Rabu, 28 Desember 2011

Surabaya, Wisata 10 Nopember 1945




Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih berstatus mahasiswa (ehmmm duh ketahuan deh umur dah tuwir), saya berkunjung ke Surabaya bersama teman yang Betawi asli. Bis kota menurunkan kami di daerah Jembatan Merah Plaza. Teman saya langsung bertanya, "berarti dekat Jembatan Merah dong? Yang mana jembatannya?" Dia mengikuti arah telunjuk saya dan berkomentar,"Segitu aja?" Lalu dia meraba-raba besi jembatan sambil bergumam bahwa apa yang dilihatnya sekarang tak seperti apa yang ada dalam bayangannya selama ini."Tidak sesederhana ini!" protesnya jengkel. Eh protesnya jangan sama saya, Bang .....

Lain waktu, kakak saya datang bersama beberapa temannya yang semuanya dari luar Jawa dan notabene, seperti teman Betawi saya di atas, kali pertama berkunjung ke Surabaya. Saya yang sudah lebih dari lima tahun tinggal dan bekerja di kota ini bertugas menjadi penunjuk jalan (stttt...padahal saya sering tersesat lho... hehhehehhe). Kami bermobil mengelilingi Surabaya. Ketika saya tunjuk Tugu Pahlawan, mereka semua ber-oohhhh .... Lalu salah satu nyeletuk, "daerah sini ya berarti yang dulu ada pertempuran itu?". Saya iyakan sambil menunjuk sebelah mana jalan Tembaan yang konon berasal dari kata 'tembakan' yang maksud sebenarnya adalah kejadian tembak-menembak. Yang lain bertanya, “Tugunya cuma begitu doang?” Nahhh yang ini saya jawab bahwa memang Tugu Pahlawan ini rendah hati, tidak mau menyaingi Monas yang sudah menjulang. Beberapa saat kemudian saya tunjukkan si Jembatan Merah. Nyaris serentak komentar yang keluar adalah 'gitu doang?!' Ya, memang cuma begitu mau bagaimana lagi? Mereka 'mencep berjamaah'... hehhehehee ....

Nah nah, minggu lalu saya ke Jembatan Merah Plaza, dan teringat kedua peristiwa di atas. Iseng saya sampaikan dengan teman yang menyertai. Dan komentarnya, "Iya, dari dulu gitu-gitu aja." Ehmmm ... lalu saya jadi berpikir mengapa tidak dibuat sebuah rangkaian cerita sejarah di jalan-jalan kota Surabaya? Rangkaian cerita tentang 'kendelnya' arek-arek Suroboyo melawan mantan penjajah yang tidak mau mengakui kedaulatan Indonesia. Rangkaian cerita yang membuat Surabaya dijuluki kota Pahlawan. Saya kepikir jalurnya dari jalan utama yang membelah pusat kota Surabaya, kisaran daerah yang mendekati jalan Basuki Rahmat. Penanda pertamanya bisa jadi gedung tua di depan Tunjungan Plaza (Sogo) yang kini berfungsi sebagai toko arloji Seiko (saya lupa nama gedungnya). Gedung ini toh juga seringkali tampak di foto-foto dokumentasi Surabaya tempo dulu. Lalu terus ke arah Tugu Pahlawan, mengikuti arah jalur lalu lintas. Dari sini bisa bercabang ke jalan Tembaan dan terus ke arah Jembatan Merah, jalan Kembang Jepun, dan mungkin terus ke arah Tanjung Perak ataupun pelabuhan Kalimas. Nantinya ketika berputar dan bertemu pusat kota lagi Hotel Majapahit bisa digunakan sebagai titik klimaksnya, turun hingga Grahadi dan seterusnya.

Jujur saja, saya sangat menyukai gagasan pribadi tersebut... hehehheeh narsis ya? Bukan maksudnya begitu siiihh .... Cuma paling tidak hal tersebut rasanya cukup mungkin untuk dilaksanakan. Apalagi latar belakang cerita heroiknya sudah sangat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, juga bangsa mantan penjajah tentu saja. Mumpung juga masih ada bangunan-bangunan lama yang saya rasa saat itu jadi saksi bisu atas peristiwa dahsyat tersebut. Lihat saja gedung-gedung tua di seputaran daerah Jembatan Merah. Toko-toko di kawasan Kembang Jepun yang saat ini kalau malam menjadi Kya-Kya pun saya yakin masih bangunan lama. Hanya kelamaan itu terselimurkan oleh aneka macam billboard yang menjadi penanda aktifnya perputaran uang di daerah tersebut. Coba saja menelusup ke jalan-jalan cabang jalan utama jika mau lebih jauh menakar betapa masih ada saksi yang berdiri tegak. Bangunan-bangunan tua itu sungguh potensi keindahan yang tinggal menunggu sedikit polesan saja. Dan saya dengar sudah ada upaya Pemerintah Daerah untuk melindungi beberapa bangunan tua. Mungkin tinggal memperluas cakupannya. Dan secara gaya dan fungsi rasanya tidak akan terlalu susah untuk disiasati. Contohnya, ada satu sudut bangunan tua yang dicat 'genjreng' dan hasilnya menurut saya cukup mampu membuat kesan 'lain' dari bangunan tersebut. Rasa-rasanya jika si pemilik bermaksud untuk membuat satu vocal point, dia sudah cukup berhasil.


Lalu bagaimana langkah perwujudannya? Ehmmmm... kalau yang begini tentu saja saya tidak bisa menjawabnya sendiri. Yang saya tahu pasti diperlukan banyak keahlian untuk melakukan proyek besar ini, disamping tentu saja dana (sebab sering-sering semuanya tergantung pada UUD alias ujung-ujungnya duit). Perlu kerja keras dari sejarawan, seniman, arsitek, planolog, saksi sejarah, pemerintah, dan banyak lagi untuk bisa merekonstruksi semua itu. Sebab ini bukanlah sekedar membuat diorama, tugu, patung, atau plakat saja. Bukan sekedar menaruh bambu runcing dimana-mana. Dan sialnya, opini saya, selama ini orang kita sering terjebak dengan hal itu ketika mengkonsep 'penanda sejarah'. Terlalu dangkal. Seringkali hal-hal yang bersifat 'jiwa' luput tak tersentuh. Bagi saya, harus ada 'atmosfir' yang bisa membuat orang kembali 'bergidik' merasakan peristiwa heroik itu. Sejarawan dan saksi sejarah merekonsruksi peristiwa sebagai konsepya. Arsitek, planolog, dan seniman membangun suasana dan rasa, mengolah elemen kota seperti ruang luar, bangunan, jalan, dan sebagainya. Pemerintah membuat kebijakan dan menyokong dananya, kalau perlu bergandengan dengan pihak swasta. Masyarakat mendukung, minimal dengan komitmen menjaga, dan memelihara. Dan seterusnya ...dan seterusnya .... Laluuuuu bayangkan hasilnya ketika orang bisa otomatis tertuntun ingatannya pada peristiwa tewasnya Jendral Aubertin Mallaby ketika melintasi Jembatan Merah. Bayangkan juga ketika pejalan kaki bisa berhenti sejenak di depan hotel Majapahit, tercenung, berpikir tentang masa ketika Hariyono, Koesno, dan arek Suroboyo lainnya memanjat tiang dan merobek bendera Belanda hingga jadi merah putih saja. Coba deh bayangkan ..... Kerennnnnn kannnnn ....? Iya ga, iya ga?

Jadi, bagaimana selanjutnya? Nah, ini pertanyaan besar. Semoga di luar sana ada orang-orang yang berpikiran senada dengan saya. Semoga ada orang-orang yang sependapat sejarah ini layak diabadikan. Semoga ada orang-orang yang bosan menjadikan mal sebagai tempat wisata. Semoga ada orang-orang yang mampu membuat kebijakan daerah untuk terwujudnya hal itu. Dan kalau ini terwujud...ehhhmmm.... berarti yang dibuat bukanlah sekedar secuil area wisata, tapi sekawasan kota. Sekawasan kota akan jadi karya seni instalasi. Nah nah nah ... apa ga keren tuhhhhh...??? Ah saya kok sudah seperti sedang berjalan-jalan di kawasan itu yaaa.... Rek ayo rek, mlaku-mlaku nang Tunjungan ..... imagine ... imagine ..... dan akhirnya SEMOGA....


8 komentar:

avezahra mengatakan...

salam blogger mania!

tjahaju mengatakan...

loh gedung cerutu sekarang dicat warna-warni gitu :D

endipiran mengatakan...

Semoga sukses ya.... lombanya.

Salam kenal dari endi piran, ditunggu kunjungan balinya

Ultrabook Notebook Tipis Harga Murah Terbaik

Hafis Alrafi Irsal mengatakan...

Wah tulisan yang bermanfaat dan informatif…kita jadi megenal wisata daerah lain di Indonesia sukses buat semuanya! Salam kenal :)

Saya juga ikutan, mohon perhatiannya utk kunjung balik :)
http://hafisirsal.blogdetik.com/wisata-sejarah-di-kota-yang-terlupakan-bukittinggi/

Iwan Sumantri mengatakan...

wah...mantap tulisannnya...sukses buat semuanya!
Salam kenal dari One sm
http://iwansmtri.blogspot.com/2011/12/ada-ilmu-matematika-di-obyek-wisata.html

ina3alasta mengatakan...

@ avezahra : salam kenal juga :D
@ tjahaju : eh itu namanya gedung cerutu ya? hehehe aku malah ga tau namanya ....
@ endipiran :waahhh notebooknya bikin mupeng euy ...kok tau seh notebookku lagi rusak .... cuma duitnya blm ada ... hehehehe
@ hafis : tengkiyuuuu n salam kenal juga. Iya ini saya kunjungi ... sediain minum yaaa ... heheheh
@iwan sumantri : sukses buat semuaaaaaa

salam,
ina

krepektempe mengatakan...

Wah, suka beli buku, suka baca, suka nulis, hebat!! Ayo kalau ke Malang ketemuan ya?Salam krepektempe!

ina3alasta mengatakan...

@krepektempe : hayukkkkk .... tapi kapan yaaa..... #kedipkediplihatplafon