Rabu, 28 Desember 2011

Surabaya, Wisata 10 Nopember 1945




Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih berstatus mahasiswa (ehmmm duh ketahuan deh umur dah tuwir), saya berkunjung ke Surabaya bersama teman yang Betawi asli. Bis kota menurunkan kami di daerah Jembatan Merah Plaza. Teman saya langsung bertanya, "berarti dekat Jembatan Merah dong? Yang mana jembatannya?" Dia mengikuti arah telunjuk saya dan berkomentar,"Segitu aja?" Lalu dia meraba-raba besi jembatan sambil bergumam bahwa apa yang dilihatnya sekarang tak seperti apa yang ada dalam bayangannya selama ini."Tidak sesederhana ini!" protesnya jengkel. Eh protesnya jangan sama saya, Bang .....

Lain waktu, kakak saya datang bersama beberapa temannya yang semuanya dari luar Jawa dan notabene, seperti teman Betawi saya di atas, kali pertama berkunjung ke Surabaya. Saya yang sudah lebih dari lima tahun tinggal dan bekerja di kota ini bertugas menjadi penunjuk jalan (stttt...padahal saya sering tersesat lho... hehhehehhe). Kami bermobil mengelilingi Surabaya. Ketika saya tunjuk Tugu Pahlawan, mereka semua ber-oohhhh .... Lalu salah satu nyeletuk, "daerah sini ya berarti yang dulu ada pertempuran itu?". Saya iyakan sambil menunjuk sebelah mana jalan Tembaan yang konon berasal dari kata 'tembakan' yang maksud sebenarnya adalah kejadian tembak-menembak. Yang lain bertanya, “Tugunya cuma begitu doang?” Nahhh yang ini saya jawab bahwa memang Tugu Pahlawan ini rendah hati, tidak mau menyaingi Monas yang sudah menjulang. Beberapa saat kemudian saya tunjukkan si Jembatan Merah. Nyaris serentak komentar yang keluar adalah 'gitu doang?!' Ya, memang cuma begitu mau bagaimana lagi? Mereka 'mencep berjamaah'... hehhehehee ....

Nah nah, minggu lalu saya ke Jembatan Merah Plaza, dan teringat kedua peristiwa di atas. Iseng saya sampaikan dengan teman yang menyertai. Dan komentarnya, "Iya, dari dulu gitu-gitu aja." Ehmmm ... lalu saya jadi berpikir mengapa tidak dibuat sebuah rangkaian cerita sejarah di jalan-jalan kota Surabaya? Rangkaian cerita tentang 'kendelnya' arek-arek Suroboyo melawan mantan penjajah yang tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia. Rangkaian cerita yang membuat Surabaya dijuluki kota Pahlawan. Saya kepikir jalurnya dari jalan utama yang membelah pusat kota Surabaya, kisaran daerah yang mendekati jalan Basuki Rahmat. Penanda pertamanya bisa jadi gedung tua di depan Tunjungan Plaza (Sogo) yang kini berfungsi sebagai toko arloji Seiko (saya lupa nama gedungnya). Gedung ini toh juga seringkali tampak di foto-foto dokumentasi Surabaya tempo dulu. Lalu terus ke arah Tugu Pahlawan, mengikuti arah jalur lalu lintas. Dari sini bisa bercabang ke jalan Tembaan dan terus ke arah Jembatan Merah, jalan Kembang Jepun, dan mungkin terus ke arah Tanjung Perak ataupun pelabuhan Kalimas. Nantinya ketika berputar dan bertemu pusat kota lagi Hotel Majapahit bisa digunakan sebagai titik klimaksnya, turun hingga Grahadi dan seterusnya.

Jujur saja, saya sangat menyukai gagasan pribadi tersebut... hehehheeh narsis ya? Bukan maksudnya begitu siiihh .... Cuma paling tidak hal tersebut rasanya cukup mungkin untuk dilaksanakan. Apalagi latar belakang cerita heroiknya sudah sangat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, juga bangsa mantan penjajah tentu saja. Mumpung juga masih ada bangunan-bangunan lama yang saya rasa saat itu jadi saksi bisu atas peristiwa dahsyat tersebut. Lihat saja gedung-gedung tua di seputaran daerah Jembatan Merah. Toko-toko di kawasan Kembang Jepun yang saat ini kalau malam menjadi Kya-Kya pun saya yakin masih bangunan lama. Hanya kelamaan itu terselimurkan oleh aneka macam billboard yang menjadi penanda aktifnya perputaran uang di daerah tersebut. Coba saja menelusup ke jalan-jalan cabang jalan utama jika mau lebih jauh menakar betapa masih ada saksi yang berdiri tegak. Bangunan-bangunan tua itu sungguh potensi keindahan yang tinggal menunggu sedikit polesan saja. Dan saya dengar sudah ada upaya Pemerintah Daerah untuk melindungi beberapa bangunan tua. Mungkin tinggal memperluas cakupannya. Dan secara gaya dan fungsi rasanya tidak akan terlalu susah untuk disiasati. Contohnya, ada satu sudut bangunan tua yang dicat 'genjreng' dan hasilnya menurut saya cukup mampu membuat kesan 'lain' dari bangunan tersebut. Rasa-rasanya jika si pemilik bermaksud untuk membuat satu vocal point, dia sudah cukup berhasil.


Lalu bagaimana langkah perwujudannya? Ehmmmm... kalau yang begini tentu saja saya tidak bisa menjawabnya sendiri. Yang saya tahu pasti diperlukan banyak keahlian untuk melakukan proyek besar ini, disamping tentu saja dana (sebab sering-sering semuanya tergantung pada UUD alias ujung-ujungnya duit). Perlu kerja keras dari sejarawan, seniman, arsitek, planolog, saksi sejarah, pemerintah, dan banyak lagi untuk bisa merekonstruksi semua itu. Sebab ini bukanlah sekedar membuat diorama, tugu, patung, atau plakat saja. Bukan sekedar menaruh bambu runcing dimana-mana. Dan sialnya, opini saya, selama ini orang kita sering terjebak dengan hal itu ketika mengkonsep 'penanda sejarah'. Terlalu dangkal. Seringkali hal-hal yang bersifat 'jiwa' luput tak tersentuh. Bagi saya, harus ada 'atmosfir' yang bisa membuat orang kembali 'bergidik' merasakan peristiwa heroik itu. Sejarawan dan saksi sejarah merekonsruksi peristiwa sebagai konsepya. Arsitek, planolog, dan seniman membangun suasana dan rasa, mengolah elemen kota seperti ruang luar, bangunan, jalan, dan sebagainya. Pemerintah membuat kebijakan dan menyokong dananya, kalau perlu bergandengan dengan pihak swasta. Masyarakat mendukung, minimal dengan komitmen menjaga, dan memelihara. Dan seterusnya ...dan seterusnya .... Laluuuuu bayangkan hasilnya ketika orang bisa otomatis tertuntun ingatannya pada peristiwa tewasnya Jendral Aubertin Mallaby ketika melintasi Jembatan Merah. Bayangkan juga ketika pejalan kaki bisa berhenti sejenak di depan hotel Majapahit, tercenung, berpikir tentang masa ketika Hariyono, Koesno, dan arek Suroboyo lainnya memanjat tiang dan merobek bendera Belanda hingga jadi merah putih saja. Coba deh bayangkan ..... Kerennnnnn kannnnn ....? Iya ga, iya ga?

Jadi, bagaimana selanjutnya? Nah, ini pertanyaan besar. Semoga di luar sana ada orang-orang yang berpikiran senada dengan saya. Semoga ada orang-orang yang sependapat sejarah ini layak diabadikan. Semoga ada orang-orang yang bosan menjadikan mal sebagai tempat wisata. Semoga ada orang-orang yang mampu membuat kebijakan daerah untuk terwujudnya hal itu. Dan kalau ini terwujud...ehhhmmm.... berarti yang dibuat bukanlah sekedar secuil area wisata, tapi sekawasan kota. Sekawasan kota akan jadi karya seni instalasi. Nah nah nah ... apa ga keren tuhhhhh...??? Ah saya kok sudah seperti sedang berjalan-jalan di kawasan itu yaaa.... Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan ..... imagine ... imagine ..... dan akhirnya SEMOGA....


Senin, 14 November 2011

PAK MUS DAN SEPAKBOLA

Namanya Pak Mus. Lengkapnya saya sudah lupa karena dulu seluruh keluarga saya selalu memanggilnya Pak Mus saja, tanpa pernah embel-embel lengkapnya. Saya masih ingat sosoknya yang gempal akibat seringnya mengangsu (menimba air sumur) dan mengangkutnya ke kamar mandi dan dapur rumahnya dengan kaleng kotak yang dipikul di bahunya. Sumur yang berada di bagian depan rumah orangtua saya berjarak sekitar 40 meter dari rumahnya sendiri. Kepalanya sepanjang ingatan saya selalu gundul walau tidak licin. Kulitnya coklat gelap dan pembawaannya cenderung gampang tertawa. Hal yang paling lekat di ingatan saya adalah celana komprang hitam yang selalu dikenakannya setiap kali menjalankan pekerjaannya di peternakan ayam milik orangtua saya. Waktu itu saya masih kanak-kanak dan seringkali dia menggoda saya selayaknya seorang paman menggoda keponakannya. Ya itulah Pak Mus.

Mengapa tiba-tba ingat Pak Mus? Ehmmmm .... ceritanya saat ini saya semakin gandrung dengan sepakbola Indonesia. Perlu saya tekankan 'Indonesia'-nya karena sebenarnya saya sepakbola sudah menarik bagi saya, tapi sepakbola dalam artian World Cup, Liga Spanyol, dan Liga Italia. Indonesia baru masuk ke 'wilayah' saya ketika euphoria AFF tempo hari. Saya waktu itu sunguh terpesona dengan Timnas 'hasil karya' Alfred Riedl yang di mata awam saya terlihat begitu berbeda dengan permainan di liga-liga Indonesia yang pernah saya tonton sekilas-sekilas. Saya jadi jatuh cinta dan jadi penggemar yang menunggu jam permaianan mereka. Saya juga jadi ikut bersorak dan mengepalkan tinju ketika permainan indah mereka tampilkan tak peduli itu membuahkan gol ataupun tidak. Saya juga menjadi penggemar yang ikut mengumpat ketika PSSI kisruh tak keruan dan didominasi muatan-muatan politis dan pertikaian antar kubu yang tak ada kaitannya dengan masalah Timnas sendiri. Saya juga menangis sangat sedih ketika akhir dari pertikaian panjang itu membuahkan Riedl dipecat dengan alasan yang tidak masuk akal. Saya juga jadi pengumpati pelatih sekarang ketika menonton Timnas senior bolak-balik dicukur oleh lawan-lawannya tanpa bisa memberikan perlawanan yang berarti. Nah sekarang ketika Sea Games berlangsung maka cabang olah raga yang paling menarik adalah sepokbola dan tentu saja saja menjadi supporter tim Garuda Muda yang sampai Minggu malam bermain dengan cantik dan berstrategi.

Nah nah, lalu apa hubungannya dengan Pak Mus? Ya, begini. Saya tinggal bertetangga dengan beliau pada awal tahun 80an. Pada masa itu desa kami di Ngawi adalah desa kecil dengan tanah yang pada saat kemarau berbutir-butir seperti beras hitam dan pada saat musim hujan jadi lengket hingga sandal jadi seperti bersol tebal. Saat itu belum banyak yang punya pesawat televisi di desa kami. Televisi kami pun hanya hitam putih. Tapi yang begitu tetap mampu membuat para tetangga berkumpul di ruang tamu . Dan ketika ada siaran pertandingan sepakbola (jaman itu rasanya yang disiarkan cuma sepakbola Indonesia) ada satu orang yang tak pernah absen, yaitu Pak Mus. Beliau pasti duduk di barisan terdepan serta dengan tekun dan ekspresif mengikuti jalannya pertandingan. Setelah pertandingan usai Pak Mus akan mengulas pertandingan tadi. Ibu saya yang bukan pecinta sepakbola pernah berkomentar, seburuk apapun jika itu masih bernama sepakbola maka Pak Mus akan tetap menonton dan menemukan kenikmatan di dalamnya. Dan benar saja, pernah suatu ketika semua orang menolak untuk menonton dan cuma beliau seorang diri yang tetap bertahan di depan televisi. Malah suatu ketika kami semua keluar rumah dan pada saat pulang saya melihat Pak Mus duduk di balai-balai terasnya dengan radio transistor kecil di tangannya, ramai mengumandangkan pertandingan sepakbola.

Ya, itulah Pak Mus yag saya kenal. Waktu itu bola bekel lebih menarik bagi saya jauh ketimbang sepakbola. Dan jujur baru-baru ini saja saya mulai bisa memahami kesenangannya. Saya tidak tahu apakah beliau masih hidup saat ini karena semenjak pindah dari desa itu 29 tahun yang lalu, saya tak banyak mendengar kabar tentang beliau. Mungkin jika masih hidup, beliau akan jadi kurang tidur karena sibuk menonton macam-macam liga yang nyaris setiap hari ada di televisi. Dan mungkin juga beliau sama seperti saya ikut menangis, bersorak, dan tertawa, larut dalam euphoria kebangkitan Tinmas Indonesia. Mungkin juga beliau ikut menyesalkan didepaknya Riedl, serta marah akan kekacauan PSSI dan membodohkan pelatih pengganti Riedl. Mungkin beliau membelikan cucunya kaus merah bertulis Gonzales, Bonai, Nasuha,Andik,atau Patrich. Mungkin minggu-minggu ini , seperti saya, beliau akan berteriak “Ayo, Indonesia bisa!”

Senin, 31 Oktober 2011

Buku dan Saya


Kalau ada dua hal yang nyaris selalu berhasil menyenangkan saya, maka keduanya adalah makanan enak dan buku. Yang pertama karena memang pada dasarnya saya doyan makan, doyan sembarang, dan cenderung tidak punya pantangan selain masalah halal haram. Sedangkan yang kedua, walau bukan termasuk kutu buku namun buku adalah teman baik yang menarik bagi saya, entah itu dalam bentuk benar-benar buku ataupun bentuk lain seperti majalah, koran, atau ebook.

Nah buku apa yang saya sukai? Ehmmm.... sebenarnya saya sudah tidak membuat batas apa yang saya baca, semua tema, semua model saya mau baca sepanjang menarik tentu saja. Nahhhh kriteria menarik inilah yang seringkali berubah-ubah. Sebuah buku menjadi menarik bagi saya kadang berdasarkan suasana hati dan keinginan. Ketika sedang semangat menggebu soal belajar marketing dan manajemen maka buku-buku itulah yang saya buru. Ketika sedang merasa butuh belajar komputer, maka jelas sudah target yang jadi obyek. Kalau sedang mood belajar merajut dan menjahit, maka saya rela-rela saja berhutang demi buku panduan. Dan ketika semangat beragama saya lagi tinggi, ehmmmmm .... tahulah buku model apa yang saya angkut pulang. Bahkan ketika sedang tidak mood pun saya masih bisa membawa pulang buku cuma dengan alasan desain kovernya menarik.... hehheehee .....Di luar semua itu, tema yang selalu menarik bagi saya adalah sastra. Untuk yang satu ini rasanya hampir tak ada pernah ada bosannya. Selalu ada yang menarik untuk diangkut pulang.

Nah kalau itu tadi adalah kegemaran membeli buku, sekarang bagaimana soal membaca. Eitttt...jangan salah...jangan menghubungkan kegemaran saya membeli buku dengan kegemaran membaca. Ehmmm keduanya agak sedikit kurang akur …. ahhahahahah ….. Begini, sungguh buku adalah barang yang sangat menarik bagi saya. Sering-sering saya menempatkannya di atas kebutuhan akan sandang. Tapiiiii soal membaca, maaf saya sering berhenti di tengah jalan alias tidak rajin … ahhahahaha …. Jadi jangan berpikir saya ada adalah makhluk kutu buku dengan kaca mata tebal dan cenderung serba tahu dan berwawasan luas karena seringnya membaca. No no no ….. I'm not that person. Entah sudah berapa buku yang saya beli karena berbagai alasan, saya baca, tapi kemudian saya tinggalkan sebelum seluruh halamannya tuntas. Dan ketidaktuntasan pun dengan alasan yang macam-macam. Saya pernah berhenti membaca terjemahan dari tulisan Franz Kafka lalu berhenti sebelum genap ke halaman lima belas karena terjemahan ke bahasa Indonesianya tak sesuai dengan selera saya. Jadi saya hampir yakin ada yang salah dengan si penterjemah, mungkin kemampuan bahasa asingnya cukup 'ngepres' alias setara dengan kemampuan bahasa Inggris saya … ahhahaha.... Lalu pernah pula saya berhenti membaca Ramayana. Padahal sungguh saya termasuk penggemar cerita wayang, terutama Mahabarata. Tapi Ramayana itu jadi terasa aneh di kepala saya karena susunan kalimatnya menurut saya tidak memenuhi nilai rasa.... pokoknya enggak kerenlah bagi saya. Ramayana jadi terasa wagu dan kikuk. So, saya singkirkan buku itu. Ada lagi beberapa buku yang saya hentikan membaca karena sudah lewat momentum mood-nya ..hahahahha … Memang alasan ini model yang konyol sekali. Yang begini biasanya buku soal software komputer. Awalnya saya membeli karena ingin bisa ini itu. Tapi di tengah jalan 'cuthel' karena tak cukup telaten belajar tanpa guru yang menerangkan. Terus ada juga buku-buku berbahasa Inggris yang walau belum bisa dibilang saya singkirkan, tapi faktanya sudah beberapa lama belum saya sentuh lagi. Padahal rata-rata saya membelinya dengan antusiasme yang luar biasa karena alasan tertentu, seperti merupakan cerita klasik yang filmnya saya sangat suka, atau buku how to yang saya pikir sangat berguna bagi pengembangan hobi saya, atau malah karena sang pengarang dicap sesat sehingga bukunya tak boleh masuk ke Indonesia. Nah nah nah …. ternyata alasan segala rupa itu terkalahkan oleh kenyataan bahwa kemampuan saya berbahasa Inggris yaaaaa masih segitu-segitu saja …. hahahahhaa ….. jujur saya sering nelangsa karena kenyataan ini … hiks ….

Lain lagi dengan buku yang bentuknya ebook. Wahhhh sungguh saya luar biasa senang ketika pertama kali mengenal yang namanya ebook. Saya rajin mengunduh ebook ini itu, beragam tema, beragam alasan. Mengunduh ebook menjadi semacam histeria. Tapiiiii ….. lagi-lagi histeria itu tak akur dengan fakta bahwa saya tak cukup betah membaca di depan monitor. Bagi saya membaca yang terenak adalah sambil tiduran, tak peduli itu adalah kebiasaan yang menurut dokter merusak kesehatan mata. Sooooo.... bisa ditebak ending-nya, entah berapa ebook yang belum saya jamah …. ehhhmmm....

Eh ngomong-ngomong, walaupun saya sadar diri betapa tidak sempurnanya saya dalam hal ber-buku, tapi tetap saja saya sibuk 'mengejar' ketika teman merekomendasikan judul ini itu layak dibaca. Ini malah saya baru selesai mengunduh dua ebook yang direkomendasikan oleh dua teman saya. Dan keduanya berbahasa Inggris. So, bagaimana kira-kira nasib keduanya? Hehehehehe … try to guess …..

Jumat, 30 September 2011

ROK MINI

Tempo hari bang Foke didemo oleh rakyatnya gara-gara pernyataannya soal rok mini. Si abang Gubernur kurang lebihnya bilang sebaiknya perempuan juga tidak menggunakan rok terlalu pendek untuk mencegah orang berpikiran jorok yang bisa berujung pada pemerkosaan, seperti pemerkosaan di angkot yang sedang marak. Alhasil didemolah beliau oleh perempuan-perempuan yang berpendapat bahwa masalahnya bukan di rok mini dan tak elok menyalahkan perempuan yang posisinya korban atas kejahatan seksual itu. Jadi pernyataan si abang dianggap melukai perasaan perempuan. Dan di televisi ketika wartawan meminta komentar dari bang Foke, yang keluar dari mulutnya hanyalah 'tidak ada komentar'.

Seingat saya kejadian soal rok mini ini bukan pertama kalinya. Dulu, entah tahun berapa saya pernah membaca sebuah iklan, kalau tidak salah semacam iklan layanan masyarakat. Ada gambar kaki perempuan berrok mini tanpa terlihat bagian kepalanya dan ada tulisan 'bagaimana angka pemerkosaan menurun kalau rok anda semakin semakin tinggi?'. Alhasil iklan yang tayang di koran nasional itu menuai tanggapan dan protes.

Ahhh ... rok mini, salah satu produk mode yang bisa dianggap sebagai ekspresi 'kebebasan' dan modernitas perempuan. Rok mini juga bisa dikatakan sebagai simbol pemberontakan perempuan. Dan dari jaman ke jaman rasanya sebagai produk mode, rok mini ini tak pernah lekang atau kekurangan penggemar. Makanya makin lama ya makin lazim saja. So, kalau memang makin lazim bukankah seharusnya untuk mata manusia pun rok mini bukan hal baru alias 'sego jangan' kalau orang Jawa Timuran bilang. Dan karena sudah jadi sesuatu yang lazim maka seharusnya logikanya rok mini yang dipakai perempuan tidak terlalu mudah membangkitkan 'kejorokan' di pikiran yang melihat. Toh banyak banget yang mengenakannya. Dari yang muda sampai yang nenek-nenek. Dari yang pekerja kantoran hingga yang bukan apa-apa. Dari yang model sempit sampai yang model lebar. Yang pakai pun ada yang mulus beneran, ada juga yang 'belang belonteng'. So, benar-benar suatu kelaziman …. Tapiiiiii apakah jalannya logika selalu sama dengan jalannya syahwat? Saya meragukan hal itu..... Lalu yang lain bilang, ya hak pribadi dong mau pakai baju apa, kan ini badan milik pribadi. Ehmmmm.... tambah ruwet dah....

Pernah ada suatu kejadian yang saya saksikan sendiri. Seorang perempuan berbaju seksi marah ketika gerombolan anak muda yang dilewati 'memandanginya'. Teman laki-laki yang ada disebelah saya cuma nyengir sambil berkomentar, “Lha bajunya begitu ...ya gemes dong yang lihat...” Nahhhh bukankah ini bukti bahwa logika bahwa berbaju apapun itu hak perempuan tidak sejalan dengan alur syahwat pemandangnya? Saya sempat bilang ke teman saya, “hak dia dong pakai baju apapun.” Teman saya menjawab, “ya hak mereka juga dong untuk melihat. Toh mata mereka sendiri. Dan kenyataannya cuma melihat.” Nah kan …..

Jujur saja saya bukan termasuk yang punya rasa percaya diri untuk memakai rok mini. Alasannya, yaaaa salah satu dan mungkin yang terbesar adalah ngerasa tidak seksi … ahhahahahaa ….. Badan saya jauh dari montok... cenderung kurus kering …. alias cenderung 'kutilang darat'. Mungkin itu sebabnya saya merasa gampang-gampang saja menerima perkataan bang Foke juga tulisan di iklan tadi. Saya tidak tersinggung, walau tidak pula lalu beroposisi dengan yang berdemo tadi. Yaaa rasanya wajar-wajar saja dan di telinga saya itu terdengar seperti 'hai, berusahalah menjaga dirimu sendiri'. Mungkin kurang lebih sama dengan kalau ada yang bilang 'jangan pakai perhiasan berlebihan, ntar malah dirampok lhoooo'. Nah, kalau maksudnya seperti itu, apakah lalu pernyataan dan iklan itu salah? Ehmmmm mungkin perlu permikiran lebih dalam lagi yaaaaaa.....

Saya tidak menyalahkan mereka yang berdemo lhoooo ….. Sumpahhhh ! Mungkin mereka benar pernyataan seperti itu memojokkan perempuan yang sebenarnya berposisi menjadi korban. Mungkin benar pernyataan itu kurang sensitif terhadap perempuan. Mungkin redaksionalnya perlu diubah sedikit biar terdengar di telinga bak nasehat dari seorang bijak bestari.

Eh tapi jangan dikira mereka yang pakai rok mini tidak berusaha menjaga keselamatannya lhooo …. coba lihat saja mbak-mbak yang suka melilitkan kain untuk menutupi rok mininya sebelum turun ke jalan. Banyak juga teman saya yang hanya mengenakan rok mini seragamnya di lingkungan kantor dan berganti dengan celana panjang ketika berangkat dari rumah dan jam kantor usai. Banyak juga yang langsung menambah legging hitam ketika jam wajib berrok mini lewat.

Sooooo mau pakai rok mini? Silahkan … enggak ada yang ngelarang kokkkkk … Tapi hati-hati yaaaaaa....

Sabtu, 20 Agustus 2011

ANAK SEKARANG

Saya sedang berjaga di warnet tempat saya mencari uang tambahan di luar gaji ketika dialog ini terjadi. Seorang anak seumuran kelas 6 SD menghampiri meja saya dengan kedua tangan di kantung celananya. “Mbak, saya mau ngeprint”, katanya. Saya tanyakan file mana yang perlu di-print. Katanya masih dengan kedua tangan di kantung, “ Ya nyarikan dulu di google, mbak. Temanya soal ...”. Dia tidak sempat menyelesaikan kalimat itu karena saya keburu memontong dengan judesnya, “Itu tugas sekolah! Ya kamu yang cari sendiri! Emang yang sekolah saya?!”. Kentara nyalinya ciut dengan jawaban saya itu. Lalu duduklah dia di depan komputer dan mulai mencari apa yang dia perlukan. Dasar anak sekarang, sungut saya dalam hati.

Lain waktu seorang gadis seumuran SMA mendatangi meja operator ketika saya sedang asyik browsing. Katanya,” Mbak, tolong kerjakan soal di CD ini. Terus nanti save lagi di CD yang ini.” Ehmmmm..... saya gampang sekali meradang dengan urusan semacam ini. Dengan tegas saya jawab, “Disini tidak melayani pengerjaan tugas sekolah. Jadi silahkan kerjakan sendiri!” Dia tidak menyerah dengan penolakan saya. “Wah Mbak, saya minta tolong deh. Saya lagi ulangan nih...ga ada waktu buat ngerjain tugas ginian. Saya perlu belajar. Jadi Mbak aja yang kerjain, ntar saya bayar kok.” Hadeeehhhhhhh ...... jengkelnya saya. “Lha kalau yang mengerjakan saya apa gunanya tugas itu? Tugas itu dibuat untuk melatih kemampuanmu. Jadi ya harus kamu sendiri yang kerjakan.” Saya menolak pekerjaan semacam itu dengan pertimbangan 'mulia' ehhhh kok ditawar dengan uang. Saya bersikukuh dengan keputusan tsb walau si gadis terus merengek. Untung sang ibu yang menyertainya mau mengerti alasan saya. Lagi-lagi saya bersungut-sungut, dasar anak sekarang!

Seorang teman kantor bercerita tentang perilaku anaknya yang dimintai tolong ke warung. Katanya jawaban si anak adalah “ya ntar aja Bu kalau saya mau”. Ahahhahahaha ..... Saya tertawa melihat wajah gemasnya. “Lha wong ibunya yang nyuruh kok jawabannya begitu.... Dasar anak sekarang! Mereka kurang mengerti sopan santun.” lanjutnya. Di lain waktu teman yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris meradang karena muridnya mengerjakan tugas yang diberikan dengan bantuan Google Translate. Lagi-lagi saya geli dan menggodanya dengan menyebut si murid cerdas dalam menggunakan kemajuan teknologi informasi. Jawaban teman saya, “Halah mereka mau enaknya saja! Bahkan hasil terjemahan yang tidak karuan itu tidak mereka baca ulang apalagi diperbaiki! Ahhh sebal saya! Anak sekarang tidak seperti jaman kita dulu!”

Ahhh sebenarnya keluhan tentang 'anak sekarang' selalu muncul dari mulut generasi yang lebih tua terhadap yang lebih muda. Dulu orang tua saya juga mengeluhkan perilaku 'anak sekarang', dan yang dimaksud disini adalah generasi saya. Sekarang saya mengeluhkan generasi di bawah saya. Jadi mungkin saja dulu generasi kakek nenek buyut mengeluhkan generasi kakek nenek. Dan mungkin juga generasi kakek nenek mengeluhkan generasi bapak ibu saya. Lhaaa kayak kereta api yang sambung menyambung dong keluahannya.... Dan kalau keluhan itu benar-benar sambung menyambung, apakah berarti generasi yang lebih muda tak pernah lebih baik dari generasi yang lebih tua? Entahlah ....

Jujur saya selalu heran dengan mereka-mereka yang lahir di era penjajahan dulu. Begitu banyak orang pandai lahir di jaman yang konon luar biasa susah itu. Dan di logika saya, pada masa itu jumlah balita kurang gizi tak terhitung. Tapi sebut saja Sukarno sebagai contoh yang brilian. Berapa bahasa asing yang dia kuasai, kita semua tahu pasti. Belum lagi konsep-konsep pemikirannya. Apakah yang begitu bisa lahir dari bayi yang kurang gizi? Contoh lain Agus Salim. Ahhh sungguh saya mengidolakan pahlawan yang satu ini lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya. Dan seperti Sukarno, dia juga menguasai berbagai bahasa asing. Walaupun dia lahir dari keluarga yang terpandang, tapi kondisi sebagai bangsa terjajah tentu tidak membuatnya berlimpah fasilitas ini itu dalam menuntut ilmu. Tapi lihat hasilnya. Sukarno dan Agus Salim cuma dua contoh dari kegemilangan generasi masa itu. Dan saya membandingkan satu unsur saja dari mereka dengan diri saya sendiri, yaitu kemampuan berbahasa asing. Boro-boro menguasai tujuh bahasa asing, bahasa Inggris saja saya masih belepotan dan sering 'mati gaya' di depan klien perusahaan. Kalaupun sampai sekarang saya masih saja pe-de menemui mereka karena rata-rata para buyer tersebut masih sanggup tersenyum 'mengerti', malah kadang membantu melengkapi kalimat saya. Dan kalau sudah begitu saya akan menimpali dengan ''yeahhhh that's what I mean...”

Itu tadi baru soal bahasa. Bagaiman dengan soal perilaku? Ehmmmmmm .... ibu saya pernah bercerita betapa dulu kakek menggemblengnya dengan aturan tata krama yang ketat. Ibu selalu berbahasa Jawa halus alias 'boso' terhadap kakek dan nenek. Ibu tidak pernah duduk mengangkat kaki. Tidak pernah juga duduk di atas kursi ketika yang lebih tua duduk di lantai. Selalu patuh dan tidak pernah ada cerita membantah apalagi beradu mulut dengan orang tua. Nah nah nah .... saya bercermin dan hasilnya betapa beda dengan diri saya...... Boro-boro patuh, bahkan berbantahan pun seringkali saya anggap sebagai 'kebebasan berpikir dan berpendapat'. Boro-boro berbahasa Jawa halus, wong kebisaan saya menggunakan bahasa Jawa yang standard pun dianggap ibu saya menyedihkan... hehehheeheheh....

Ketika membicarakan hal ini dengan seorang teman, dia sempat berkata, “masa' sih generasi muda tak pernah lebih baik dari yang diatasnya? Padahal kan yang muda otomatis adalah hasil didikan yang lebih tua?” Ehmmmm ...saya terpikir akan sesuatu. “Waahhhh berarti generasi yang lebih tua salah mendidik yang lebih muda?” Teman saya langsung mendelik, “ Tidak bijak menyalahkan begitu. Sudahlah, kita anggap saja setiap generasi lahir di jaman seharusnya!” Ehhhmmm ..... okay dehhhhh ......

Senin, 15 Agustus 2011

Kartu Lebaran

Sebentar lagi lebaran. Sudah mempersiapkan kartu lebaran untuk dikirimkan pada sanak saudara dan handai tolan yang jauh disana? Pasti banyak yang bakal menjawab pertanyaan tadi dengan “hari gini pakai kartu lebaran....?”. Heheheeh .... memang rasanya saat ini kartu lebaran tak lagi banyak digunakan. Paling tidak seingat saya sejak enam tahun terakhir tak pernah lagi mengirim atau menerima kartu lebaran. Gantinya ya apalagi kalau bukan SMS dan e-mail. Malah sering-sering pakai ucapan 'berjamaah' yaitu menumpang pada gambar atau foto bertulis selamat lebaran bla bla bla yang di-posting teman di Facebook dan di-tag ke banyak orang. Disitulah, bersama banyak orang, saya 'bermaaf-maafan'. Ahhhhh .....demikianlah era digital.....

Saya ingat sekali dulu ketika lebaran menjelang, bapak saya akan mencetak kartu lebaran untuk dikirimkan ke kerabat dan teman. Ini dilakukan karena kalau dihitung-hitung cukup banyak juga yang perlu dikirimi kartu lebaran. Jadi mencetak sendiri adalah pilihan yang selain untuk menghasilkan kartu ucapan dengan tampilan yang cukup formal, juga secara biaya lebih murah. Pada saat itu biasanya akan terjadi sedikit perdebatan pemilihan warna dan kalimat yang tertera di dalamnya, karena ini adalah kartu lebaran personal, dengan nama, alamat rumah, dan alamat kantor tertera di dalamnya. Lalu bapak saya membubuhkan tanda-tangan dan kami bergotong-royong menuliskan alamat dan menempelkan perangko di masing-masing amplop lalu membawanya ke Kantor Pos kira-kira dua minggu sebelum hari H. Dan ketika lebaran datang kami akan menerima kartu yang kurang lebih sejenis. Oh iya, dulu ibu saya seringkali mengukur seberapa 'ingat' kerabat dan teman kepada keluarga kami dengan melihat siapa saja yang mengirimkan kartu lebaran. Tentu yang memberikan tambahan ucapan yang lebih personal lagilah (seperti menanyakan keadaan keluarga kami) yang dianggap ibu paling 'ingat'. Tentu yang tidak mengirimkanlah yang paling tidak 'ingat'. Dan semakin sedikit kartu lebaran yang kami terima, maka artinya semakin sedikit pula yang 'ingat' kepada kami ...... demikian logika sederhananya ... ahhahahaha..... Oh iya, dulu ibu saya selalu memilih kartu lebaran dengan ukuran yang agak besar dengan gambar yang elegans serta kalimat sederhana yang santun untuk dikirimkan kepada seorang yang sangat dihormati. Menurut ibu saya, tidak cukup sopan mengirimkan kartu lebaran berupa kartu cetak kepada orang-orang seperti ini. Nah nah nah .... berkirim kartu lebaranpun menimbang soal adat kesopanan.

Saya sendiri mulai berkirim kartu lebaran ketika kuliah. Yang saya kirimi tentu saja teman-teman kuliah yang pada pulang kampung ke daerahnya masing-masing. Dan karena kantong saya cukup cekak, maka kartu lebaran yang murah meriahlah yang saya pilih ... hehheehehe .... asal bisa menghantarkan perhatian ke sahabat-sahabat. Nah berawal dari kantong yang cekak inilah, bersama beberapa teman, saya membuat jasa pembuatan kartu ucapan handmade. Sebenarnya awalnya tidak sengaja. Iseng-iseng saya membuat map dari karton tebal dan kertas sisa. Pada masa itu ketentuan di kampus bahwa konsep dan tugas gambar harus dikerjakan di atas kertas tebal, bukan kalkir. Konon ini untuk meminimalkan penjiplakan. Jadi setiap semester selalu saja kertas tebal warna-warni menjadi kebutuhan pokok. Karton tebal saya kombinasikan dengan kertas warna mencolok, jadinya lumayan manis. Dan melihat itu entah bagaimana tahu-tahu kami sudah mengumpulkan sisa-sisa kertas tugas lalu membuat desain kartu ucapan. Bahannya macam-macam dan karena semuanya sisa jadi tidak ada standar yang jelas. Malah kami cenderung menambahkan apapun yang tampak oleh mata sebagai elemen pemanis, seperti busa topi, ranting kering, bunga semak, karton bekas, rumput kering, dan lainnya. Pendek kata kami cuma beli lem dan tinta warna-warni saja. Lainnya barang sisa. Bahkan kalimatnya pun kami tulis dengan tulisan tangan biasa. Karena itulah oleh pembeli kartu kami dicap bergaya natural yang rustic .... ahhahahahaah.....

Itu dulu. Sekarang saya tak merasa perlu kartu lebaran lagi. Karena semua terasa sudah ada di 'genggaman' alias bisa digantikan oleh produk hasil perkembangan teknologi yang bernama handphone. Mau kirim ucapan selamat lebaran ya tinggal ketik SMS lalu kirim secara 'berjamaah' ke mereka. Jauh lebih sederhana dibandingkan keruwetan yang timbul ketika bapak saya berkirim kartu lebaran dulu. Tapi kalau dulu ketepatan sampai tergantung pada Kantor Pos, sekarang harus menggantungkan diri pada provider teleponnya. Sebab, berkirim ucapan dengan SMS sudah jadi hal yang sangat umum. Jadi bisa dibayangkan berapa juta manusia yang saling berkirim SMS pada saat yang bersamaan. Maka sering-sering macetlah si jalur karena kelebihan beban. Efeknya, si SMS kalau tidak tertunda dan bakal sampai berhari-hari setelahnya, ya hilang di 'jalan'.

Soal konten SMS, ehmmmm sangat beragam. Mulai dari yang 1000% serius hingga yang konyol-konyolan. Dari yang berbahasa asing, sampai yang berbahasa daerah. Dari yang polos tanpa gambar, hingga yang full berhias. Dari yang singkat padat jelas, hingga yang panjang bertele-tele. Mengenai konten ini saya pernah punya pengalaman agak lucu. Suatu saat saya membuat ucapan yang benar-benar saya karang sendiri dan mengirimkannya ke banyak teman. Lalu tahu-tahu saya menerima ucapan yang persis sama kalimat dan titik komanya dari teman saya. Iseng saya tanyakan, jawabannya “Iya tadi belum buat ucapan, eh sudah terima dari kamu. Bagus sih, jadi aku forward saja teman-temanku. Jadi balik ke kamu juga ya ...” Heehheheeheh .... untung ya saya tidak menarik royalti dari ucapan itu.

Oh iya, seperti yang saya bilang di awal tadi, SMS bukanlah satu-satunya pengganti kartu lebaran di era digital ini. Ada yang lebih praktis lagi, yaitu dengan memasang status ucapan selamat lebaran dan seterusnya di akun Facebook, Twitter, dan messenger. Alhasil tersebarlah ke mereka yang ada di list kita. Dan rasanya sah-sah saja, dalam artian bisa diterima dengan mahfum, tanpa berpikir kurang sopanlah, atau apalah. Malah bisa dipastikan akan ada saja yang ikut numpang di wall kita itu, dan jadilah ajang halal bihalal maya. O la la praktisnya..... Dan yang penting murah pula.

Nah, lebaran sebentar lagi. Dan seperti tahun-tahun yang lalu saya tidak menyiapkan kartu lebaran. Yang penting selama ada pulsa di handphone pasti amannnnnnnnn ....... Soal apakah benar-benar permintaan maaf itu keluar dari hati dan diterima dengan sepenuh hati pula, ehmmmmmm hanya Allah yang tahu......

Kamis, 11 Agustus 2011

ANTI AGING

Tempo hari saya rasakan satu bagian di kepala saya gatal sekali. Cuma ada satu penyebab gatal yang terpikir di benak saya, yaitu ketombe. Karena memang yang namanya ketombe jujur saja datang dan pergi dari kepala saya, karena ketidaksetiaan saya terhadap satu jenis shampo. Juga kebiasaan mengenakan kerudung pas ketika kepala masih kuyup sisa keramas. Nah nah nah ... berbekal persepsi itu keramaslah saya dengan shampo anti ketombe yang katanya paten dan memang saya pernah membuktikannya. Tapi kali ini tidak. Bagian itu tetap gatal kedati tadi saya sempat bershampo dua kali. Iseng-iseng mengacalah saya untuk melihat bagian tersebut. Daaannnnnn olalala .... ternyata ada uban disana! Tidak cuma satu, tapi lima dan bergerombol di area yang sama. Setelah tuntas mencabutinya satu persatu saya tercenung.

Uban, kata orang memang menyebabkan gatal. Dan identik dengan tua. Jujur saja, saya miris menjadi tua. Bukan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh industri kosmetik dalam iklan televisi. Bukan, saya tidak memikirkan tua dalam artian muka berkeriput, mata berkantung, dan kulit yang bercorak. Saya memikirkan tentang tua yang sebenarnya, bukan sekedar tua yang mengarah pada 'bungkus' atau casing saja. Tua yang mengacu pada 'bungkus' dan 'casing' rasanya sudah diberikan solusinya oleh industri kecantikan dan kosmetika. Lihat saja berapa banyak iklan kosmetik yang mengusung jargon 'anti aging'. Coba hitung pula jumlah salon yang menawarkan perawatan ini itu untuk menghilangkan keriputlah, mengencangkan wajahlah, operasi plastiklah, dan tetek bengek lainnya yang berujung pada 'terlihat kembali muda'. Terlihat ..... saya selalu menggaris bawahi kata ini untuk semua cara dan formula itu. Lalu, jika wajah tetap kinclong kinyis kinyis ala bayi apakah berarti kita tak lagi menjadi tua?

Tua. Ehmmm sampai detik ketika menemukan uban di kepala, saya selalu berpikir saya tak cukup tua, walaupun juga tidak muda sekali. Sebenarnya itu cuma kalimat panjang untuk mengatakan bahwa saya percaya saya masih muda. Apalagi sayalah yang termuda dalam keluarga inti selama ini Tapi rasanya kepercayaan itu terpatahkan dengan bukti uban di kepala saya. Jika saya sudah beruban, lalu apa bedanya saya dengan bapak dan ibu saya yang kepalanya sudah putih rata? Ya ya ya memang sekarang baru ditemukan lima helai, tapi bukankah yang lima itu bukti bahwa ada proses yang sedang aktif berjalan?

Sebenarnya ini kedua kalinya saya merasa tua. Dulu ketika kakak perempuan saya melahirkan anaknya yang pertama, yang berarti keponkan pertama saya, saya tersadarkan oleh satu hal : generasi baru telah lahir tepat di bawah saya. Tapi waktu itu saya tidak tercenung karena toh yang saya hadapi masih berupa bayi tak berdaya yang menggemaskan. Tapi sekarang, ketika saya temukan uban itu, si generasi baru ini ternyata sudah menginjak bangku SMP dan tingginya pun sudah melampaui bahu saya. Ahhhh .... proses yang bernar-benar aktif bergerak.

Jadi intinya, saya cukup resah. Benar-benar bukan masalah takut keriput. Tapi takut menjadi tak berdaya. Saya mulai berhitung apa yang saya lakukan sekarang. Saya produktif bekerja. Saya juga sibuk berencana ini itu dan mulai merintisnya. Saya mengerahkan energi dengan satu pikiran ada waktu yang masih terasa luang dan panjang. Sering-sering saya berangkat tidur lewat tengah malam dengan kepala yang masih berputar akan apa yang harus dan akan dikerjakan esok. Sering-sering juga masih berandai-andai hal indah yang ingin saya lakukan. Saya hidup dengan semua itu. Dan rasanya itu bukti bahwa sebuah kemudaan walau hanya berupa harapan dan cita-cita.

Harapan dan cita-cita. Rasanya masa muda penuh dengan keduanya. Karena ya itu tadi, ada waktu di depan yang terasa panjang, walau sebenarnya belum tentu juga panjang. Beda dengan mereka yang sudah berumur tua. Apalagi yang diharapkan wong kita sudah tua, kalimat ini sering sekali saya dengar dalam pembicaraan orang tua saya dengan teman-teman seangkatannya. So, kalau sudah tua berarti tak punya harapan lagi? Atau tidak patut berharap? Karena ada waktu yang secara logika manusia cuma tinggal sejengkal? Mungkin kurang lebih seperti itu. Dan yang paling kentara adalah tak ada lagi kegiatan harian yang padat. Contoh nyata akan hal ini saya temuai di rumah setiap kali pulang kampung. Bapak saya yang dulu setiap hari berangkat ke kantor dan sering kali masih membawa pulang pekerjaannya dalam berbagai bentuk, kini adalah orang rumahan yang bisa bangun atau berangkat tidur seenaknya. Tak ada lagi target atau dead line kerja. Enakkah seperti itu? Entahlah. Kalau Bapak saya bilang sih, yaaaaa beginilah masa pensiun. Dan saya membandingkannya masa pensiun itu dengan ritme hidup saya sekarang. Ehmmmmm .....

Nah nah nah ..... tua. Kata seorang teman saya terlalu mendramatisir masalah penemuan uban. Ehmmmm ... mungkin juga dia benar. Tapi saya sudah kadung merasa gelisah dan jadi mulai menafsirkan ungkapan seorang filsuf Yunani 'berungtunglah mereka yang mati muda'. Mungkin memang berurntung karena paling tidak mati muda berarti mati tidak dalam kondisi tak bisa berharap dan bercita-cita lagi. Teman saya membantah. Katanya ya malah rugi besar, wong masih asyik-asyiknya produktif kok mati. Apalagi kalau matinya melalui proses panjang seperti sakit parah lama. Tambah tidak enak lagi, katanya, masih muda tapi tak produktif eh malah membebani yang lain. Ehmmmmmm ..... benar juga..... Lalu teman saya bilang, mungkin yang benar adalah 'beruntunglah mereka yang mati mendadak'. Kontan saya mendelik. Katanya, karena yang mati mendadak tak akan sempat berpikir ruwet-ruwet seperti saya.

So...... akhirnya saya pikir industri kecantikan telah salah membuat provokasi. Mereka sibuk mengompori konsumen terutama perempuan untuk melakukan perawatan anti aging pada mukanya. Tujuannya apalagi kalau tidak melawan proses tua. Tapi apa yang mengalami penuaan cuma muka saja? Tidak bukan? So seharusnya yang perlu diawetkan tidak cuma muka! Apa gunanya muka masih muda kinyis-kinyis tanpa keriput jika hati dan pikiran telah layu tanpa harapan? Untuk pernyataan ini paling tidak teman saya tadi membuat statement yang mati mendadaklah yang beruntung, setuju dengan saya .....

Selasa, 28 Juni 2011

Happy Cooking


Memasak ..... ehmmmmmm saya bukan termasuk yang pinter masak. Tapi termasuk yang menikmati proses memasak, dan tentu saja proses memakannya. Karena ketidakbisaan ini, saya pernah dicap berjenis kelamin 'laki-laki' oleh teman-teman kuliah saya. Gara-garanya dalam gank yang terdiri dari belasan orang dan hanya dua di antaranya perempuan, justru teman laki-lakilah yang paling jago masak. Alhasil setiap kali ada acara masak-masak, saya paling banter hanya bertugas untuk berbelanja. Itupun masih juga diprostes karena jarang menawar. Benar-benar kurang perempuan, komentar teman laki-laki saya. Sementara, seorang anggota gank yang laki-laki sungguh-sungguh lihai dalam hal seperti itu. Dia bisa menentukan bumbu dengan tepat dan menguleknya dengan 'lekoh'. Bisa memilih barang-barang dengan ketelitian khas ibu-ibu. Dan tentu saja fasih memegang segala macam alat dapur. Dengan rival yang seperti itu tentu saja saya tidak ada apa-apanya. Makanya saya waktu itu pasrah-pasrah saja dengan 'stempel' itu. Dan lebih memanfaatkannya sebagai alasan datang akhir saat semua masakan siap disantap ..... hahahhahahahaa...

Apakah saya benar-benar tidak bisa memasak? Ehmmmm ..... entahlah. Cuma jika dirunut secara genetika, ibu saya adalah seorang pemasak yang cukup handal. Ini dibuktikan dengan harum namanya di kalangan keluarga, tetangga, kantor bapak saya, dan PKK Dharma Wanita sekabupaten kota kami. Dan biasanya ketika ibu saya sibuk berkutat dengan semua itu dan meminta saya membantu, maka yang saya lakukan adalah membantu dalam arti yang sebenarnya : melakukan apa yg diperintahkan tanpa berpikir. Alhasil tidak ada transfer ilmu rasanya ..... ahhahahahaha .....

Nahhh sekarang ketika sudah hidup terpisah dari orang tua, seringkali saya kangen dengan masakan-masakan khas ibu saya. Dan kalau sudah bicara tentang cita rasa khas pastilah ke ujung duniapun tak akan bisa ditemukan yang sama. Itulah adanya. Saya bisa menemukan pepes udang di warung makan. Cuma tidak pernah saya temukan pepes udang ala ibu saya, kendatipun warnanya sama merahnya. Kalau sudah tak tahan mengidam, maka yang saya lakukan adalah berusaha membuatnya sendiri, sebisa saya .... Eittttt tidak cuma sebisa saya, tapi juga ada keterbatasan alat masak.

Alat masak ...ehmmmm ... tempo hari ketika sempat alat masak dasar cukup lengkap di kos saya. Artinya ada kompor gas lengkap dengan tabung gasnya, panci, cobek, dandang, dan wajan. Bukan milik saya pribadi, melainkan hasil patungan dengan teman-teman. Nah nah nah .... malapetaka datang ketika banyak teman karib saya pindah kos karena pindah kantor. Akhirnya kompor rusak dan tabung gas entah bagaimana kabarnya karena kosong dalam waktu yg panjang. Sementara teman-teman baru rata-rata membawa kompor dan alat-alat sendiri yang tentu saja digunakan secara pribadi. Awalnya saya anggap itu bukan masalah besar karena toh saya selalu membeli makanan di luar. Cuma akhirnya timbul juga keinginan untuk memakan 'makanan rumah'. Dan bingunglah saya karena yang saya punya hanya rice cooker kecil dan panci listrik.

Tapi benar kata orang bahwa ada kemauan ada jalan. Seorang teman yang nasibnya nyaris sama dengan saya; bertahun-tahun menghuni kos; meyakinkan saya bahwa kedua alat itu cukup untuk melakukan kegiatan memasak. Nah mulailah saya menfungsikan rice cooker tidak hanya untuk memasak nasi, tapi juga untuk membuat masakah yang berkuah. Problem solved! Saya jadi sering membuat bakso ayam, sup ceker yang menurut saya ehmmmmm syedapppppp .... (walau kadang keasinan ....ahahhahahaha). Urap sayur? Nasi liwet dengan lauk tercampur? Ahhh.... gampang :)

Bagaimana jika tidak pakai kuah alias seperti tumis-tumisan? Ehmmm jujur ini masih agak masalah karena walau bisa dikerjakan dengan menggunakan panci listrik tapi karena ukurannya cukup kecil maka agak menyulitkan juga. Jadi untuk tumis-tumisan saya cenderung membubuhkan air sedikit lebih banyak jadi rice cooker saya bisa tetap bekerja.

Oh ya, tempo hari saya benar-benar kepikiran dengan balado terong. Jadi browsing-lah saya di internet hingga dapat resepnya. Lalu karena saya belanja terlalu siang maka yang saya dapatkan terong bulat, bukan yang panjang. Ahhhh masih bernama terong kan? Saya juga membeli udang. Nah nah nah .... jangan dipikir saya memasak dua macam masakan ..... ehhehehhehhe tentu saja tidak. Bedasarkan alasan kepraktisan maka saya tumislah si udang dalam sambal balado dan saya masukkan si terong kemudian ..... hhohohoohohoh .... Apakah namanya masih balado terong? Dannnnnnnn soal penampilan ehmmmmm jangan dipikir penampilan masakan saya 'normal'. Dan jangan pula membandingkannya dengan peserta Master Chef....Malah saya pikir Chef Juna akan semaput melihat cara saya memasak .... ahhahahahahah

Ahhhh yaaaa.... saya nyaris lupa mengabarkan .... seorang kenalan teman saya bahkan mengaku berhasil menggoreng kerupuk dengan rice cooker lhooo ... nah nah nah .... see that i'm not alone? ahhahahaha....

Anyway .... happy cooking, everybody .....ingat ada kemauan ada jalan :)

Selasa, 31 Mei 2011

Nama

Setiap kali ada teman yang hamil, yang saya tanyakan adalah apakah sia sudah mempersiapkan nama untuk si jabang bayi. Sebagian menjawabnya sudah walaupun usia kandungan masih terhitung muda. Tapi ketika bertanya lebih detail mengenai hal itu, jawabannya selalu : rahasia, tunggu tanggal mainnya.

Ehmmm .... nama. Seorang Shakespeare terkenal dengan kalimatnya 'apalah arti sebuah nama'. Saya rasanya yakin 102% bahwa dia salah. Karena nama sungguh berarti banyak. Sebagian mengartikan doa. Sebagian mengindentikkan dengan keberuntungan alias hoki. Coba cermati, berapa banyak selebritis menyembunyikan nama lahirnya dan mengganti dengan nama baru yang tidak cuma untuk membawa hoki tapi juga agar terdengar enak dan indah di telinga. Membawa hoki nyaris identik dengan komersiil. Nama membawa citra pemiliknya. Tak cuma untuk selebriti. Nama merk, toko, perusahaan, atau hal semacamnya pun dipikirkan dan didesain oleh sang kreator agar membawa keberuntungan sebanyak-banyaknya. Tap percaya? Coba saja tanya para paranormal, pasti mereka pernah didatangi orang-orang yang menanyakan apakah nama ini akan membawa sial bagi penyandangnya. Dan untuk mendapatkan nama yang top markotop, banyak yang rela membayar sang paranormal untuk 'mendesainkannya'.

Nah bagaimana dengan rakyat jelata seperti saya? Menurut saya, orang-orang sekelas saya lebih mengartikan nama adalah doa dan harapan. Lebih tepatnya, doa orang tua untuk anaknya. Jadi jika seorang anak bernama Arif, maka saya 99% yakin itulah yang diharapkan orang tuanya, bahwa kelak dia menjadi anak yang bersifat arif terhadap segala hal, termasuk terhadap sesamanya. Kalaupun jadinya ternya seorang yang berkebalikan ... ehhmmmm .... yang mungkin doanya belum saatnya terkabul.... hehhehhhhe .... Tapi walaupun kenyataan membuktikan adanya 'doa dan harapan' yang tidak terkabul tak lantas membuat para orang tua putus asa dan menamakan anaknya sekenanya. Saya yakin itu 100%, walaupun kemudian pernah juga saya temui nama-nama yang artinya tidak doa dan harapan melainkan penanda suatu peristiwa. Semisal, seorang teman bapak saya punya nama Teken Slamet, kemudian disusul nama marganya. Dahi saya berkerut pertama kali mendengar si oom menyebutkan namanya. Dan dengan kurang ajar bertanyalah saya arti nama itu. Ternyata hari kelahirannya persis sama dengan saat si ayah harus meneken sebuah dokumen penting. Ya ya ya .... saya mangut-mangut saja.

Percaya tidak, bahwa nama ada trennya juga lhoooooo ..... Saat ini saya rasa sedang tren nama-nama yang berbau Arab, di luar nama para Rasul dan kerabatnya tentu saja. Coba teliti bayi tetangga kanan kiri. Pasti ada saja yang namanya berbau Arab. Dan nama-nama itu punya nilai rasa yang berbeda karena rata-rata ejaannya diperbarui. Nah nah nah .... masalah ejaan ini penting lhooooo... Tidak cuma untuk yang berbau Arab, tapi juga untuk yang berbau lokal. Ejaan yang berbeda memberikan nilai rasa yang berbeda dan menyediakan kekinian. Sebut saja bagaimana Jamilah sekarang seringkali dieja menjadi Jamila atau Jameela. Yang dulu Maya, sekarang menjadi Maia. Yang biasanya Mira, sekarang menjadi Myra. Yang dulu Agus sekarang menjadi August. Contoh yang paling gampang adalah penggunaan huruf y atau ie di akhir kata sebagai pengganti huruf i.

Oh iya, beberapa tahun yang lalu juga begitu tren nama import alias nama bule. Hal ini tidak termasuk etnis China yang memang dari sononya sudah cenderung menggunakan nama bule sebagai international name-nya. Ehmmm saya tidak hendak mengecam para pribumi yang menggunakan nama bule. Tapi jujur kadang saya tersenyum gara-gara ejaan yang tidak sama dengan aslinya dan kadang terkesan asal pengucapannya mirip. Misal Robet, bukan Robert. Bobi, bukan Bobby. Matew, bukan Mattew. Dan nama bule ini juga menimbulkan kesulitan bagi lidah-lidah yang tak terbiasa. Misal, seorang bapak-bapak tua pernah mengucapkan George ; nama teman yang asli Jawa; dengan benar-benar George sesuai cara baca bahasa Indonesia. Hheheheheheh kontan saya tertawa, bukan karena menganggap si bapak tolol, tapi lebih karena efek perubahannya yang begitu jauh.... dan yang punya namapun buru-buru menuntun si Bapak agar mengucapkannya dengan benar. Oh iya, tentang nama bule ini, seorang teman kakak saya yang pusing mencari nama untuk bayinya akhirnya menggandengkan merk air minum kemasan hingga menjadi sebuah nama yang enak di dengar yaitu Aqua Bonavita. Terdengar bule kan? Saya cuma berpikir, untuk yang digabungkan merk air kemasan. Bagaimana kalau misal yang digabungkan adalah merk detergen seperti Rinso DaiaB29? Ehhhmmmmm ......

Soal nama, seringkali orang tua punya pola tersendiri. Lihat saja bagaimana seorang Soekarno menggunakan benda-benda yang ada di langit untuk nama anak-anaknya. Bapak teman saya menggunakan huruf E untuk huruf pertama nama anak-anaknya. Dan Bapak saya sendiri mempunyai kecenderungan menggunakan suku kata In untuk suku kata pertama nama anak perempuan. Ini terbukti pada saya dan kakak saya, dan berulang pada saat kakak saya meminta nama untuk bayi perempuannya.

Nahhhhhh bagaimana dengan nama saya? Hehehehehee.... jujur saya bersyukur orang tua saya memberikan nama yang menurut saya berima cukup merdu dan juga berarti bagus. Ina Binanti Alasta. Hohoohohoh ...... saya nyaris yakin seandainya menjadi selebritis pun tak perlu menggantinya dengan nama baru. Soal komersialitas, ehmmm sudah terbukti ada produk sanitair yang bermerk Ina. Gara-gara menemukan bagian nama saya di closetnya, seorang teman yang sirik menuduh Bapak mencomot Ina dari jamban yang didudukinya setelah putus asa mencari nama untuk saya. Hehhehehehe... tentu saya tidak termakan dengan hal itu. Karena sang kreator sudah memberitahu artinya. Dan sungguh nama saya berarti ibu yang selalu membina. Nahhhh kaannnnn itulah doa orang tua untuk saya ..... Amin amin amin ......

So, apakah Shakespeare benar-benar harus mencabut pernyataannya?

Senin, 04 April 2011

Free Flying Bird ......

Hai hai kamu, akhirnya setelah empat tahun maya minggu kemarin semuanya menjadi riil, touchable. Ehmmmm ....menyenangkan .... tapi jujur sebenarnya juga meremukkan sebagian .... Tapi OK-lah .... yang penting sudah menjadi touchable. Thank you very much telah membayar empat tahun yang maya dengan tiga hari yang riil. Ehmmmm .... jika dianggap sebagai sebuah perdagangan yaaaaaa not bad-lahh …. yaaaa cengli lahhh.... ehehehehehehe ....

Ada banyak hal yang menarik bagi saya dalam pembicaraan kita. Termasuk kebohongan yang tersingkap .... hehheheheh ..... By the way, you should not to lie to me .... Cuma mungkin seperti itulah hakikatnya di dunia maya bahwa kita bisa menjadi apapun yang kita mau. Benar begitu benar, baby? And you be what you want, what you wish .....

Nah nah nah .... perkawinan .... ehmmmm sungguh perspektifmu mengenai satu hal itu menunjukkan betapa kita adalah dua orang yang sungguh-sungguh berbeda. Dimata saya, kamu adalah sesosok makhluk modern yang tak terikat pada apapun selain pada dirimu sendiri. Sedangkan saya merasa sebagai manusia bertualang dengan mesin waktu ke depan dan bertemu denganmu. Jadilah tergagap-gagap dengan perspektif itu. Padamu, saya sematkan dua deskripsi, you're a kind of free flying bird. Juga 'someone who entertain himself with his money' .... heheehhehehee semoga tidak terdengar begitu jahat. Karena memang tidak ada maksud mencemooh atau menyalahkan atau yang sejenisnya.

'I enjoy my single life' ....... ingat sekali ketika kalimat itu meluncur ringan dari mulutmu. Ada senyum. Ada kilau di manik mata. Ada riang di gestur. Ehmmmm artinya kalimat itu keluar dari hati. No regret. Ya, seharusnya seperti itulah hidup, tak ada penyesalan. Dalam hati saya bilang, I used to feel the same, but now feeling it's enough to be single ... aahahahahahahaha ..... Alasanmu, single life memberikan banyak kepraktisan. Tidak perlu urus 'exit permit' tiap kali mau kemana-mana. Tidak kena 'wajib lapor'. Tidak ada 'ekor' yang membutut selalu. Segala keputusan diambil lewat satu otak. Olala .... praktisssss sekali ...... Karenanya adalah hal yang tak cukup masuk akal bagimu makna yang tersirat ketika seseorang melakoni berjam-jam terbang melintas beberapa negara untuk menghabiskan waktu 3 minggu di desa kecil negara dunia ketiga dimana istri dan anaknya menunggu. Seperti sebuah perjalanan ke masa lalu di matamu. Mungkin bukan kesia-siaan, tapi mengapa? Sebuah pertanyaan menuntut yang nadanya terdengar sinis di telinga saya. Apalagi masih ada lanjutannya ternyata. Mengapa mesti meninggalkan tempat modern? Mengapa tidak bertahan menjadi bagian dunia pertama yang serba bermasadepan? Saya tercenung. Jadi apakah saya sial karena ada di tempat yang menurutmu tak cukup berarti itu? Hehehhehehe …. jujur jadi sedih ….. Juga jadi seperti sedang mendengarkan propaganda Amerika …. ahhahahahaha...

So, you enjoy your single life ….. and I said, very good, dear. But no need to be cynical when you see someone enjoy his family life. Dan tertawalah kamu. Katamu bukan sinis, cuma tak bisa membaca rencana selanjutnya. Ah embuh ….. cuma kepikir, ketika ibadah yang menyempurnakan setengah dien itu begitu indah di mata dan angan saya, kenapa jadi sesuatu yang merepotkan bagimu, dear? Punya pengalaman buruk, honey? Tak ada jawaban karena saya juga enggan menanyakannya karena terpikir terlalu privat.

So, setelah empat tahun chit and chat, akhirnya disinilah kita. Duduk tertawa-tawa sambil menghirup kopi Amerika yang jujur saya kurang tahu enaknya dimana selain cuma silau dengan merknya. Dan selama itu pula saya mengerti bahwa di dunia ini ada juga makhluk yang tak kukuh pendiriannya selain saya sendiri …..dan makhluk itu tengah duduk berbagi sofa dengan saya … ahahhahahahaha …... Dan saya jadi merasa tidak terlalu bersalah ketika niat di hati awalnya seperti sudah bulat jadi gepeng dan benjol di sana sini. Oh dear, lihat sepertinya kita adalah dua orang yang nyaris sama. Sama-sama meragukan satu dengan yang lain. Sama-sama mulai tak cukup kuat berpijak pada niat semula. Sama-sama menemukan ketidaksempurnaan pada diri satu sama lain. Dan lebih buruk lagi, sama-sama tidak mau jujur dan menutupinya dengan senyum canggung juga adat kesopanan..... Lalu apa yang saya lakukan? Ehmmmm mengekormu yang tengah meng-entertain yourself with your money …. hohoohohohohooh ….. what should I say, dear?

Nah nah nah ….. sekarang bagaimana? Ehmmm kehilangan juga rasanya ketika sayapmu mulai mengepak lagi. Cuma tak cukup punya nyali juga tak masuk nalar untuk mengiyakan tawaran yang disampaikan dengan setengah tak lengkap itu. Sementara untuk menagih tawaran pokok yang sudah pernah melayang bertahun lalu juga tak cukup yakin. Jadilah saya berdiri dengan gamang. Inikah akhirnya? Ada yang terasa hilang karena misteri yang terbuka….. Ada kecewa karena kebohongan yang tak seimbang …. Ada juga keriaan hura-hura yang memang tak biasa...... Tapi ujungnya adalah 'sorry dear, I can't accept the temporary thing that you offer' …... Lalu ada yang tertawa lewat pesan singkat dengan embel-embel '...let me show then you'll never forget me …' Hhoohohoohohohooh ...ada ketidakseimbangan yang menurut saya potensial terjadi. Jadi jawaban saya adalah 'hmmmm if I accept and really can't forget you then it means I hurt myself so badly, coz I know for sure you will fly here and there without me in your mind. May be you dont even remember my name .....'. Dan lagi-lagi yang saya dapat sebagai jawaban adalah tawa. See, you promise me nothing, dear........

Nah nah nah nah …. akhirnya yang tertinggal adalah aroma yang lebih berupa fantasi ketimbang realita. And now, when I see the sky above, I remember you dear, the free flying bird ….. and when I go to shopping center, you come to my mind as someone who entertain himself with his money …... hahahhahahahahaha ….

Anyway, thanks for visiting me, dear …...

Selasa, 29 Maret 2011

Sayang ..........

Sayang, betapa benar hidup tidaklah cukup sempurna. Setidaksempurna pertemuan untuk kita .... Sayang, menyesalkah kita? Sementara hidup adalah lingkaran yang harus kita putari. Bersama, lihatlah betapa besar lingkaran yang kau buat, sedangkan tanganku hanya menjangkaumu seperempat. Menyesalkah aku?

Ah Sayang, bukankah masa membuat tahu seperti itulah kita .... lingkaran besarmu, lingkaran kecilku, itulah yang kita genggam dalam tangan-tangan.... aku menangis dan tertawa dengannya.

Sayang, tak pernahkah kau punya redam dalam hati yang berlubang? dan mungkin yang kau inginkan kemudian adalah tidur yang dalam tanpa mimpi tentang harapan yang kian merayap pendar.......

Selasa, 08 Maret 2011

Senjata Andalan

Kakak perempuan saya tempo hari bercerita bahwa dia sempat dag dig dug ketika berkunjung ke Surabaya. Kala itu dia harus menghadiri rapat dinas di sebuah hotel di tengah kota Surabaya. Dari terminal Bungurasih dia menuju ke lokasi dengan menumpang bis kota patas AC. Dan katanya saat dia naik ke bis tersebut cuaca memang sudah mendung. Begitu bis berangkat hujan turun ke bumi seperti air yang tumpah, alias sangat deras. Nah, dag dig dug-lah kakak saya karena dia tidak membawa jas hujan, payung, atau sejenisnya. Pada saat yang sama dia juga tidak membawa baju ganti karena rapat memang dijadwalkan cuma sehari saja. Dalam bis yang melaju katanya dia terus memanjatkan doa agar hujan deras itu segera reda jadi dia bisa turun dan menghadiri rapat tanpa basah kuyup. Alhamdulillah doanya terkabul. Hujan deras itu reda tepat ketika bis mencapai pusat kota Surabaya dan kakak saya terhindar dari basah kuyup. Saya nasehatkan padanya untuk tidak pernah lupa membawa 'sejata' setiap kali ke Surabaya.

'Senjata'? Ehhheheheheh .... iya, saya menyebut begitu untuk beberapa barang yang menurut saya wajib. Barang tersebut adalah payung, sandal jepit, dan sepatu karet. Semuanya untuk 'berkompromi' untuk kondisi hujan dan banjir di Surabaya. Sekali lagi, hujan dan banjir. Sebab hujan bagi saya identik dengan banjir. Dan kalau bertanya daerah mana yang banjir, maka jawabannya adalah semua daerah! Mengapa begitu? Sebab rasanya memang susah sekali sekarang mencari kawasan bebas banjir di Surabaya. Kawasan yang katanya elit pun terkena banjir. Tengah kota juga. Dan kalaupun ada secuplik kawasan yang tidak tergenang banjir, saya yakin jalan menuju ke kawasan tersebut pasti tergenang banjir. Jadi tetap diperlukan perjuangan untuk mencapainya.

Nah, senjata pertama ada payung. Jelas fungsinya. Berubah menjadi jas hujan bagi mereka pengendara roda dua. Cuma bedanya payung bisa berfungsi di kala panas dan hujan. Sedangkan jas hujan hanya berfungsi pada saat hujan saja sebab rasanya bakal ada yang terbelalak jika ada yang mengenakan jas hujan di kala langit terang benderang dan panas terik. Jadi, bagi pejalan kaki atau pengguna angkutan umum seperti saya, tidak ada ruginya selalu menyiapkan payung. Seorang teman saya menyiapkan satu payung di rumah dan satu lagi di kantor sehingga tidak perlu membawa-bawa payung di dalam tasnya karena dia termasuk yang suka berganti tas. Sedangkan saya lebih memilih menyiapkannya di dalam tas saya, karena saya termasuk tipe yang tidak suka berganti tas. Terlebih lagi tas harian saya berupa ransel besar yang muat banyak barang termasuk laptop dan dokumen.

Senjata kedua adalah sandal jepit dan sepatu karet. Sebenarnya keduanya bisa saling menggantikan. Dulu sebelum punya sepatu karet saya selalu pakai sandal jepit di kala hujan, baik ketika berangkat maupun pulang kantor. Lalu pihak HRD kantor tempat saya berkerja memprotes dengan alasan karyawan dengan sandal jepit mencederai kehormatan perusahaan.... heeheheheheheh .... Ah kalau saya sih cuma bertindak berdasarkan kepraktisan saja. Dan lagi tak masuk akal rasanya jika tetap berjalan dalam bajir dengan sepatu kulit.

Nahhhhhhhhh ngomong-ngomong soal sepatu karet, saat ini banyak dijual barang ini dengan harga yang lumayan terjangkau. Dua sepatu karet saya harganya cuma lima belas ribu sepasang. Warna beragam. Demikian juga motif plastiknya. Kalau soal model sepengetahuan saya tidak terlalu banyak ragam, cuma hal ini tertutupi dengan motif dan warna yang beragam tadi. Jadi intinya saya saat ini saya lebih sering 'menunggangi' sepatu karet yang murah meriah itu ketimbang sepatu kulit atau keds. Awalnya tempo hari agak risih juga karena pernah punya pengalaman bertemu dengan tamu perusahaan yang rapi jali dan ketika berhadapan memandang saya dari atas kebawah. Ehmmmmmm .... walau tidak berkata apa-apa tapi nyaris rasa percaya diri saya drop ke level terendah. Untungnya saya ada di atas angin karena dia pada posisi menawarkan diri untuk menjadi pemasok. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka dengan penampilan saya, maka dia harus berusaha 'menyenangkan' saya ..... ahahahahahahah. Tapi tetap saja kejadian itu mempengaruhi saya, karena toh itu bukti nyata bahwa tak semua orang mematuhi kata-kata bijak 'don't judge the book from its cover'. Ah, saya jadi ingat sebuah film Hollywood yang dibintangi Robert Redford idola saya (waktu muda ehmmmmm .... dia amboi indahnya). Judul filmnya saya lupa. Cuma saya ingat sekali ada salah satu adegan dimana si tua yang ganteng itu menilai tamunya dari sepatu yang dikenakan mereka. Nah nah nah .... kalau sepatu benar-benar dapat digunakan untuk menilai kepribadian seseorang, lalu seperti apa kepribadian saya yang sekarang cinta mati dengan sepatu plastik yang cuma lima belas ribu perak sepasang itu? Ehmmmmm .... apakah saya akan dinilai sebagai seorang yang murahan? Ehmmmm entahlah .....

Soal sepatu plastik ini, seorang teman punya kecintaan yang kurang lebih sama dengan saya. Kami sama-sama suka mengenakannya. Kalau saya kadang masih malu mengenakannya di depan customer atau rekanan yang mentereng, teman saya itu sebaliknya. Dia cuek-cuek saja. Yang penting fungsinya. Juga otaknya. Demikian katanya. benar juga sih. Cuma kenyataannya dia lebih 'care' terhadap penampilan dibanding saya. Dia selalu memikirkan benar-benar komposisi warna yang melekat di badannya. Selalu memperhatikan model baju dengan seksama. Tak pernah mau terlihat seperti 'urap-urap' akibat tabrakan warna ataupun motif. Selalu seksama memilih warna, dan cenderung menghindari warna mencolok. Sedangkan saya, ehmmmmmm warna cerah selalu 'menggoda'. Jadi ketika dia memilih sepatu plastik warna coklat tua karena menurutnya lebih netral, maka saya dengan enteng mengambil warna merah ...... ahaahahahhaah ......

Oh iya, soal sepatu karet ini, saya pernah menemukan di satu mal terkenal sepatu dengan konsep yang sama tapi menggunakan merk asing yang telah mendunia. Warnanya hijau bening yang pasti cocok untuk sepasang kaki dengan kulit putih bersih (ehmmmmm ...kayaknya bukan kaki saya deh). Dan begitu saya dekati, wah wah wah ..... harganya membuat jantung saya melompat. Teman saya terkekeh-kekeh. Katanya, “ah saya mah ga butuh merk ...yang lima belas ribu aja dah top banget dehhhhh ...” Sedangkan saya? Ehmmm yang lima belas ribu juga dehhhhhhh ..... hhehhheeheheheh ....... Eh masih menurut teman saya, sepatu karet yang murah meriah ini sanggup memberikan perubahan karena harganya yang terjangkau di banyak kalangan membuat semakin banyak orang yang mengenakan sepatu pada saat keluar rumah. Alias tidak lagi mengenakan sandal. Jadi lebih rapi kan?

Anyway, satu pesan saya, jika berkunjung ke Surabaya sebaiknya persiapkan 'senjata' yang tepat.

Kamis, 03 Februari 2011

Pemimpin, Bapak Bangsa, dan Pahlawan

Semalam saya menonton sebuah tayangan yang cukup menarik, sebuah perbincangan tentang negarawan Indonesia. Ehmmmm .... sebenarnya sih ada nada-nada menyindir para negarawan dan elit politik saat ini. Ah sindirin seperti itu kan jamak yaaa di era demokrasi seperti ini? So, biarlah sindirannya berjalan terus, siapa tahu mengena di hati yang disindir ..... heheheheehhe

Nah, acara tsb mengulas tentang para bapak bangsa, yaitu Sukarno, Hatta, Agus Salim, dan Syahrir. Cerita tentang kehidupan mereka di masa lalu, yang tentu berisikan masalah teladan tentang kesederhanaan hidup. Sebenarnya bukan cerita baru bagi saya karena bapak saya adalah seorang pencerita sejarah yang baik, bahkan saya yakin lebih baik daripada guru sejarah saya..... eeheheheheh .... maaf Pak, Bu mantan guru sejarah saya, tapi saya mesti jujur ..... hehhehehehe.... Berkat bapak saya juga, sejak kecil sedikit banyak saya sudah mengenal nama Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Agus Salim. Untuk Hatta dan Syahrir, saya tidak punya buku rujukan selain buku teks sekolah. Jadi sumber lain adalah tuturan bapak saya yang bisa jadi subyektif karena dibumbui pendapat pribadinya. Sedangkan untuk Sukarno dan Agus Salim, ada buku yang saya dapat; tentu saja; dari bapak saya. Biografi Sukarno yang ditulis oleh Cindy Adams dan buku Seratus Tahun Haji Agus Salim adalah bacaan saya semasa sekolah dasar dan sepertinya saya pernah mengulangnya ketika sekolah menengah. Dari buku itu saya tahu cerita-cerita kemelaratan Sukarno (juga ke-playboy-annya tentu saja) dan Agus Salim. Jujur dari kedua tokoh itu, Agus Salim cuek dan simple lebih 'nyantol' di hati saya ketimbang Sukarno yang flamboyan.

Nah nah .... saya mendengar dan membaca tentang mereka. Apakah saya belajar dari mereka juga? Ehmmmmmmm ..... embuhhhh .... hehehehehe .... cuma saya sangat salut dengan mereka,yang dalam kondisi susah masih kuat mencengkeram idealisme dan memperjuangkannya. Sering saya berpikir seperti apa otak Agus Salim sehingga bisa menguasai 9 bahasa asing? Sepeti apa Sukarno berpikir sehingga bisa menginspirasi jutaan manusia? Seperti apa Hatta berlaku sehingga dia bisa begitu lurus? Seperti apa seorang Syahrir membangun dirinya sehingga idealismenya tak luntur bahkan ketika mesti menjadi tapol sekalipun? Ahhhhh tak diragukan mereka adalah orang-orang hebat. Ada yang bilang bahwa pemimpin dilahirkan pada masanya. Jadi tak peduli sesusah apa rintangan menghadang, mereka akan bisa melaluinya dan tampil sebagaimana mereka ditakdirkan ...... Ehmmm jadi meskipun Agus Salim sempat tinggal di rumah kecil dengan wc yang selalu meluap, dia tetaplah Agus Salim yang akan menjadi manusia hebat di tanah ini.

Nah nah nah ....... how about now? Maksud saya, jika memang pemimpin dilahirkan pada masanya, maka berarti bakal ada pemimpin juga dong pada jaman saya ini..... Bukan sekedar pemimpin kacangan maksud saya, tapi pemimpin yang benar-benar 'ampuh' seperti mereka-mereka yang saya sebutkan namanya di atas. Mereka yang tidak mendapatkan predikat pemimpin dari membeli, tapi mereka yang mendapatkannya dari rintisan bermasa yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadinya. Mereka yang bervisi dengan idealisme yang tak goyah oleh badai apapun. Mereka yang menganggap materi adalah hal remeh temeh yang bisa dikesampingkan menjadi nomor sekian atau malah terbuang dari daftar prioritasnya. Ehmmmmmmm ..... kok kayaknya hebat sekali sehingga seperti utopia yang cuma ada dalam mimpi dan kata-kata ya..... Ahhhhh .... setiap pemimpin dilahirkan pada masanya. Soooooooo, pasti ada pemimpin itu .... Siapa? ehmmmmmm mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengidentifikasinya. Bukankah Sukarno, Hatta, Syahrir, dan Agus Salim diakui mutlak sebagai pemimpin, bapak bangsa, dan pahlawan setelah masanya lewat? Jadi berarti mesti tunggu masa ini lewat dulu ya? Mungkin ...... mungkin beberapa tahun nanti akan ada orang-orang yang dipredikati sebagai pemimpin, bapak bangsa, dan pahlawan yang sebenarnya lahir ceprot pada jaman saya hidup. Dan mungkin saja mereka nantinya adalah orang-orang yang saya kenal ..... mungkin juga anda ..... atau malah bisa juga saya ..... aahhahahahahaha .... ehmmmmm bagaimana rasanya jika nama saya diabadikan untuk nama jalan, atau tempat-tempat megah? Ehmmmmm .... memangnya ada yang mau saya pimpin? Ah, saya agaknya bisa menjawab pertanyaan ini .....

Sukarno pernah berkata, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Jadi ya boleh saja dong jika misal saya bercita-cita memimpin bangsa ini dan kelak menjadi bapak eh ibu bangsa dan dianugerahi gelar pahlawan. Cuma kira-kira ada yang mau enggak ya saya pimpin? Ehmmmmm ... kayaknya saya mulai bisa meraba jawaban untuk pertanyaan ini ..... hehehehehehhe

Rabu, 26 Januari 2011

Pekerjaan Rumah

Seorang teman sempat menjadi bahan olok-olok di kantor karena sebelum berangkat kerja dia harus mencuci baju terlebih dahulu. Baju siapa saja? Ya semua orang seisi rumah, jawabnya enteng. Seisi rumah berarti baju kotor kedua anaknya dan istrinya. Tak ada pembantu rumah tangga untuk mengerjakan hal itu, tanya saya. Jawabnya masih enteng, tidak ada. Alhasil seisi yang lain langsung menggoda dengan menyebutnya anggota ISTI alias Ikatan Suami Takut Istri. Dan yang mengatakan hal ini tidak cuma yang laki-laki, tapi juga yang berjenis kelamin perempuan; kecuali saya. Yang digoda cuma senyum-senyum saja. Saya jadi membayangkan seperti apa istrinya. Apakah tipikal pengomel? Atau tipikal penjajah? Pikiran saya terputus ketika satu jawaban keluar dari mulut teman yang digoda tersebut. Katanya, “Saya kan menghormati dia sebagai patner dalam hidup. Dia sudah membantu saya mencari nafkah untuk keluarga. Jadi menurut saya wajar-wajar saja saya membantunya mencuci baju atau pekerjaan rumah yang lainnya.” Apakah dengan jawaban tersebut lalu godaan menjadi selesai? Ohhhhh jangan salah, godaan masih berlanjut terus dan predikat anggota ISTI tetap disematkan kepadanya. Sedangkan reaksi teman saya itu juga tetap tenang-tenang, menghadapi ejekan yang kadang cenderung bernada cemooh dengan sangat santai dan humoris. Sedangkan saya? Ehmmmm ... saya langsung beringsut kembali ke meja saya dengan kepala berisi sesuatu.

Jujur saja, kalimat jawaban tadi baru pertama saya dengar keluar dari mulut seorang suami. Saya heran. Saya salut. Berapa banyak suami yang berpikiran seperti dia? Ehmmmmm .... apakah dia melakukannya karena penghasilan istrinya lebih besar daripada yang didapatnya? Ini yang saya tidak tahu dan tak berani untuk mencari tahu. Ahhhh ... saya jadi ingat, seorang teman laki-laki mengaku penghasilan istrinya lebih besar darinya. Dan saking penasaran saya korek-koreklah dirinya. Hasilnya, dia tidak mencuci baju, tidak bisa memasak, dan juga tidak membersihkan rumahnya. Pekerjaan rumah yang dilakukannya adalah ngemong anak dalam artian menjaga saja, tidak termasuk mengganti popok, menceboki, menyuapi, dan sejenisnya. Nah, apakah berarti masalah besar kecilnya penghasilan tidak berpengaruh?

Mungkin memang tidak berpengaruh. Sebab saya melihat bukti yang lain. Seorang teman kos pernah membuat saya takjub karena staminanya yang tinggi. Dia berangkat kerja sekitar pukul 06.30. Dan seringkali baru pulang sekitar pukul 20.30 atau malah lebih. Katanya produksi sedang peak season jadi lembur terus. Dan jangan salah, setelah sampai di rumah dia tak berleha-leha. Setelah makan malam dia langsung bekerja membuat jajanan untuk dititipkan di kantin pabrik esok hari. Dan jangan dikira pekerjaan membuat jajanan ini sederhana, karena saya lihat prosesnya cukup memakan waktu dan tenaga. Dia harus terlebih dahulu merebus bahannya, lalu memotong sesuai ukuran, lalu menggoreng, dan terakhir mengemasnya dalam plastik kecil-kecil sehingga jajanan itu bisa dijual dengan harga seribu perak perbungkus. Dan melihat caranya menutup plastik bungkus dengan membakar mulut plastik dengan lilin, saya langsung merasa pegal yang luar biasa. Dia mengerjakan semua itu hingga jauh malam. Kadang ketika terbangun dini hari saya melihat kamarnya setengah terbuka dan dia tidur bersender di tembok dengan lilin menyala di depannya. Iseng saya tanyakan berapa jam dia tidur dalam sehari. Jawabnya paling lama tiga jam. Dan dia masih bisa berdiri tegak. Saat itu saya langsung membenci suaminya. Karena saya lihat laki-laki itu hampir selalu pulang jauh lebih cepat dan saking cepatnya sering bisa tidur siang. Kalau memang sang suami luang waktunya kenapa pekerjaan membuat jajan tidak dialihkan pada sang suami saja? Toh materialnya sudah tersedia di kulkas sejak siang hari. Kalau memang pekerjaan bisa dibagi kenapa tidak dibagi? Takut rasa jajanannya berbeda? Ahhhh yang begitu mah bisa diatasi dengan takaran-takaran baku dan pembelajaran.

Ehmmmmm .... apakah dari dua kejadian yang saya sebutkan di atas berarti laki-laki cenderung enggan membantu mengerjakan pekerjaan rumah? Ehmmmmmm .... mungkin sebenarnya tidak juga. Toh di atas cuma dua kejadian saja, jadi tidak bisa dikatakan mewakili kan? Mungkin di luar sana semua pasangan di selain dua pasangan di atas semuanya bekerja sama soal pekerjaan rumah dengan indahnya .....

Jujur sebagai perempuan, kuping saya tentu akan 'semriwing' senang jika mendengar pasangan berbicara seperti teman yang saya sampaikan di paragraf pertama. Saya akan terharu ..... juga senang ..... juga bangga...... Ehmmmmmm juga bakal besar kepala dan berubah menjadi penjajah ga ya? hehheeehhehe ...... Semoga tidak ......

Selasa, 25 Januari 2011

not lost without you

I’m Not Lost Without You

see, I’m not lost without you
Just a little bit confuse,
unstable,
got hole in my head
not too deep, not too big,
but enough for making me incomplete

still it’s true I’m not lost

see, I’m still going on
even everybody says I’m getting slower
I just say this is life
real life
of me

see, I’m walking through this all
cause this is life
real life
of me

crying will be yesterday’s thing
as yesterday as smiling and laughing
it’s fair, right?

See, I’m not lost without you
incomplete for a while,
unstable for a while,
it’s all just human side of me

see, I’m going ….