan dan direkomendasikan' tadi.
“Ingat, aku keponakan dari Bunda Sekar-mu itu. Sebagai keluarga tentu tidak etis jika mengumbar kejelekan keponakannya. Jadi yang kau dengar darinya adalah segudang sisi baikku. Penilaian yang sangat subyektif tentu saja.”
“Ya, karena itu aku datang untuk melakukan observasi. Dan harus kuakui kau sudah dapat poin plus karena sengaja datang terlambat, tidak gugup dan tetap apa adanya, juga tidak menutupi nafsu makanmu dengan memesan porsi kecil dan membuat suapan-suapan mini.”
Ratri benar-benar tergelak-gelak sekarang. Dia memang tidak melakukan apa-apa sebelum keluar dari kantor tadi. Tidak menghapus lapisan minyak di pipinya. Tidak juga berusaha memulaskan bedak baru ke wajahnya. Dia hanya mengganti sneaker yang digunakannya seharian di sample maker dengan sepatu mochasin dan membubuhkan lip gloss untuk bibirnya, dan menyisir rambutnya dengan jari sesaat sebelum masuk ke resto ini.
“Tolong jangan laporkan dosa-dosa tadi pada Bunda Sekar-mu! Aku bisa mendapatkan masalah jika dosa-dosa seperti itu sampai ke telinga ibuku.”
“Apakah kau selalu melakukan dosa-osa semacam itu setiap kali ada yang 'mengantarkan madu' padamu? Atau hanya kepadaku saja?”
“Tidak selalu, hanya jika proses itu tidak dalam 'pengawasan' yang ketat seperti ini. Jika pengantarnya datang sendirian dan aku harus menemuinya sendirian, aku hampir pasti melakukan dosa-dosa itu.”
“Kau membayangkan sosokku seperti apa?”
Ratri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia sungkan untuk mengatakan bahwa tadi siang dia membayangkan sosok yang akan ditemuinya adalah sebagai laki-laki pendiam yang akan lebih banyak mendengarkannya berbicara dan akan mengiyakan nyaris seluruh pernyataannya. Dia juga membayangkan sosok itu dalam balutan kemeja lengan panjang dan celana kain model lama yang biasanya dikenakan dosen-dosennya dulu. Juga kaca mata tebal yang serius dan model rambut belah pinggir yang kelimis. Dia membayangkan laki-laki ini sebagai sosok yang membosankan!
“Sorry, aku punya stereotip negatif tentang orang-orang yang terlambat menikah seperti kita. Bagiku mereka rata-rata adalah orang-orang kuper yang sibuk dengan dirinya sendiri karena itulah upayanya untuk menutupi ketidak-percayaan akan dirinya dan juga ketidak-bahagiaannya.”
Abi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. “Mengerikan sekali ya gambaran tentang kita?”
Lagi-lagi mimik muka Abi membuat Ratri tidak dapat menahan tawanya.
“Hei, kenapa kau memilih cara seperti ini?”
“Mengantarkan madu kesana kemari maksudmu?”
“Ya. Bukankah kau ada di lingkungan yang sangat menguntungkan? Bukankah sebenarnya kau bisa menemukannya dari kalangan mahasiswimu sendiri? Aku yakin paling tidak ada satu atau dua mahasiswi yang mengidolakanmu.”
“Mungkin kau benar. Tapi aku punya perspektif pribadi mengenai hal itu. Mungkin sebenarnya tidak masalah menikah dengan mahasiswi sendiri. Cuma aku adalah orang yang sangat konservatif. Untuk hal yang satu ini aku selalu merasa kurang pas dengan yang jauh lebih muda. Mahasiswi-mahasiswi itu masih sangat dinamis. Sangat hidup dan bergerakpun sangat cepat. Sementara mentalitasku di umur ini tidak lagi sedinamis mereka. Sebagai dosen mereka, aku bisa mengiringi mereka. Tapi sebagai pasangan hidup, aku tidak yakin. Aku sudah melamban, sehingga bisa jadi pelamban bagi mereka. Itu yang aku tidak mau. Biarlah yang bergerak cepat sekarang, nanti melamban pada waktunya, secara alami, dan bukan karena terpaksa melamban.”
“Panjang juga ya uraiannya?” sindir Ratri.
“Ya. Dan kesimpulannya adalah bahwa aku lebih menyukai yang sebaya saja. Karena itu aku rela-rela saja 'mengantarkan madu' kesana-kemari.”
“Bagaimana dengan kekasih terakhirmu? Apakah tiba-tiba dia bergerak cepat dan melompat sehingga hilang tanpa bisa kau cegah?”
“Hmmmm ...... kalau yang itu bukan karena masalah gerakan. Waktu itu aku dapat beasiswa ke Inggris, sedangkan dia sedang menikmati karir pesatnya. Jadi aku berangkat tanpa dia, dengan perjanjian tidak akan ada yang berubah dengan hubungan kami. Tahun pertama berjalan lancar. Tahun kedua dia memutuskan menikah dengan salah satu kliennya dan pindah ke Australia bersama bule itu.”
“Wow .......!” Mata Ratri terbelalak.
Abi mengangguk-angguk. “Ya, dia menolak untuk menikah dan menemaniku di Inggris karena merasa sayang dengan karirnya. Tapi pada akhirnya pergi juga ke Australia tanpa karir itu.”
“Jadi membenci perempuan karir?”
“Awalnya. Tapi kemudian mengerti bahwa bukan karir atau yang lain masalahnya. Tapi karena kami memang tidak berjodoh. Kami berhubungan nyaris lima tahun lamanya. Sedangkan dia baru tujuh bulan kenal bule itu. Yaaaa..... itulah jodoh. Bisa datang kapan saja, dimana saja, dan dengan cara yang kita tidak pernah sangka sekalipun.”
“Kau begitu patah hati sehingga tidak segera mencari penggantinya?”
“Bukan seperti itu. Awalnya aku cuma ingin istirahat sebentar. Lagipula tidak baik kan memaksakan diri? Tapi ternyata waktu berjalan cepat juga.”
“Merasa dikejar umur?”
“Tidak terlalu. Cuma kupikir ada benarnya jika mereka bilang aku sebaiknya segera menikah. Tidak ada jeleknya kan? Jadi ya kuikuti saja proses-proses seperti 'mengantar madu' ini. Ini kan salah satu upaya untuk menyempurnakan hidup.”
“Bagaimana kau bisa begitu menikmati hal seperti itu?” Ratri heran karena dia sendiri merasa kesulitan untuk menikmati prosesi-prosesi semacam itu.
“Kenapa harus membencinya? Keputusan toh tetap ada di tanganku. Dan lagi bukankah menyenangkan bertemu dengan rekan-rekan seperjuangan?”
Mau tidak mau Ratri tertawa karena istilah 'rekan-rekan seperjuangan' itu.
“Kau sendiri mengapa begitu membencinya?”
“Karena aku merasa seperti komoditas! Karena mereka semua tidak percaya bahwa hidupku bahagia dan baik-baik saja! Karena mereka semua ramai-ramai mengasihaniku, sementara susah sekali untuk aku membuktikan bahwa aku bahagia lahir dan batin!”
Abi terbahak-bahak hingga matanya menyipit. “Pasti kau terlalu melebih-lebihkan! Itu hanya sebuah ekspresi cinta mereka terhadapmu saja.”
Ratri menggeleng sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. “Aku rasa aku tidak berlebihan. Aku tidak suka pandangan semua anggota keluarga besarku ketika aku datang ke pernikahan sepupu-sepupuku yang lebih muda. Susah sekali memperlihatkan bahwa hidupku bahagia walau aku belum menemukan suamiku.”
“Hei hei......, tenang!”
“Aku tenang, mereka yang tidak tenang sehingga justru membuat hidupku tidak nyaman.”
“OK, jadi sekarang apa sebenarnya 'penyakitmu'?”
“Aku sudah hampir menikah dua tahun yang lalu. Kami sudah bertunangan. Kedua keluarga sudah bertemu dan menetapkan tanggal. Lalu tahu-tahu semua berubah. Kami sama-sama tidak tahu persis penyebabnya. Tapi hubungan jadi begitu buruk. Untuk hal-hal sepele kami bisa bertengkar begitu hebat, tidak ada yang mau mengalah, dan malahan saling menyakiti. Lalu timbul pikiran, jika sekarang saja bisa begitu mengerikan, bagaimana dengan nanti jika pernikahan itu benar-benar sudah terjadi? Kami jadi saling meragukan. Dan akhirnya kami memilih berpisah. Tentu saja semua keluarga kecewa. Tapi kami sudah terlanjur takut satu sama lain, dan berpisah sungguh terasa nyaman.”
“Lalu kau patah hati?”
“Entahlah. Rasanya tidak persis seperti itu. Toh itu bukan keputusan sepihak. Tapi semua orang bilang begitu. Sebenarnya yang aku merasakan hal yang sama sepertimu : ingin beristirahat sejenak. Tapi mereka malah menuduhku macam-macam. Dan yang juga menjengkelkan adalah orang-orang yang mereka bawa padaku adalah orang-orang yang panik dikejar umur, seakan cuma ada satu tujuan dalam hidup mereka, dan siap mencaplok apapun yang ada di depan mata, tanpa merasa perlu untuk mempelajarinya terlebih dulu, karena tidak ada cukup waktu lagi. Aku merasa aneh dengan semua hal itu.”
“Haaaa..... separah itu?!”
“Ya! Dan ketika aku menolak mereka, para comblang itu langsung menganggapku sebagai perempuan berhati dingin yang sangat pemilih tanpa peduli sisi baik para jagoan, dan tidak tahu prioritas hidup! Gila kan?”
“Jadi, segera menikah bukan prioritasmu sekarang?”
“Bukan begitu maksudku! Tentu saja aku tidak keberatan untuk segera menikah. Cuma aku juga tidak mau asal menikah. Aku tidak mau asal comot. Aku tidak mau kehilangan hakku untuk mencintai dan dicintai. Tidak salah kan jika aku ingin menata hidupku sendiri? Semasa lajang aku merasa bahagia. Aku mau nanti aku punya keluarga yang bahagia juga. Dan itu artinya tidak asal comot para jagoan yang putus asa itu!”
Ratri melihat Abi tertawa hingga matanya begitu menyipit.
“Kau benar-benar perempuan yang berenergi! Aku suka itu.”
“Kau pikir kau akan menemui perempuan putus asa ketika menungguku di sini tadi?”
“Deskripsi dari Bunda tidak seperti itu. Bunda hanya bilang kau perempuan pintar yang pekerja keras.”
“Kau tahu, itu cara lain untuk mengatakanku sebagai perempuan gila kerja.”
“Ayolah ......., jangan terlalu sinis! Mereka bermaksud membantu dengan mempertemukanmu dengan jagoan-jagoan itu.” Abi membuat tanda petik dengan kedua jari telunjuknya ketika sampai pada kata 'jagoan-jagoan'. “Mereka tidak menghilangkan hakmu sebagai decision maker kan? Kau tetap bisa menolak mereka semua. Bukankah itu satu win-win solution juga? Yaaaa .... walau kadang mereka tidak puas dengan keputusanmu, tapi mereka tetap menghargainya kan?”
“Ya, tapi juga diam-diam mengecamku.”
“Tapi tidak cuma mengecam kan? Mereka terus berusaha membantumu dengan terus mengirimkan 'pengantar-pengantar madu' padamu. Iya kan?”
“Ya, kau benar, mereka sungguh-sungguh mencintaiku.”
Abi menjentikkan jarinya dengan riang tanda setuju. Ratri jadi berpikir, bagaimana dia jika sedang dalam ruang kuliah? Apakah tetap riang, simpatik, dan menyenangkan seperti ini? Atau berubah arogan dan kalem? Ah, pasti ada saja mahasiswi yang jatuh hati pada laki-laki ini. Dengan postur tinggi ramping dan penampilan bersih seperti ini dia layak untuk diincar oleh gadis-gadis muda itu. Apalagi wajahnya walau sederhana tapi tampak cerah dan ramah karena senyumnya cukup murah. Dan bukankah banyak gadis yang menyukai laki-laki yang lebih tua?
“Sudah? Dapat nilai berapa aku?”
Ratri merasakan mukanya panas dan kehilangan kata-kata untuk menjawabnya.
“Semoga kau berpikir aku lebih mendingan daripada 'pengantar madu' yang datang sebelumku.”
Untuk kedua kalinya Ratri merasa mukanya panas karena tebakan yang tepat itu.
“Hei dengar, nanti malam pasti Bunda meneleponku untuk bertanya apakah madu kirimannya sudah sampai ke tangan yang berhak. Aku sudah punya jawaban untuk itu. Tapi aku belum punya jawaban jika beliau bertanya kapan kita akan bertemu lagi.”
“Apakah kau mau kita bertemu lagi?”
“Ya. Kau keberatan?”
“Rasanya tidak.”
“Good! Tapi aku baru bisa datang lagi hari Sabtu tiga minggu yang akan datang. Ada ujian tengah semester mulai minggu depan. Tidak apa-apa ya? Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan itu.”
Ratri geli karena Abi meminta ijin seakan-akan mereka sudah jadi pasangan.
“Hei, aku serius!”
“OK OK, tentu saja tidak apa-apa!” jawab Ratri sambil menahan tawa.
“Ah, aku tahu..... kau tidak percaya padaku kan?”
“Apakah kau selalu bersikap seperti ini setiap kali melakukan tugas 'mengantar madu'?”
Abi menggeleng. “This is the first time. Apakah kau akan menolak bertemu denganku lagi karena meragukanku?”
Ratri memandang laki-laki yang ada di depannya. Dia harus mengakui bahwa laki-laki ini menarik. Dan dia juga menyukai pertemuan pertama ini. Tapi terlalu cepat untuk membuat sebuah keputusan pada pertemuan pertama.
“OK, aku mengerti kau ragu. Tapi marilah bertemu tiga minggu lagi, paling tidak sebagai teman, agar kita bisa saling melihat dengan lebih detail. Lihat, kita bisa bercakap-cakap dengan santai dan bersikap biasa seperti dua orang yang telah lama saling kenal. Bukankah itu ada artinya? Aku tidak akan berpikir untuk membuat janji pertemuan selanjutnya jika aku tidak merasa nyaman denganmu atau melihat kau tersiksa denganku selama pertemuan pertama ini. “
Ratri tahu apa yang dikatakan Abi benar. Dia juga menyukai pertemuan ini.
“Baiklah, kutunggu kau tiga minggu lagi.”
Senyum Abi mengembang. “Dan tolong jangan kaget karena aku akan agak sering meneleponmu.”
“OK.”
“Lalu, boleh aku antar kau pulang dengan taksi malam ini? Karena aku tidak mau menunggu di restoran seperti ini lagi tiga minggu nanti. Aku perlu alamat yang tepat.”
Lagi-lagi Ratri tertawa.
“Oh ya, masih satu lagi.”
“Ah, apalagi?”
“Boleh aku minta kau untuk berhenti menerima 'kiriman madu' dari siapapun untuk sementara ini, paling tidak sampai kita berhasil membuat satu kesepakatan?”
“Dan sementara itu kau juga akan berhenti menjadi 'pengantar madu'?”
“Deal !” jawab Abi mantap.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

trus . . . si ratri binanti sama abimanyu gimana akhirnya, sampai pacaran nggak (atau Taaruf) hasilnya gimana mbak . . . . ?

Anonim mengatakan...

Ending yang bagus mbak . Jadi mikirin nih apakah mereka jadian atau tidak yah ?