Minggu, 22 Desember 2013

Betapa Egois Hidup Saya

Biasanya saya dan bapak saya punya selera yang sama soal acara televisi. Sama-sama tidak tahan menonton dan mengikuti sinetron dan infotainment. Tapi tahu-tahu beberapa hari yang lalu ketika saya memegang remote control Bapak minta nonton sinetron saja. Padahal jam itu adalah jamnya siaran berita. Ketika saya tanya kenapa, jawabnya “malas lihat berita, jadi merasa ga punya harapan masa depan yang baik...” Itupun diucapkan dengan nada rendah. Walau tidak setuju akhirnya saya pencet juga remote control ke stasiun TV yang memang jam segitu sudah bersinetron. Dan seperti yang saya duga, tak lama beliau bertahan. Tak lebih dari 15 menit sudah angkat bokong, ngeloyor pindah ke teras depan. Jadi saya leluasa pindah ke televisi yang memberitakan negeri ini dengan segala carut marutnya. Lalu kalimat bapak saya tadi terngiang kembali di telinga. Saya jadi bertanya pada diri sendiri, apa gunanya berita seperti itu untuk saya?

Ya, apa sebenarnya gunanya berita seperti itu? Selama ini saya menganggapnya sebagai informasi yang penting. Kenapa saya bilang penting, karena saya merasa itu adalah hal terkini yang terjadi di negeri ini. Berarti mempengaruhi kehidupan saya langsung atau tidak langsung. Saya juga merasa bodoh jika dalam satu pembicaraan dengan topik seperti itu terus ternyata saya tidak dapat mengikuti karena kurang informasi. Tapi setelah semua itu terus apa untungnya mengetahuinya? Kata teman untungnya adalah jadi bisa menentukan pilihan politik, termasuk memilih caleg, presiden, ataupun jabatan lainnya. Benarkah, tanya saya. Dia tertawa, enggak juga. Katanya yang begitu-begitu lebih banyak salah pilihnya daripada benarnya. Sebab sudah terlalu banyak yang buruk ketimbang yang berbudi. Masih katanya, coba lihat di berita-berita itu, bahkan mereka-mereka yang kita sangka orang baik dan pantas diberi kepercayaanpun pada akhirnya terbukti korupsi juga. Iya juga sih, batin saya.

So, benarkah negeri ini begitu buruk sampai bapak saya yang sudah sepuh itu merasa tak punya harapan? Jika  benar, alangkah menyedihkan tinggal di negeri ini ... hiks hiks ....  Nah pas mikir betapa sedihnya itu pas kemudian saya membuka salah satu koran nasional. Dari dulu koran tersebut selalu menyediakan satu halaman yang memuat profil-profil yang menurut bahasa sekarang menginspirasi. Yang dimuat tidak cuma orang asing. Malah sepengetahuan saya lebih banyak orang lokal. Dan membaca salah satu dari mereka hari itu membuat saya merasa memiliki harapan.

Ya, mereka orang-orang yang menurut saya memberi harapan dan membuktikan bahwa bangsa ini tak seluruhnya hitam. Mereka berbuat sesuatu untuk orang lain. Ada yang dengan bayaran minim tetap bertahan menjaga mercu suar di pulau terpencil. Ada yang dengan dana sendiri membuat sekolah untuk masyarakat sekitarnya. Ada yang dengan suka rela mereboisasi hutan demi menyelamatkan sumber mata air. Ada yang menanami daerah pantai dengan bakau demi menghindarkannya dari abrasi sekaligus memberi ruang hidup untuk kepiting. Ada yang mengabdikan dirinya menjadi bidan dan guru di daerah terpencil. Ada yang nekad membuat rumah sakit apung demi mereka yang tinggal di pulau-pulau yang minim fasilitas kesehatan. Ada yang membuat bank sampah. Ada ..... ada ..... ada ...... Banyakkkkkkk....

Ya, mereka ada. Dan ironisnya para hero itu justru rata-rata mereka yang ada di bawah, hidup tak berlebihan. Justru dalam kondisi seperti itu mereka bisa berbuat sesuatu yang hebat. Bandingkan dengan para petinggi yang duduk di kursi di awang-awang sana, yang ketika berkampanye bermanis mulut tapi seringkali kemudian berakhir di gelandangan KPK.
                                                                                                                                       

Ya, saya yakin bangsa ini masih mempunyai harapan. Tak peduli betapa terkenalnya kita sebagai negara korup, tetap saja ada orang-orang baik disini. Ini menentramkan saya tentu saja, karena bagaimanapun buruknya sekarang, tapi tetap ada harapan. Bagaimanapun hitam sekarang, tetap masih ada titik putih. Orang-orang baik belum sirna. Yang penting adalah bagaimana menambah jumlahnya menjadi lebih banyak. Ya, menambah jumlahnya menjadi lebih banyak, itu kata kuncinya. Dan seketika itu saya begitu sadar, BETAPA EGOIS HIDUP SAYA.........  

Minggu, 03 November 2013

NYALEG

Seorang sahabat pada satu kesempatan kumpul-kumpul menyatakan dirinya akan maju jadi caleg pada Pemilu tahun depan. Dan saya terperangah. Heran, juga kaget. Karena menurut saya menjadi anggota legislatif bukanlah cita-cita dan profesi yang umum. Aneh ya kalau saya pakai kata ‘umum’. Apa ya, menurut saya tidak umum karena rasanya belum ada bocah TK yang ketika ditanya gurunya ingin menjadi apa kelak terus menjawab “mau jadi anggota DPR, Bu Guru”. Hehheheheeh .... alasan konyol ya? Tapi memang itu yang terbersit di benak saya. Dan alasan kedua, karena menjadi anggota legislatif menurut saya bukanlah profesi yang layak diidamkan jika maksudnya untuk mencari kekayaan. Sebab bagi saya menjadi anggota legislatif itu lebih sebagai pengabdian ketimbang profesi. Tapi kan mereka digaji, besar pula, demikian protes sahabat saya yang lain. Jadi menurutnya tidak cukup layak kalau disebut pengabdian semata. Karena kalau itu wujud pengabdian maka gajinya ga segitu gede hohah kaleee.... Ini lagi-lagi keluar dari mulut sahabat saya satunya. OK-lah, akhirnya saya sepakat itu sebuah profesi, sama dengan dokter, tentara, arsitek, petani, dan lainnya. Baiklah, saya menurut, toh kenyataannya banyak politisi yang menggantungkan hidupnya dari profesi itu.

Jadi seorang sahabat saya ingin menjadi anggota legislatif. Saya termenung. Bukan karena saya meragukan kemampuannya. Saya tahu secara otak dia cukup kompeten. Secara hati juga selama ini saya merasa dia juga cukup terjaga. Tapi justru yang kedua ini yang mengganggu saya. Lihat saja apa yang dilakukan oleh para anggota legislatif itu. Tak jauh-jauh dari masalah uang kotor dengan berbagai bentuk perwujudannya. Bahkan sebelum mereka terpilih pun konon segala bentuk uang kotor itu sudah terlibat dalam proses pemenangan. Coba lihat saja betapa berita di televisi disesaki dengan hal semacam itu. Nah, apa yang dilakukan sahabat saya ini nanti, baik ketika berusaha meraih cita-citanya maupun jika nanti cita-cita itu tercapai? Apakah dia akan tetap menjadi orang yang kompeten dan bersih seperti sekarang? Ah, siapa yang menjamin? Berarti saya ga percaya dengan sahabat sendiri? Ehmmmmm .... sayangnya saya harus menjawab ya, saya tidak percaya pada sahabat saya sendiri. Ini masalah uang gitu lhoooooo.... Uang, seperti semua orang bilang, bisa mengubah banyak hal, termasuk membuat yang baik-baik jadi enggak karuan.

Tapi kalau bukan orang-orang yang kompeten dan bersih seperti dia, terus siapa lagi yang harus maju? Ini pertanyaan sahabat saya yang lain. Iya juga sih, kalau bukan dia bisa jadi orang yang lebih ga karuan yang bakal maju dan terpilih. Negara ini butuh orang yang berkualitas, berhati, dan bermoral tinggi untuk ada di atas, begitu katanya lagi. Ehmmmmm tapi bagaimana kalau dia ternyata tidak bisa jadi sama seperti sekarang setelah ada di atas nanti? Bukankah sudah banyak contohnya? Ini ceritanya saya tetap ngotot. Kali ini sahabat saya ganti yang manyun karena kengototan saya. Lalu kami sama-sama tak berminat meneruskan perdebatan, juga tak menjanjikan akan mendukung sahabat yang bakal nyaleg tsb. Wis biarin ajalah, begitu kata sahabat saya tanpa minat.

Korupsi. Ya, itu masalahnya. Lihat bagaimana mereka yang di atas sana dengan enteng melakukannya, meraup uang yang sebenar hak orang banyak, tanpa banyak merasa berdosa. Korupsinya sering-sering berjamaah pula. Sudah gaji tinggi, ga perlu demo kayak buruh setiap kali minta tambah gaji, ehhhhh masih korupsi pula. Menyakitkan tho? Dannnn.... bagi saya lebih menyakitkan jika yang melakukan itu adalah mereka yang saya kenal. Sakitnya berlipat-lipat dah! Coba bayangkan jika suatu saat muncul di televisi pemberitaan soal korupsi dan pelakunya kita kenal secara personal sebagai pribadi yang baik dan bersih. Nyesek kan? Sakit hati kan? Pasti deh tidak akan berhenti dari sekedar ucapan “nggak nyangka ya dia begitu”. Dijamin dah kecewanya bakal berlipat ganda!

Kali ini teman saya yang mau nyaleg tadi angkat bicara. “Halooooo... saya belum jadi, belum korupsi, dan tidak berkeinginan untuk korupsi lhoooo... Kok semua pada bertingkah seakan saya sudah pasti akan korupsi ya?” Dia mengatakannya sambil tersenyum-senyum. Saya jadi merasa berdosa. Lalu lanjutnya, “Percayalah, tetap ada orang-orang yang punya komitmen dan dedikasi untuk menjadikan negeri ini lebih baik. Negara ini tak akan pernah jadi lebih baik jika semua memilih berada di luar lapangan saja. Masuk ke lapangan dan buat perubahan!” Lagi-lagi saya diam.

Nah, jadi bagaimana? Ya bagaimana lagi, saya cuma berharap dia akan tetap pribadi yang saya kenal sekarang, pribadi yang berniat masuk agar dapat membuat perubahan di atas sana. Ya, semoga dia kuat untuk mewujudkan itu, ga cuma kayak saya yang bisanya berprasangka buruk..... hehhehehehehehe ....


2014 segera datang, selamat berjuang, Sahabat!

Sabtu, 19 Oktober 2013

METAMORFOSA ?

Manusia berubah. Manusia berproses. Sadar ga? Pasti sadar dong...... Ya, kita semua berubah. Seproses demi seproses. Saya jadi ingat pelajaran Biologi dulu, metamorfosa kupu-kupu. Proses bagaimana ulat yang stigmanya buruk rupa berproses menjadi kepompong lalu ‘bertapa’ demi membentuk sayap dan organ lain. Lalu yang keluar dari kepompong tak lagi si buruk rupa melainkan si kupu-kupu cantik dengan sayap halus aneka rupa. Metamorfosa. Dari buruk menjadi cantik. Berarti dari negatif ke positif.

Bagaimana dengan kita manusia? Saya kok yakin ‘metamorfosa’ manusia tak selamanya melulu dari negatif ke positif. Kalau itu masih boleh disebut ‘metamorfosa’, maka terhadap manusia arahnya saya yakin lebih dari dua. Dan tak cuma sekali, alias terus menerus terjadi. Saya melihat diri sendiri. Saya sampai saat ini saya telah berproses dari mani dan ovum menjadi zigot, embrio, bayi, balita, anak-anak, remaja, dan dewasa. Selanjutnya mungkin bakal tua lalu mati, dan menjadi renik debu. Itu baru yang fisik, yang arahnya linier tanpa kemungkinan ulang. Menurut saya mental dan moral saya juga berproses. Seorang rekan pernah berujar, “Saya dulu kenal kamu sebagai orang yang sabar, bisa ngadepin orang pabrik tanpa marah-marah. Kok sekarang kamu bisa dengan dengan lancar jaya ngamuk ke Kepala Pabrik ya?”. Nah lho, bukankah itu bukti konkrit bahwa saya berproses dari positif ke negatif? Itu baru satu, saya yakin ada banyak lagi yang lain, baik yang berbukti konkrit maupun yang tidak. Jadi manusia sungguh berproses, tanpa kecuali.

Tempo hari seorang politisi ditangkap KPK. Hal yang cukup biasa di negeri ini sebenarnya. Yang agak membedakan khususnya bagi saya sebenarnya adalah saya; dan mungkin banyak orang yang lain; menjadi saksi bagaimana beliau ini berproses. Sungguh saya masih ingat bagaimana dia dulu awal-awalnya moncer. Seorang akademisi lulusan luar negeri yang tampak cerdas, perpenampilan cakep dengan senyum yang sanggup membuat ibu saya mengidolakannya. Dia wara-wiri di koran dan layar televisi berbicara ini itu. Waktu itu saya sempat berpikir pasti banyak mahasiswinya yang nge-fans. Lha manis lho, pinter pula. Lalu saking piawainya beliau, pemerintah kepincut. Masuklah beliau ke jajaran petinggi. Lalu setelahnya menjadi merambah menjadi anggota parlemen sambil terus menjadi pejabat negara. Amboi betapa manis sebenarnya proses itu. Perjalanan karir yang banyak orang lain hanya bisa memimpikannya.

Tapi ternyata ada unsur-unsur yang mempengaruhi proses. Dan sungguh tak terkira hebatnya. Salah satu unsur itu adalah uang. Teman, sungguh tak terkira pengaruh si uang ini. Dia bisa jadi semacam katalisator proses. Cuma arahnya bisa macam-macam, baik positif maupun negatif. Dan kemarin proses si moncer itu terkatalis ke arah negatif. Saya tak mengenalnya secara pribadi. Juga tak termasuk yang mengidolakannya. Tapi melihat betapa moncernya dia di masa itu, betapa bagusnya, saya jadi ikut menyayangkan.

Contoh lain, seorang muda yang menurut saya juga termasuk si cerdas. Saya sudah melihatnya wara-wiri di media sejak jaman dianya mahasiswa. Waktu itu dia adalah ketua organisasi kepemudaan. Bicaranya lancar dan enak. Pas itu saya masih kisaran SMA dan sempat berpikir akan jadi apa nantinya ini mas mahasiswa setelah lulus kuliah kelak. Terus terbukti dia bisa wara-wiri di media lagi selepas kuliah dan statusnya adalah petinggi suatu institusi yang berkaitan dengan hal Pemilu. Pikir saya ini orang karirnya bagus banget ya. Apalagi kemudian dia menjadi politisi dan dekat dengan lingkungan penguasa. Di mata saya dia makin wuih apalagi ada yang sempat menerka-nerka dia bakal menjadi salah satu kandidat capres. Walau untuk yang terakhir ini saya tak sepakat, tapi tetap saja itu bukti bahwa beliaunya orang yang berprosesnya cepat dan positif pula. Sayangnya kemudian kabarnya ada katalisator bernama uang di dalam proses itu. Dan dia pun terjungkal. Sedangkan saya cukup tercengang.

So, kita semua berproses, Teman. Ada saksi atau tidak, proses itu terus berjalan. Pada satu titik kita akan menjadi menjadi apa kita. Dan semoga pada saat itu belum terlambat untuk berubah arah jika memang itu negatif. Karena sungguh kita semua adalah manusia biasa.......


Demikian ‘ceramah’ hari ini ..... halllaahhhhh, gombal!

Minggu, 01 September 2013

Miss-Miss-an

Lagi pada ramai menanggapi digelarnya kontes Miss World di Indonesia. Banyak yang pro, banyak juga yang kontra. Ya beginilah yang namanya hidup bareng berbanyak, syusyahhhhh kalau disuruh sepakat satu suara. Nah makanya karena syusyah sepakat satu suara itu makanya ada Pemilu, Pilkada, dan sejenisnya. Biar ketahuan jumlah yang milih ini berapa dan yang milih itu berapa. Alias diperlukan voting, syukur-syukur dapat suara mayoritas untuk bikin keputusan. Demokrasi? Ehmmmm embuh ….

So, kembali ke masalah Miss World. Yang pada pro beralasan bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan Indonesia kepada dunia. Mengarahkan mata dunia ke Indonesia. Agar mereka semua melihat Indonesia ada di peta dunia, punya keragaman budaya dan keindahan alam yang luar biasa. Yang pro juga bilang bahwa Indonesia adalah negara republik dan bukan negara agama, jadi ya boleh-boleh saja dong, nggak perlu bawa-bawa ajaran agama tertentu sebagai dasar untuk menolak. Lagian toh ini bukan kontes wajah dan tubuh, ada hal lain yang dinilai yaitu brain dan behavior. Lagian kontes bikininya juga sudah dihilangkan kok ……. Dan sudah disesuaikan dengan kepatutan dan kesantunan bangsa....... Ini negara bebas gituuuuuu ….
                
Yang kontra juga punya argumen sendiri. Umumnya menggunakan dasar agama, bahwa kontes-kontes yang mempertontonkan tubuh hukumnya haram. Kontes seperti itu hanya untuk keperluan syahwat laki-laki dan industri kecantikan bla bla bla yang ujung-ujungnya akan membuat perempuan terprovokasi. Memang ini bukan negara agama, tapi ini negara yang penduduknya beragama dan bersopan santun, jadi ya hormati dong…..
                
Jadi ada pro dan kontra. Saya ikut yang mana? Ehmmmm ….. jujur saya termasuk yang tak melihat manfaat jelas dari ajang miss-miss-an ini. Apapun itu, baik yang digelar di luar negeri maupun yang digelar di dalam negeri. Kalau dibilang miss A membawa misi budaya dan pariwisata misalnya, terus apa yang si Miss lakukan? Bisakah dia membuat orang Indonesia mengenal dan menghargai budayanya sendiri? Bisakah dia membuat orang Indonesia jadi lebih memilih berplesir ke Papua ketimbang ke Sentosa Island? Atau haruskah dia berkebaya dan berkonde tiap hari untuk memperlihatkan betapa Indonesia punya baju tradisional yang keren? Atau bagaimana..? Indonesia memang punya keragaman budaya dan alam yang luar biasa. Terus kalau ada ajang Miss World pengaruhnya apa? Apa para penonton dari seluruh dunia langsung jadi ngeh ada yang namanya Indonesia di peta dunia terus pada berbondong-bondong jadi wisatawan? Atau para penonton itu jadi berikrar pokoknya liburan depan mesti ke Indonesia, begitu? Atau bagaimana…?  Intinya bagi saya adalah apa sih yang para Miss itu lakukan setelah memenangi ajangnya? Sebesar apa pengaruh mereka untuk membuat sesuatu kondisi menjadi lebih baik dengan gelar Miss-nya? Atau adakah hal lain yang bisa mereka lakukan yang saya tidak mengerti …..?
                
Berarti saya termasuk yang kontra dong? Menurut saya sih malah saya belum menentukan posisi saya ada dimana karena begitu banyak pertanyaan saya mengenai ajang itu yang tak terjawab. Sungguh saya perlu dipahamkan terlebih dahulu sebelum menentukan sikap ada di barisan yang mana.
                
Satu cerita, ini riil. Seorang saudara saya memenangi kontes ala miss-miss-an ini bertahun-tahun yang lalu. Tapi versi yang tingkat kabupaten. Dia juara dua. Langsing, cantik, dan putih. Saya tanya kegiatannya apa sih. Jawabnya, ya di briefing soal pariwisata dan kebudayaan, terus belajar bagaimana membawa diri dan bersikap, dan belajar jalan ala peragawati. Lalu dia sempat kebingungan saat harus memakai baju batik setempat. Bingung karena tak pernah tahu bagaimana corak batiknya. Akhirnya setelah bertanya kesana kemari ketemu juga. Terus komentarnya, “ohhh ada ya ternyata batik begini…” Nah lho ….. Terus setelah menang saya tanya apa kegiatannya. Jawabnya disuruh jadi penerima tamu kalau ada tamu penting yang datang ke daerah. Penerima tamu? Jawabnya, “Iya, itu lho Mbak kalau misal ada presiden datang terus aku ikutan ngalungin kembang atau semacamnya… Atau ada orang penting lain macam bule mana gituuuuu yang jadi tamu daerah aku ya disuruh datang ikut menyambut …..” Nah lho (lagi) …… Penting ga sih kerjaan macam gitu…..? Saya jadi membayangkan seorang pemenang kontes miss kaliber dunia mengalungkan bunga ke leher ET yang sedang berkunjung ke bumi …. Atau ke leher alien ….. Lha dia tingkat dunia yang sejagad bumi, tamunya bumi siapa lagi kalau bukan para ET dan alien itu?
                
Satu cerita lagi ….. Ini riil juga. Saya sedang menuju ke terminal Purabaya waktu itu, mau pulang kampung. Bis kota yang saya tumpangi sumpah reot dan bau. Ternyata tepat di belakang saya ada bule laki-laki, muda, dan ganteng sedang menikmati suasana. Sepertinya backpacker. Menjadi tontonan dan bahan rerasan seisi bis kota tentu saja. Dan si bule yang tak mengerti tersenyum-senyum saja. Berkali-kali saya dengar dia berusaha berkomunikasi dengan penghuni bangku sebelahnya, tapi tak cukup berhasil. Akhirnya ketika bis mulai sepi, saya balikkan badan ke arahnya. Saya bilang terminal Purabaya masih agak jauh, saya akan tunjukkan kalau sampai nanti. Dia bilang, terima kasih sambil bertanya apakah saya juga akan ke Purabaya. Saya jawab iya. Dia bilang, “Good.” Lalu dia bercerita akan ke Bali menemui temannya yang sudah terlebih dahulu sampai di sana. Karena saat itu masih pukul 9 pagi, saya jawab bahwa sepengetahuan saya tidak ada bis langsung ke Bali pada jam seperti itu. Adanya nanti selepas Ashar. Tetap bisa berangkat tapi sepertinya dia harus berestafet dari bis ke bis sambung menyambung. Dia bilang dia mau yang langsung saja, tak apa menunggu di Purabaya agak lama. Ganti saya yang bilang, “Good”. Dia nyengir. Sesampai di Purabaya saya antar dia ke tempat pemesanan tiket ke Bali. Saya menawar harga tiket untuknya. Setelah kedua belah pihak sepakat saya pergi setelah mewanti-wanti dia untuk tidak meninggalkan barang berharga sembarangan dan jangan sampai ketinggalan karena bis berangkat jam empat sore . Dia bilang. “OK. Thank you very much.”
                
Satu cerita lagi ……. Masih cerita riil neh ….. Seorang teman chatting bilang mau berkunjung ke Surabaya. Katanya kepingin mampir setelah melewatkan dua minggu penuh di Thailand bersama keluarganya. Dia minta dicarikan hotel. Saya pilihkan satu hotel yang ada di pusat kota dengan pertimbangan dia gampang mencapainya, mau kemana-mana juga gampang, dan letakknya persis di dekat mall jadi kalau misal perlu sekedar belanja atau makan juga oke. Ternyata pilihan saya cocok dengan kebutuhan dia. Terakhir dia chat lagi ke saya beberapa bulan kemudian dan menanyakan nama hotel tersebut karena mau merekomendasikan ke temannya yang sedang ada kunjungan bisnis ke Surabaya.
                
Nah, apa pesan moral dari dua cerita terakhir saya tadi? Ehmmmm …. saya cuma mau menyampaikan bahwa semua orang bisa menjadi duta bagi negaranya sendiri ….. Coba lihat cara orang-orang Singapura yang menepi atau berhenti berjalan ketika ada wisatawan sedang berfoto. Mereka memberi ruang untuk kegiatan itu. Lihat juga bagaimana mereka dengan ramah menghampiri wisatawan yang memegang peta kota. Hal kecil tapi bermakna menurut saya. We all can do it. Jadi apa masih perlu miss-miss-an kalau memang konteksnya untuk keperluan kampanye pariwisata? Embuh …..
                
Tapi kan tujuan miss-miss-an bukan cuma untuk keperluan wisata, begitu kilah teman saya. Katanya untuk memperlihatkan kepada dunia bagaimana wajah Indonesia, agar dunia tak melihat Indonesia sebagai sarang teroris saja. Nah lho … tambah abstrak. Wajah Indonesia. Terus tugas konkritnya apa? Teman saya mengendikkan bahunya, “Ya embuh.” Lalu katanya dengan menggelar kontes itu di Indonesia, dunia jadi tahu bahwa Indonesia itu aman dan mampu mengatasi keragamannya. Ehmmmm ….. oke dehhhh …… Tapi itu kan misi dari penyelenggaraannya…. Kalau kontribusi para miss-nya apa? Teman saya mendelik jengkel, “Embuhhhh….kok nanya aku sih ….? Kan aku ga pernah jadi miss-miss gitu … Ada juga pernah miskomunikasi…”
                
Okeeee… nanya teman saya tidak ada jawabnya mending saya nanya kepada para Miss …. Apa konkritnya tugas dan pekerjaan kalian, Miss-Miss…?

               
                

Rabu, 21 Agustus 2013

Penghuni Neraka



Kemarin, pagi-pagi bapak saya sudah mengomel. Katanya, negara ini parah, seorang profesor yang kabarnya alim, pinter, dan baik tertangkap tangan oleh KPK, di rumahnya ketika sedang menerima upeti. Masih kata bapak saya, ustad pun ga bener, nyari duit mulu, sampai ga mau ceramah kalau ga dibayar sekian juta. Dan saya jadi bertopang dagu sambil mikir, halooooo kemana saja dirimu, wahai Bapakku?
Lalu malamnya kami menonton acara bincang-bincang soal mafia migas di salah satu stasiun teve. Dan kembali bapak saya berkomentar bahwa semuanya pada nguber duittttttt mulu. Saya yang ada di sampingnya cuma bisa nyengir. Ya ya ya … kalau mengikuti pembicaraan tersebut, sektor migas memang rumit … eh ruwet ding. Saking ruwetnya sampai ada mantan pejabat yang beberapa kali bilang tidak tahu untuk menjawab pertanyaan host-nya. Lha pejabat yang ada di dalamnya saja tidak tahu, terus yang tahu siapa? Dan kemudian terungkap gaji untuk para pejabat di lingkungan migas itu walaaahhhh guede gueedeeeee….  Lha kalau sudah dibayar segitu guide tapi ga ngerti juga ya apa bedanya dengan kalau saya yang ada di posisi itu? Halah, pertanyaan yang terakhir itu pertanyaan lebay dengan motif iri …..
Now soal korupsi. Katanya korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Dan kalau katanya Indonesia itu bangsa yang berbudaya tinggi berarti tingkat korupsi juga tinggi. Begitu kah? Tempo hari saya mengobrol dengan seorang teman yang berprofesi sebagai pendidik. Iseng saya lontarkan pertanyaan apakah korupsi itu termasuk satu mata pelajaran wajib di sekolah ya sehingga bangsa ini piawai sekali dalam hal itu? Terang saja teman saya mengganjar sebuah geblokan ke pundak saya karena kekurangajaran pertanyaan itu. Dan setelah geblokan itu, sang pendidik ini akhirnya juga mengungkapkan keresahannya. Karena apa yang dilihatnya secara praktek dalam dunia pendidikan pun tak lebih bagus dari bidang lain. Artinya dunia pendidikan juga tidak steril dari suap menyuap di sana sini. Lha berarti benar kan korupsi diajarkan di sekolah? Cuma mungkin secara tidak sadar atau tidak langsung. Iya kan? Mereka yang ada di dunia pendidikan adalah mereka yang potensial jadi panutan para generasi penerus bangsa. Dan mereka tidak steril. Lihat saja pemberitaan di koran soal carut marut Ujian Nasional. Itu masih di koran yang notabene masih mengandung banyak penyangkalan. Aslinya, praktek di lapangan lebih ruwet lagi. Cuma semua menutupinya atas nama berbagai kepentingan.
Sebenarnya apa sih yang salah dari negeri ini? Siapa orang Indonesia yang pertama kali melakukan dan menanamkan korupsi? Sungguh dia harus dicatat sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh besar terhadap bangsa ini. Yaaaaaaa … kalau Jerman mencatat Hitler, maka mungkin Indoesia bisa mencatat orang ini. Saya rasa tak ada yang menyangkal betapa dia ‘sukses’ besar.
Apa yang salah dengan negeri ini? Seorang teman bilang bahwa mental kita buruk karena begitu lama dijajah. Pertanyaan saya adalah setelah 68 tahun merdeka tetap saja berpengaruh? Lihat saja betapa korupsi dilakukan oleh para muda yang sedetikpun pernah merasakan penjajahan. Jadi …?
Teman yang lain bilang kalau dulu kita dijajah Inggris hasilnya mungkin akan lebih baik. Ini merujuk pada kenyataan saat ini bahwa negara-negara bekas jajahan Inggris lebih ‘bener’ daripada bekas jajahan Belanda menurutnya. Ehmmmmm ….. halooooooo sudah 68 tahun lho merdekaaaaaa…. Masih mau terus menyalahkan orang lain atas kesalahan yang kita buat?
Teman yang lain lagi dengan tegas bilang, “ya elu-nya aja yang pada dasarnya mau kaya tapi males kerja. Jalan tercepat ya korupsi deh!” Nah, ini dia, pedas tapi menurut saya tak terbantahkan. Buktinya teman-teman saya juga cuma bisa nyengir.
Eh, berapa ratus juta jumlah penduduk Indonesia saat ini? Teman saya mengerutkan kening mendengar pertanyaan ini keluar dari mulut saya. Apa hubungannya? Begitu protes mereka. Ehmmmmm ….. saya cuma kuatir neraka akan penuh dengan dengan kita orang-orang Indonesia…….

Jumat, 12 Juli 2013

BUKU



Tempo hari saya bilang pada seorang teman betapa inginnya saya mempunyai sebuah perpustakaan pribadi. Saya ingin punya satu ruangan yang keempat dindingnya penuh dengan buku dari bawah sampai ke langit-langit. Lalu di tengah ruangan itu ada coffee table dan sofa empuk yang nyaman dengan lampu baca di dekatnya. Jadi saya bisa membaca sambil berselonjor dengan cemilan dan teh di meja. Atau saya bisa dengan tekun mengetik di laptop sembari membaca buku untuk bahan riset tulisan saya. Amboi indahnya ......

Tapi teman yang mendengar khayalan saya itu justru tersenyum dengan sudut bibir ke bawah alias mencibir. Katanya saya ketinggalan jaman kalau di masa sekarang masih memimpikan tempat semacam itu. Pasalnya; masih menurut teman saya; kemajuan teknologi telah mengubah buku cetak menjadi bentuk digital. Jadi tak perlu dicetak, tak perlu kertas, dan jadinya makin ringkas alias cuma berupa data file. Bacanya dengan gadget. Jadi bukan lagi jamannya orang membawa buku-buku tebal yang berat kemana-mana. Tinggal masukkan saja datanya di gadget dan beres, bisa dibaca dimana saja.Katanya perpustakaan di USA pun mulai merintis untuk berubah format seperti itu.
Saya tercenung, berpikir, enakkah menikmati buku dengan cara seperti itu? Teman saya menjawab ya enak saja, yang penting gadget-nya cukup canggih dan layarnya cukup besar untuk keperluan membaca. Ehmmmm ..... jujur saya tidak yakin saya bisa menikmati cara membaca seperti itu. Paling tidak untuk saat ini, saat dimana saya belum punya gadget seperti yang dimaksud teman saya. Dan terbukti saya tidak pernah tahan membaca ebook di depan komputer. Saya tidak tahan duduk di kursi kerja dengan mata ke layar monitor. Saya betah berjam-jam di depan komputer selama jam kerja. Saya juga betah berjam-jam di depan komputer untuk browsing. Tapi jika itu urusannya untuk membaca buku ehmmmmmm tidakkkk..... Saya tidak tahan!
Buku bagi saya adalah satu barang personal. Setiap bulan saya berkeliaran di toko buku dan browsing ke aneka toko buku online. Dan setiap kali punya uang lebih, buku dan makanan selalu jadi sasaran utama. Selalu saya upayakan untuk beli baru, tapi sama sekali tidak haram bagi saya untuk membeli yang bekas. Dan setiap kali menambah koleksi saya akan membubuhkan nama, tanggal pembelian, dan tanda  tangan di buku tersebut. Itu baru ritual dalam hal memiliki buku. Masih ada ritual membaca. Saya punya kebiasaan buruk dalam hal membaca, yaitu membaca beberapa buku pada satu kurun waktu. Ini saya anggap buruk karena jadinya ada saja buku yang tidak selesai karena pesonanya dikalahkan oleh yang lain. Saya juga sering membuat kusut sampul buku. Dulu juga sering menandai halaman dengan melipat kertasnya. Jadi ketika selesai akan ada beberapa lipatan di buku tersebut. Akhir-akhir ini saya mengganti kebiasaan itu dengan memakai paper clip warna-warni. 
Satu lagi kebiasaan buruk saya dalam hal membaca, yaitu saya tidak tahan membaca dengan cara yang sesuai standar kesehatan. Bagi saya membaca itu harus dengan pewe alias posisi wuenak. Jadi membacalah saya dengan tiduran, atau melungker, atau semacamnya. Ini yang selalu membuat ibu saya mengomel karena menurutnya itu merusak mata. Ehmmmmm, merusak mata ya.... mungkin iya. Buktinya dulu saya tidak memerlukan kacamata. Tapi sekarang mau tidak mau saya harus mulai tergantung pada barang kecil itu. Ah, tapi kan itu bisa juga karena faktor U alias umur, jadi bisa jadi bukan kebiasaan membaca sambil tiduran penyebabnya.... Ngeles terusssssss .... begitu komentar ibu saya ... hehhehheheehehe....
Nah nah nah .....  jujur saja saya risau kalau buku cetak diganti dengan format digital. Sebab saya bukan termasuk yang selalu up date dengan gadget. Saya baru berganti handphone dan komputer jika memang sudah rusak saja. Tak pernah saya membeli gadget sekedar karena ingin mencoba fitur atau teknologi terbaru. Lagipula kalau bentuknya file seperti itu terus dimana saya bakal membubuhkan coretan berupa penanda berupa nama, tanggal, dan tanda tangan? Bagaimana orang tahu bahwa ‘buku’ itu milik saya? Bagaimana saya menyelipkan paper clip untuk menandai halaman yang saya baca? Kalau misal saya ingin tandatangan pengarangnya, dimana dia akan membubuhkannya? Teman saya menjawab semua kebawelan saya itu dengan tatapan judes. Sebelum berlalu dia mendesis, “Ga penting banget .....!”

Senin, 01 April 2013

Tuhan Mengajak Bercanda



Kira-kira setahun yang lalu, di satu petang yang saya lupa tanggal persisnya, seorang kakek-kakek menaiki angkot yang sama dengan saya. Cuma bedanya saya duduk di bangku pendek, sedang dia di bangku panjang. Kami nyaris berhadapan, jadi saya bisa lihat dengan jelas keriput wajah putihnya, juga selaput katarak di matanya. Tapi bukan dua hal ini yang kemudian menarik perhatian saya. Tak lama setelah duduk si Kakek bicara pada bang sopir, menyebutkan tempat dimana dia harus berhenti nanti. Kalimat ujungnya yang membuat telinga saya seperti berdiri tegak. Si Kakek kurang lebih bilang begini : “Mas, tolong ya, uang saya tinggal dua ribu. Tidak ada lagi yang lain. Tolong ya, Mas. Saya habis kena musibah soalnya.”. Si Bang Sopir dengan santai mengangguk dan si Kakek mengucapkan terima kasih berulang. Lalu seorang ibu yang duduk di samping si Kakek bertanya soal musibah yang disebutnya tadi. Meluncurkan cerita dari mulut si Kakek. Katanya dia ke Surabaya (saya lupa kota asalnya) untuk menemui anaknya. Dan ketika sampai di alamat, ternyata si anak tak lagi tinggal disitu dan tak ada keterangan pindah kemana. Jadi dengan sia-sia si Kakek bermaksud pulang. Saat itu uang di kantongnya tinggal satu lembar seratus ribuan, tak ada yang lain. Dengan uang itu dia mencegat angkot untuk membawanya ke halte bis kota. Belum sampai di halte yang dituju, si Sopir Angkot meminta bayaran dan si Kakek menyerahkan lembar uangnya. Sopir Angkot itu bilang akan memberikan uang kembalinya nanti karena uang yang ada padanya belum cukup, lagipula tujuan si Kakek masih jauh. Si Kakek percaya dan menunggu. Setelah bermenit-menit perjalanan, si Sopir Angkot meminta si Kakek pindah ke Angkot yang lain dengan alasan penumpang terlalu sedikit untuk meneruskan perjalanan. Dan si Kakek turun, tanpa ingat untuk meminta kembaliannya. Beruntung dia menemukan di slempitan celananya uang dua ribu rupiah, jadi dia berani untuk mencegat angkot yang saya tumpangi tadi. Begitu ceritanya.


Bisa dibayangkan reaksi penumpang di kanan kiri saya yang semuanya perempuan. Semuanya bersimpati dan menyayangkan tindakan si Sopir yang licik itu. Lalu ada yang bertanya bagaimana nanti si Kakek bisa sampai ke rumahnya yang luar kota itu. Si Kakek menjawab dengan wajah polos, “Semoga nanti ada sopir truk yang bersedia saya nunuti gratisan. Biasanya mereka minta bayaran, tapi semoga hari ini saya beruntung.” Jujur saya trenyuh melihat muka keriput itu, juga berdoa semoga orang tua saya tidak akan pernah mengalami nasib seperti ini. Diam-diam saya mengorek saku tas dan menyadari hanya dua lembar uang yang saya punya; satu lembar lima puluh ribu dan satu lagi sepuluh ribu. Saya memang tidak pernah berangkat kemana-mana dengan membawa uang cash banyak. Ini satu cara saya untuk mengirit sebenarnya. Dan uang enampuluh ribu inipun sebenarnya penggantian dari kantor untuk uang makan yang saya keluarkan waktu dinas luar kota tempo hari. Saya genggamkan lembaran lima puluh ribu saya kepada si Kakek sebelum saya turun. Dan rupanya ada penumpang yang melalukan hal yang sama. Saya lega, si Kakek sepertinya punya uang yang cukup untuk pulang.


Sekali lagi, kejadian itu kisaran setahun yang lalu.


Pada petang seminggu yang lalu, saya naik angkot seperti biasa. Lalu seorang kakek-kakek naik, tak lama setelah saya. Wajahnya putih, keriput, dan ada selaput katarak di matanya. Saya yang lelah setelah seharian bekerja bersiap menutup mata, mencuri waktu tidur sejenak. Lalu terdengar suara si Kakek berbicara pada pak Sopir yang intinya meminta tolong diberikan dispensasi diskon pembayaran karena uangnya tinggal dua ribu. Lalu seorang ibu yang penasaran bertanya ada apa dengan si Kakek. Lalu saya seperti mendengar sebuah lagu yang setahun lalu saya dengar dan kini diputar ulang. Saya tak jadi mencuri waktu untuk tidur, berganti dengan mencari kepastian apakah benar lagu itu dinyanyikan oleh penyanyi yang sama. Jujur saya tidak bisa benar-benar yakin apakah dia orang yang sama. Saya cuma bisa tercenung, mendengarkan para perempuan yang seangkot dengan saya berkomentar ini itu yang intinya semuanya simpati.


Setelah beberapa menit saya menyadari satu hal, yaitu Tuhan sedang mengajak saya bercanda. Topik candaanNYA adalah soal keikhlasan. Jelas sekali ini saya tangkap karena saat itu juga saya sibuk menimbang apakah kali ini saya akan menggenggamkan lagi rupiah ke tangan si Kakek, atau tidak. Sementara si Kakek dengan demonstratif memperlihatkan dompet dan saku celana yang kosong melompong kepada para penumpang. Ya, paling tidak jika dia orang yang sama yang saya temui setahun lalu, atraksi dompet dan saku melompong ini jadi pembedanya. 


Lalu saya bisa tersenyum, mengingat uang di saku tas saya tinggal delapan ribu saja. Saya butuh dua ribu untuk membayar jasa Angkot. Jadi sisanya cuma tinggal enam ribu saja. Akhirnya saya putuskan menggenggamkan uang sisa itu ke tangan si Kakek sebelum saya turun. 


Tuhan telah memberi candaan yang lucu kepada saya. Demikian kesimpulan saya untuk urusan ini. Dulu saya memberi lima puluh ribu dan waktu itu saya lega, ikhlas, juga bangga. Lalu Tuhan membuat saya bertemu dengan seseorang yang mungkin sama, mungkin tidak. Tuhan mencandai keikhlasan saya. Penjelasannya begini. Jika saya kapok dan tidak memberi apapun kali ini, terus ternyata si Kakek yang ini benar-benar mendapat musibah dan perlu bantuan, maka betapa berdosanya saya. Kemungkinan kedua, saya tidak kapok, tetap berpikir positif, lalu memberikan uang kepadanya, tapi ternyata semua itu hanyalah akting si Kakek saja, maka betapa bodohnya saya yang tidak bisa melihat pertanda yang ada di depan mata.


Begitu angkot melaju menjauh saya tertawa. 


Tuhan, terima kasih atas candaannya. Saya cuma punya enam ribu kali ini. Jikapun si Kakek benar pembohong, saya tidak banyak merugi karena cuma enam ribu yang saya bisa berikan ..... Dan kalau ini memang sebuah kebodohan maka saya rela menebus itu dengan enam ribu yang saya punya. Karena saya lebih kuatir dengan kemungkinan bahwa musibah itu benar adanya dan si Kakek tak sedang berakting.......


Jadi, silahkan tertawa, ya Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang :D