Ini tentang isi kepala. Isi kepala manusia biasa, perempuan. Mungkin akan campur aduk tak karuan, karena bukankah isi kepala banyak manusia memang begitu? Atau, adakah manusia teratur yang isi kepalanya rapi tertata dalam folder-folder dan nama file beraturan?
Mengenai Saya
Senin, 31 Oktober 2016
Jumat, 30 September 2016
Benda Cair
Sungguh saya membenci satu benda cair yang berjuluk politik. Ya, politik
benda cair tho? Para pelakunya sendiri yang bilang begitu kok. Coba saja lihat
di televisi bagaimana mereka semua dengan enteng dan sumringah bilang “ya
politik itu kan sangat cair, jadi dinamika apapun mungkin terjadi”. Jadi
politik termasuk benda cair.
Ya, saya membencinya. Terlebih lagi ketika masa pemilihan umum tiba. Hingar
bingar dan panas menyebar ke seluruh penjuru. Katanya itu adalah masa pesta
demokrasinya rakyat. Pesta...? Kalau memang pesta seharusnya sih senang-senang,
makan minum enak, hati terang dan riang gembira. Tapi kok di pesta demokrasi
yang begitu tak terasa ya? Makan minum enak ada sih di beberapa tempat,
terutama tempat-tempat yang disulap mendadak ada oleh para kandidat berikut tim
suksesnya. Tapi itu bukan makan minum yang gratis lho. Itu penyediaan makan
minum yang tendensius alias bermaksud. Ada senang-senang di masa pesta
demokrasi? Ehmmm palingan juga jogetan di lapangan, itupun dengan panduan yang
lagi-lagi oleh para kandidat dan tim sukses. Sering ada bagi-bagi duitnya, cuma
yang ini selalu dianggap tak ada. Dan jogetan itupun nggak gratis lho,
tendensius teteppp.... Hati terang dan riang gembira? Haduhhh yang ini juga
susah didapat. Coba tengok sosial media. Tak cuma penuh propaganda tapi juga
sumpah serapah, pertentangan, silat lidah, dan semacamnya. Jadi apanya yang
disebut pesta ya?
Pada saat yang sama bermunculan orang-orang baik. Orang-orang yang begitu
cinta pada bangsa dan rakyatnya. Orang-orang yang duduk sebangku ;malah
ngelesot; dan merangkul-rangkul para
jelata, mendengarkan dengan intens curhatan mereka, berjanji memperjuangkan
kesejahteraan mereka. Orang-orang baik yang bersimpati dan bercucur air mata
karena melihat ketidakadilan. Orang-orang baik yang patriotis dan nasionalis,
yang sangat peduli dengan masa depan bangsa dan negara. Amboi .... Saya jadi
selalu heran, kemana saja mereka selama ini? Kok ya baru sekarang munculnya?
Dan hebatnya, para orang-orang baik ini punya rombongan pendukung fanatik
yang tak hanya mengaminkan tapi juga mendukung, menggemakan, menyebarluaskan
segala sabdanya. Ruwetnya, antara orang-orang baik ini kerap tak saling akur
karena pesta demokrasi dimaknai melulu kompetisi. Alhasil ketidakakuran membuat
antar rombongan ikut berlaku sama. Bentrok antar rombongan. Masing-masing
membela tuannya dengan mati-matian. Bagi rombongan, sang tuan adalah orang suci
yang tak setitikpun punya cela. Ehmmm... mungkin malah sang tuan dianggap
malaikat. Padahal setelah masa bulan madu usai sang tuan akan kembali ke bentuk
semula. Dan sayangnya bentuk semula itu bukan bentuk malaikat.... Terutama jika
sudah berhadapan dengan yang namanya duit. Boro-boro jadi malaikat, jadi
manusia baik aja nggak .... yang ada malah jadi setan.
Itulah politik yang benda cair itu. Selayak air bentuknya berubah-ubah
menurut tempatnya seperti aportunis. Selayak air dia bisa membeku menjadi es
seperti tak berhati. Dia bisa juga menguap tak terlihat seperti janji yang terlupakan. Dia juga bisa
membuat karat pada besi seperti konspirasi.... Air dengan segala macam sifatnya itu tetap
membuat manusia tak bisa hidup tanpanya karena sekian banyak gunanya. Sementara
politik dan politisi yang meniru sifat air itu memaksa untuk membuat manusia
hidup dengannya dan ironisnya menderita karena mereka tak jelas gunanya....
Sungguh saya kehilangan kepercayaan terhadap benda cair yang satu ini ....
Rabu, 31 Agustus 2016
Penghuni Surga
Saya baru menyadari satu hal beberapa waktu yang lalu bahwa saya sebenarnya
adalah penghuni surga. Iya, penghuni surga! Besar kemungkinan juga bahwa
sebenarnya saya adalah bidadari.... ahahhahaha....
Soal bidadari rasanya emang ada banyak keraguan. Tapi saya sungguh serius
soal surga. Ya, tanah yang saya pijak saat ini sesungguhnya adalah surga. Ingat
lagu Koes Plus yang liriknya berbunyi antara lain ‘orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman’? Sebelumnya saya menganggap
lagu itu ya sekedar lagu saja, sekedar ekspresi dari seniman yang mencintai
tanah airnya. Tapi sejak beberapa hari yang lalu saya berubah pikiran, lagu itu
benar adanya. Satu buku yang sudah terbeli bertahun-tahun yang lalu tapi tak
kunjung usai membacanya (bahkan sampai hari ini buku itu belum selesai
terbaca), memberikan satu kesadaran pada saya. Buku itu sebenarnya bercerita
soal meletusnya gunung Krakatau pada hari Senin 27 Agustus 1883 yang sungguh
menghebohkan, sekaligus memberi pengaruh terhadap cuaca hingga ke benua biru
sana. Di bagian depan buku itu diceritakan tentang pulau-pulau yang kaya akan
komoditas alam yang di Eropa bernilai sangat tinggi. Komoditas yang membuat
bangsa Eropa mantap menyabung nyawa mengarungi samudera berbekal peta navigasi
yang minim. Awalnya bangsa Portugis dan Spanyol yang dianggap sebagai paling
mumpuni dalam hal mengarungi samudera. Portugis khususnya pada masa itu
dianggap punya data navigasi paling lengkap soal perjalanan ke Timur. Bahkan Cornelis
De Houtman sempat ‘berguru’ dua tahun di Lisbon sebelum akhirnya memulai
ekspedisinya dengan bendera Belanda. Dan menarik sekali karena apa yang
dilakukan oleh De Houtman di Lisbon sebenarnya adalah aksi intelijen untuk
mendapatkan data-data navigasi Portugis. Setelah itu secara gradual peta
kekuatan soal mengarungi samudera seakan bergeser karena munculnya
pemain-pemain baru seperti Belanda dan Inggris. Nah, komoditas apa yang begitu
diburu itu? Yes, rempah-rempah. Komoditas yang melimpah ruah di kepulauan
Nusantara; saking melimpahnya sampai harganya murah; dan sangat berharga serta didewakan
oleh bangsa benua biru. Dan ketika bangsa asing itu harus bertarung dengan
kematian demi mendapatkan si rempah-rempah, sebaliknya penghuni surga yang
notabene ‘pemilik’ komoditas dewa hidup nyaman bermandi hangat sinar matahari
sepanjang tahun. Secara pribadi saya beranggapan bangsa Eropa akhirnya menjajah
karena tak tahan iri akan segala kenikmatan itu.
Ya, begitulah surga ini memberikan begitu banyak kepada penghuninya. Mungkin
lebih tepatnya alam memanjakan penghuninya. Tak hanya dulu, tapi juga sekarang
seharusnya. Lihat saja, ketika bangsa lain harus menderita kedinginan selama
paling tidak tiga bulan dalam setahun, maka para bidadari dan penghuni surga
ini tak perlu mengalaminya, malah dianugerahi musim-musim lain seperti musim
mangga, duren, rambutan, bahkan musim kawin pun ada.... hihihihihiihi.... Dan ketika bangsa lain tak
punya cukup sumber energi sehingga harus ‘merampas’ dari yang lain, maka di
surga justru banyak pilihannya. Mau minyak bumi, batubara, gas alam, panas
bumi, dan entah apalagi. Ketika bangsa lain diberikan sumber minyak bumi tapi
disunat sumber airnya dan dibuat gersang tanahnya, eh di surga disediakan
semuanya tanpa ada penyunatan. Ketika bangsa lain harus mengkerut dan pucat
kulitnya karena tak habis dikelilingi es batu, eh penghuni surga bisa dengan
alami tampil kinyis-kinyis dengan warna kulit yang eksotis. Ketika bangsa lain
kekurangan sumber daya manusia, eh di surga tak ada sepinya seliweran
penghuninya. Nah, kurang apa coba? Mau emas tinggal kerok. Mau ikan tinggal
pancing. Mau kayu tinggal renggut. Mau air tinggal ciduk. Pokoknya semuanya
adaaaaa....
Sungguh pemikiran iki membuat saya melihat sekeliling. Inilah surga itu
saat ini. Rempah-rempah tentu masih ada, bahkan di pawon ibu saya pun tersedia.
Tapi surga ini terasa tak lagi sesuai gambaran seharusanya. Air masih tinggal
ciduk, tapi seringkali jumlahnya terlalu berlimpah hingga jadi dinamai banjir. Tanah
masih tentu masih bertuah untuk ditanami, tapi ada saatnya dia melongsorkan
dirinya. Sumber energi masih ada, tapi pengelolaannya penuh skandal. Emas juga
masih tinggal keruk, hanya pertanyaannya siapa yang mengeruk? Kayu masih ada,
tapi ya gitu deh saking rakusnya yang mau sampai pohon terlambat tumbuh. Sumber
daya manusia masih tak pernah kurang, tapi ya gitu, umek dengan kepentingan
sendiri..... Ah, terlalu banyak untuk dirinci....
Dengan segala kenyataan itu apa masih bener saya ini penghuni surga,
sementara surganya sendiri sudah susah untuk diidentifikasi kesurgaannya....
Minggu, 31 Juli 2016
Kursi Goyang Inspirasi Humor
Rabu lalu orang nomor satu di negeri ini mengumumkan
pergantian orang-orang dalam kabinet kerjanya, alias pergantian menteri-menteri
pembantunya. Pengumumannya pas menjelang tengah hari. Ada nama-nama yang baru,
ada yang dilukir, dan tentu juga ada yang harus keluar. Satu hal yang sangat
pasti, nama saya tak termasuk yang baru, dilukir, ataupun dikeluarkan...
hehhehe... Lha terus kenapa ini jadi menariik bagi saya? Yes, ini menarik
karena banyak hal. Berikut di bawah ini paparannya... halahh ...
Hari itu semua stasiun televisi langsung ramai
memberitakannya. Breaking news berjam-jam. Para ahli, pengamat, analis ;atau
apalah istilahnya; bidang ini itu dipanggil untuk disuruh ‘bersaksi’.
Omongannya macam-macam. Satu orang bilang tim ekonomi dalam kabinet baru market
friendly yang dibuktikan dengan IHSG naik dan kurs rupiah yang menguat.
Menyaksikannya dalam hati saya bertanya apa kabar pasar tradisional. Bagaimana cabe,
tomat, kangkung, dan ikan pindang merespon tim yang dilabeli market friendly
ini? Bakal membuat harga cabe dkk jadi menguatkah? Waduhhh, mumet deh para
pebelanja... Atau malah jadi menurunkan harga? Walahhh, ganti pedagangnya yang
cemot-cemot.... Nah lho, market friendly kok efeknya simalakama gitu ya? Ah,
mungkin pasar tradisional tak termasuk dalam market yang di-friendly kali ya?
Embuhlah.
Orang yang lain bilang bahwa ini keputusan brilian
seorang presiden dalam kaitannya dengan konstelasi politik yang berkembang saat
ini. Intinya dalam hal dukung-mendukung parpol di parlemen. Memang ada
parpol-parpol yang awalnya sok sok solid di kubu oposisi akhirnya tak tahan
untuk menyeberang juga. Lha demi apa coba? Yang pastilah bukan demi kamu ....
hahahahha....
Masih banyak ragam pendapat dari banyak ragam orang di
televisi. Membosankan. Saya malah jadi mikir hal yang lain. Betapa beda jaman
dulu dengan sekarang untuk soal yang begini. Jaman orde baru dulu bongkar
pasang menteri macam begini rasanya tak pernah saya lihat. Para menteri
rata-rata duduk tenang di kursinya sampai masa jabatan yang disepakati. Sekarang
sebaliknya. Saya rasa kursi jabatan menteri tak lagi kursi yang kokoh paten.
Mungkin lebih cocok disebut mirip dengan kursi goyang. Coba saja duduk di kursi
goyang. Pas mau duduk ya mesti hati-hati, ga bisa langsung bluk lempar pantat
ala ala duduk di sofa. Mesti dipegangi si kursi goyang itu baru bisa meletakkan
pantat dengan aman. Pas sudah duduk ya mesti hati-hati menggoyangnya ya.
Terlalu keras menggoyang juga ga bener, alias bisa bikin si duduk jadi jatuh.
Tak digoyang pun salah, lha wong namanya kursi goyang kok ga goyang? Nahhh
kalau sudah pinter bergoyang pun bisa salah karena bisa jadi terlena terus
ngantuk dan ketiduran. Jadi intinya adalah bergoyanglah dengan proporsional di
atasnya. Lalu saya jadi mikir dengan mereka yang baru masuk ke kabinet itu.
Apakah bakal menggelar syukuran atau sejenisnya karena baru dapat jabatan
prestisius? Kalau iya, mungkin sebaiknya syukuran sambil mikir itu jabatan bisa
kapan saja dicabut. Kalau sudah kadung syukuran dengan wah, lalu tahun depannya
dicabut apalagi jika alasannya karena dianggap tak bagus kinerjanya apa ga jadi
malu ampun-ampun? Terus saya juga jadi kepikiran mereka yang kehilangan kursi
goyangnya. Dulu pas diangkat sudah kadung syukuran ga ya? Kalau iya, kayak apa
syukurannya? Ga berlebihan sehingga sekarang jadi menyesal kan? Semoga..... Ah,
kenapa saya jadi repot soal syukuran yang tak cuma bukan urusan saya tapi juga
tak berkaitan dengan saya.... ?
Tapi hal yang paling menarik dari peristiwa ini justru
reaksi kalangan rakyat. Lihat bagaimana rakyat ini bereaksi di dunia maya
terhadap keputusan presidennya. Banyak yang menanggapi dengan serius. Mereka
rata-rata bernada protes. Ratusan juta penduduk negeri ini memang tak absen menilai si menteri ini dan itu kendati
tak pernah sekalipun diminta bicara di layar televisi. Rakya punya pendapat si
ini berkinerja oke kok malah dicopot, sementara si itu yang bisanya
begitu-begitu saja bisa tenang bergoyang di atas kursinya. Di dunia maya banyak
yang tak takut dengan terang-terangan
menunjuk nama sang menteri yang dinilai cuma begitu-begitu saja. Ada yang
kalimatnya langsung pedas, ada yang masih dengan ejekan lunak. Saya yang
menjadi pembaca jadi penasaran bagaimana reaksi si menteri begitu-begitu saja
itu? Bersyukur sepenuh hati karena masih bisa menduduki kursi goyangnya? Atau
tak enak hati, gamang, dan tak percaya diri? Entahlah, yang pasti ketika
pelantikan si muka baru dan si lukir, beliau tampak asyik berbaur dan mengobrol
dengan para petahan lainnya. Tapi siapa tahu ya dalam hatinya ga keruan....
Tak hanya protesan yang muncul. Meme dan guyonan langsung
membanjiri dunia maya. Dan ini yang sungguh menggembirakan hari itu, membuat saya ngakak berkali-kali. Ada
meme yang bergambar seorang laki-laki masuk dalam almari sambil berujar
“Alhamdulillah akhirnya masuk kabinet”. Ya masuk almari kabinet maksudnya. Meme
lain bergambar seorang ketua parpor bersidekap bersama seorang menteri
jagoannya dan berujar “berani ganti dia? Gua kepret ...!”. Jenaka, tapi jelas
sekali maksudnya. Di meme yang lain digambarkan keduanya tengah bercakap. Si
menteri bertanya apakah dia akan dicopot, si ketua parpol menjawab ga bakalan
karena yang kena hanya menteri laki-laki. Ketika si menteri bertanya kenapa, si
ketua parpol menjawab karena perempuan kan selalu benar. Lalu keduanya tampak
cekikikan. Meme ini termasuk favorit saya karena ekspresi wajah di foto-foto
yang digunakan sesuai dengan ujarannnya dan isinya sekaligus mengkritisi para
perempuan, istri, dan ibu yang sering
mau menang sendiri dalam kehidupan nyata. Meme lain lagi menggambarkan seorang
menteri tengah duduk lemas, menutupkan satu tangan ke sebagian wajahnya sambil
berkata “salahku opo, Wi?” Mungkin pembuat meme ini bermaksud mendukung si
menteri yang termasuk beraport biru tapi terpental juga dari kursi goyangnya.
Dan yang membuat saya ngakak adalah ekspresi wajah si menteri sayu itu sungguh
sesuai dengan ucapannya. Ada lagi meme favorit saya. Screen capture sebuah
ponsel menunjukkan ada 5 kali panggilan terlewatkan, dan si penelepon adalah
‘Presiden Jokowi’. Saking gemas karena telepon tak juga diangkat akhirnya sang
presiden mengirim SMS berisi ‘MAU JADI MENTRI ENGGAK SIH?!’. Hahahhaha.... siapa
dia orangnya yang abai terhadap telepon ketika yang lain sangat siaga akan
panggilan dari istana? Sungguh saya kepingin tahu wajahnya jika memang ada.
Tak kalah dengan meme, aneka guyonan juga ramai beredar
di grup percakapan. Setelah seorang teman memberikan daftar berisi sekian belas
nama baru dan lukir dalam kabinet, eh tahu-tahu teman yang lain mengirim daftar
yang awalnya saya pikir sama tapi ternyata tidak karena ada dua nama tambahan
di bagian terbawah. Disebutkan : 15. Ngadiono Gecol menjabat mentri urusan
janda, kalo ga kuat dibantu Mario Soerjanto, 16. H. Pristono menjabat
Menkopolhuhah, kalo menyerah disuruh nyemplung kali. Terus dibawah lagi ada
pernyataan ralat ‘eh yang nomer 15 dan 16 enggak ding’. Saya ngakak. Lha apa
coba Menkopolhuhah itu? Teman saya yang sepertinya juga terhibur dengan guyonan
itu menimpali dengan menulis, ‘Menkopolhuhah itu mentri urusan percabean biar
ga fluktuatif harganya, termasuk ngurusi cabe-cabeannya’. Guyonan lain
menceritakan seorang suami yang mengaku ditelepon presiden. Sang istri yang
girang bertanya disuruh jadi menteri apa. Suami menjawab ‘jadi Menko Disik’,
yang maksudnya Mengko disik, kalimat bahasa Jawa yang artinya nanti dulu. Guyonan
lainnya menganalisa bahwa Menteri Pendidikan dicopot dari jabatannya karena
membuat edaran agar orangtua mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah, tapi
lupa membuat edaran lanjutan kepada orangtua untuk menjemput kembali si anak
sepulang sekolah. Bisaaa aja..... Satu guyonan berawal sok sok serius dengan
memberikan analisa alasan kenapa si ini terpental dan si itu bertahan. Awalnya
seperti masuk akal karena senada dengan berita-berita di koran sebelumnya. Tapi
di akhir datang juga saatnya: ‘kenapa Ibu Menteri A (sebut saja begitu) tak disentuh oleh
Presiden Jokowi dalam perombakan kabinet jilid dua ini? Karena bukan
muhrimnya!’ Ahahahhaha.... ngakaklah saya.
Masih banyak meme dan guyonan lain yang dengan mudah
ditemukan di dunia maya. Lucu iya, menohok juga. Saya rasa bangsa ini humoris.
Hal serius jadi guyonan. Lihat saja ketika aksi teroris menyerang satu mal di
Jakarta beberapa bulan lalu. Awalnya suasana mencekam sekali. Bahkan saya yang
tinggal ratusan kilometer dari lokasi kejadian pun ikut tegang walau hanya
memantau dari siaran televisi. Tapi tak lama kemudian muncul mereka-mereka yang
dengan logis menggalang massa untuk tak tunduk takut pada teror. Lagi-lagi
dunia maya medianya. Ajakan untuk berani melawan teror langsung disambut baik
banyak orang. Suasana positif juga langsung terasa, terlebih ketika aparat
terbukti cukup cekatan menangani keadaan sehingga pulih dengan segera. Ketakutan
hilang tapi muncul efek lain: meme dan guyonan lucu-lucuan. Tagar
KamiTidakTakut mulai ditemani dengan tagar KamiNaksir karena aparat tampil
beraksi berjibaku dengan seragam keren dan beberapa tampak berwajah ganteng.
Begitu insiden benar-benar selesai, meme dan guyonan tentang peristiwa itu
makin marak dan makin lucu. Seorang teman yang tinggal di luar negeri dan
mendengar peristiwa itu kontan menghubungi saya, bertanya bagaimana suasana di
dalam negeri. Bagaimana mungkin jawabannya bukan semua baik-baik saja? Lha wong
semua sudah cair berguyon....
Ya, bangsa ini cukup humoris. Saya berharap presiden
menyadari hal ini sehingga tak lantas berkecil hati dan dongkol lantaran bongkar pasang menteri yang proses
pengambilan keputusannya pasti memakan pikiran dan energi yang luar biasa,
begitu diumumkan ke publik malah menjadi inspirasi membuat meme dan guyonan.
Tolong dimengerti ya Pak, ketika sebagian kecil orang di negeri ini butuh kursi
goyang, pada saat yang sama ada begitu banyak orang yang lebih butuh hiburan. Syukur-syukur
Bapak mau ngakak bersama kami, hitung-hitung melepaskan ketegangan setelah
sibuk mengatur sekian banyak kursi goyang.
Foto Rocking chair dipinjam dari https://pixabay.com/en/rocking-chair-stuffed-animal-1298925/
Kamis, 30 Juni 2016
Kabar Burung
Tempo hari saya mengobrol ngalor-ngidul tak karuan dengan
seorang teman lama. Awalnya sekedar topik nostalgia, lalu akhirnya merembet ke
apa-apa yang sedang up to date. Dia mengulik soal kasus Ibu Guru yang
dipenjarakan setelah mencubit muridnya. Lha wong cuma dicubit saja kok
reaksinya gitu ya, demikian dia berujar. Lalu kembali kami bernostalgia, kali
ini soal hukuman yang pernah kami terima semasa sekolah dulu. Saya pernah
diceples dengan penggaris kayu yang lumayan besar dan panjang waktu kelas dua
SD dulu. Seingat saya waktu itu tengah bercanda tentang sesuatu dengan teman
sebangku dan Bu Guru yang tak tengah menerangkan menganggap kami nakal karena
tak memperhatikan penjelasannya. Alhasil beliau mengayunkan penggaris kayu
tersebut dan mendarat di lengan atas saya. Sakit sih sebenarnya tak terlalu
sakit, tapi perasaan malu lebih mendominasi. Pada masa itu saya bukan termasuk
siswa yang bandel. Nilai saya pun cukup bagus dan ada di jajaran peringkat atas
kelas. Sementara diceples Bu Guru bukan hal yang biasa bagi saya. Rasanya itu
pertama kali dan sakitnya tak seluar biasa malunya. Pun saya sadar bahwa itu
kesalahan saya. Sampai detik ini saya tak pernah menceritakan peristiwa itu
pada orangtua saya. Kini saya mengenangnya sambil tersenyum-senyum, bertanya dalam
hati apa kabarmu Bu Guru.
Lalu ada lagi kasus cubit-mencubit itu, kata teman saya
kali ini Pak Guru mencubit siswanya yang tak patuh. Konon si anak mengadu pada
bapaknya yang notabene aparat dan mulailah kasus bergulir. Si bapak yang tak
terima dengan perlakuan sang guru pada anaknya mengadukannya ke Polisi. Alhasil
Pak Guru pencubit harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di ruang
pengadilan. Selanjutnya yang saya tahu ada gerakan perlawanan dan solidaritas
dari sesama guru terhadap si Pak Guru. Saya cuma memantau sekilas kasus
dan gerakan itu di sosial media. Dan
karena sedang malas baca koran maka saya juga tak berusaha mencari detail
beritanya.
Ada apa dengan siswa itu? Begitu tanya teman saya.
Alih-alih menjawabnya, saya malah ikut bertanya : ada apa dengan para orangtua
murid itu? Lalu kami sama-sama mengendikkan bahu dan kembali bernostalgia soal
hukuman-hukuman yang saat kami sekolah dulu terasa wajar saja diterima sebagai
balasan atas kesalahan. Berdiri di depan kelas selama jam pelajaran atau malah
dikeluarkan sekalian, lari mengelilingi lapangan, push up sekian kali, jeweran
di telinga, dilempar kapur tulis, dan sejenisnya. Pada jaman itu ada juga guru
yang terkenal dengan hukuman tempeleng, dan memang terjadi, tapi kami siswa
cenderung berusaha untuk sedapat mungkin menghindari berbuat salah terhadap
beliau.
Jadi ada apa dengan siswa saat ini? Dan ada apa dengan
orangtua jaman sekarang? Kali ini kami nyaris serempak mengendikkan bahu tanda
tak tahu. Lalu teman ngobrol saya ini merunduk, merendahkan suara, dan bertanya
apakah saya tahu kabar soal kabar adanya transaksi terkait bangku siswa saat
tahun ajaran baru. Bukannya itu bukan kabar baru, balas saya. Menurutnya memang
sepertinya bukan hal baru, cuma cara prakteknya sepertinya menyesuaikan kondisi
dan perkembangan jaman. Bersama kami tertawa tapi dengan getir. Berdasarkan
kabar burung yang dia dengar, seorang teman kami membayar sepuluh juta rupiah
demi menyediakan bangku di SMU bagi anaknya yang secara nilai tak tertolong.
Benar itu, tanya saya. Dia mengendikkan bahu, begitu berdasarkan kabar burung
yang dia dengar. Soal benar dan tidaknya ya siapa juga yang tahu wong praktek
seperti itu pasti hanya pihak yang terlibat yang persis tahu. Kalaupun diungkap
pasti juga penyangkalannya bakal luar biasa. Dan kabarnya jenis bangku yang
seperti itu jumlahnya banyak juga karena tes masuk yang lebih dari satu cara
itu leluasa diatur oleh pihak sekolah dan dinas terkait.
Lagi-lagi kami bernostalgia, kali ini tentang cara masuk sekolah
dulu. Masa itu ada NEM alias Nilai Ebtanas Murni yang merupakan hasil ujian
akhir yang diselenggarakan secara nasional. Ujian ini diikuti oleh semua siswa
yang duduk pada jenjang terakhir setiap tahapan sekolah. Dan sekolah di tahap
selanjutnya menggunakan nilai ini untuk menyaring masuk murid barunya.
Sederhana saja sistemnya. Calon siswa tinggal daftar ke sekolah baru dengan
memperkirakan kecukupan nilai, lalu pihak sekolah meranking nilai yang masuk.
Yang diterima tentu saja dari ranking pertama hingga sejumlah siswa yang
diperlukan. Karena sederhana caranya maka pada masa itu kami tak pernah
melibatkan orangtua untuk urusan daftar mendaftar. Waktu lulus SD dulu
pendaftaran ke SMP dikoordinir oleh guru SD, jadi saya tinggal menyetor data
kepada Bu Guru sesuai SMP yang saya tuju. Setelah melakukan proses pendaftaran
beliau membagikan nomor dan bukti pendaftarannya. Selanjutnya saya tinggal
melihat pengumuman di SMP dan melakukan proses daftar ulang sendiri. Sedang pas
lulus SMP saya melakukan proses pendaftaran ke SMA secara mandiri, bareng
dengan teman-teman yang pilihan SMA-nya sama. Proses seleksi sama saja,
menggunakan NEM dan diranking. Jadi daftar sekolah yang diantar-antar orangtua
hanya saya alami waktu masuk TK dan SD saja. Beda jauh kan dengan saat ini yang
begitu banyak melibatkan orangtua murid?
Tapi saat itu soal bangku yang bisa dibeli kayaknya sudah
ada, kata teman saya mengingatkan. Dia sepertinya benar karena jaman itu saya
juga menjumpai teman-teman yang setahu saya NEM-nya tak mencukupi tapi akhirnya
bisa masuk juga. Waktu itu di antara kami berbisik-bisik mereka yang seperti
ini masuk lewat pintu belakang. Ada juga yang caranya dengan terlebih dahulu
masuk ke sekolah rayon di bawahnya
barang beberapa bulan atau paling lama satu semester, kemudian pindah ke
sekolah rayon utama. Jadi statusnya murid pindahan. Kabar burungnya praktek
seperti ini juga melibatkan rupiah. Tapi untuk membuktikan kebenarannya ya
embuhlah ....
Karena menyinggung soal NEM teman saya jadi teringat
kabar burung soal nyontek bersama masa maraknya UN tempo hari. Saya juga
mendengar kabar itu, juga sempat membaca soal murid yang dikucilkan di
lingkungannya gegara sang murid pintar ini menolak memberikan contekan pada
rekan-rekan seruangannya pada saat UN. Dan seingat saya tak hanya rekan sesama
siswa yang protes akan ‘kepelitan’ itu, pihak keluarga teman-temannya itu juga
turut tak terima. Makanya si murid pintar dan keluarganya dikucilkan di daerah mereka
tinggal. Nah lho, jadi ruwet kan masalahnya? Nilai moralnya juga jadi
terbalik-balik.
Lagi teman saya mengusik dengan kabar burung bahwa pihak
sekolah merestui soal nyontek bersama itu. Kabar burungnya malah mereka
terlibat aktif dengan menyediakan kunci jawaban demi tetap mendapatkan murid di
tahun ajaran berikutnya. Sebab kalau satu saja ada yang tak lulus UN maka
reputasi sekolah bakal tercoreng dan susah mendapatkan murid baru. Tapi itu
kabar burung lhooo, buru-buru teman saya menambahkan. Artinya tentu saja tak
ada bukti yang mengesahkannya menjadi sebuah kebenaran.
Setelah diam sejenak teman saya kembali membuka mulut.
Katanya kok sepertinya sekarang masalahnya tambah banyak ya. Dan semua pihak
rasanya bermasalah, timpal saya. Ada murid dan orangtuanya yang tak sepakat
dengan cara pendidikan di sekolah yang tampak mengorbankan guru dan menimbulkan
reaksi solidaritas rekan sejawatnya. Tapi di sisi lain ada juga kabar burung
tentang praktek yang tak seharusnya dilakukan oleh pihak sekolah. Ya memang
masih kabar burung sih, belum jelas burung mana yang menyebarkan kabar. Tapi
apakah burung juga keisengan dan begitu kurang kerjaan sehingga menyebarkan
kabar khayalan? Lha kalau kurang kerjaan mbok ya burung itu terbang plesir
kemana gitu ..... hehehehehe.
Ada untungnya juga ternyata belum punya anak jaman
sekarang, begitu komentar akhir dari teman saya sebelum dia pamit pulang. Ya,
belum punya anak membuat saya dan dia sama-sama tak repot soal pendidikan. Tapi
tak urung semua kabar burung tadi membuat saya bertanya dalam hati ada apa
dengan dunia pendidikan di negara ini. Entahlah.....
Eh, tapi ketika semua pihak terindikasi tak sempurna,
bukankah berarti waktunya masing-masing untuk berkaca?
Selasa, 31 Mei 2016
Cuma Anak Biasa
Seorang teman bercerita soal mamanya yang dalam sehari itu jatuh dua kali. Kami, teman-temannya dalam grup percakapan, kontan bereaksi. Yang tinggal sekota dengannya menawarkan memanggilkan tukang pijat langganan. Sementara yang lain memberikan aneka macam saran, termasuk mengukur tekanan darahnya dan membawa ke dokter sesegera mungkin. Dan ketika dia menuruti dengan memanggil dokter dan hasilnya adalah sang mama terkena gejala stroke akibat hipertensi, maka aneka saran pun bermunculan kembali. Ada yang menyarankan menggunakan garam khusus untuk penderita hipertensi. Yang lain menyarankan agar dia ketat memonitor sang Mama soal asupan obat dan makanan. Yang lain menawarkan alternatif obat herbal sebagai pendamping yang telah diresepkan dokter. Lainnya menyarankan alternatif akupuntur. Lainnya lagi menyarankan dia siap dengan peralatan standar untuk mengecek tensi, kadar gula, kolesterol, dan asam urat, lengkap dengan informasi merk alat dan harganya. Dan saat dia bilang tak menemukan garam khusus yang disebutkan, seorang teman dengan sigap menyanggupi membelaikan dan mengirimkannya lewat jasa kurir.
Saat yang lain teman
yang lain lagi mengunggah foto dalam grup. Katanya dengan nada bercanda itu
foto terapis akupuntur mama mertuanya. Sang terapis disebutnya cantik mirip
artis Korea. Agenda acaranya beberapa hari itu padat dengan mengurusi sang mama
mertua; mulai dari menungguinya bergantian dengan suaminya, membawa kontrol ke
dokter dan konsultasi ke psikiater, dan terapi akupuntur tadi. selang beberapa
lama dia mengunggah foto kedua, tampak sang mama mertua tengah tidur di jok
samping pengemudi. Katanya dia sedang menunggu kedatangan suaminya yang akan
membawa beliau pulang, sementara dia harus terus ke satu tempat untuk urusan
memenuhi stock tokonya.
Lain waktu seorang
teman bercerita bahwa dia harus bersitegang dengan atasannya soal pengambilan
cuti. Dia sudah jauh-jauh hari berencana membawa ibunya pergi umroh. Membawa disini
tentu saja termasuk membiayai. Dan tak tanggung-tanggung, dia bersedia membayar
mahal demi mendapatkan fasilitas kelas satu untuk ibunya. Ketika saya tanya
kenapa tidak ambil paket yang sedang-sedang saja harganya, jawabnya demi
kenyamanan sang ibu yang baru pertama kali ini keluar negeri dan jarang naik
pesawat. Tak hanya itu, dia juga mempersiapkan aneka kebutuhan pendamping lain,
seperti mukena, koper, sampai kaos kaki. Halangannya cuma satu : cuti yang
mundur-mundur akibat ketatnya target yang ditentukan pihak kantor. Sudah dua
kali mundur, keluh teman saya, dia berharap yang perubahan jadwal ketiga ini benar-benar
bisa dilakukan agar sang ibu tak jadi kecewa. Akhirnya berhasil juga di
berangkat. Saya ikut bernafas lega. Kemudian ketika pulang teman saya bercerita
bahwa dia terpaksa membawa PR pekerjaan dan mengerjakannya di sela-sela
kegiatan umroh tersebut. Mestinya Allah mengerti dan memaafkan, katanya sambil
nyengir. Sementara sang ibu begitu antusias bercerita pengalaman selama di sana
kepada saya. Ketika tinggal berdua saja dengan saya, dia berbisik akan segera
mulai menabung lagi agar bisa membawa beliau pergi haji. Lagi-lagi dia akan
membayar yang kelas satu, demi kenyamanan ibunya.
Saat yang lain lagi
seorang teman bercerita bahwa hampir tertidur di kantor pajak karena antri
panjang demi mewakili sang bapak menyampaikan laporan pajak untuk pensiunan. Teman
yang lain menimpali bahwa hari sebelumnya dia juga mengalami hal yang persis sama. Lalu berbagilah mereka
pengalaman soal pengurusan laporan pajak untuk pensiunan yang isiannya bisa
dilakukan dengan mengakses website tertentu tapi ternyata pelaporannya belum
bisa disampaikan lewat email. Alhasil mengantrilah mereka.
Cerita-cerita yang
saya sampaikan di atas tentu hanya sedikit cerita kecil yang saya ketahui. Tentu
masih ada banyak cerita-cerita kecil yang lain yang dilakukan mereka-mereka
yang tidak saya kenal. Sebenarnya intinya hanyalah saya ingin mencontohkan bahwa
disamping kenyataan banyaknya anak yang kurang ajar atau malah durhaka pada
orangtuanya, masih ada anak-anak yang berusaha untuk tulus melakukan hal-hal
kecil untuk orangtuanya. Mereka yang saya sebut di atas bukan anak-anak yang
sempurna. Ada saatnya mereka bercerita tentang perdebatan dan selisih paham ini
itu dengan orangtuanya. Kadang harus bersitegang juga. Tapi semuanya segera
reda dan mereka kembali berusaha menjalankan perannya sebagai anak dari orang
tua yang telah menjelang sepuh. Ya, mereka cuma anak biasa, mungkin belum cukup
layak dilabeli anak yang berbakti.... Dan saya beruntung mengenal mereka, juga berkaca.
http://www.shutterstock.com/pic-381379189/stock-vector-mothers-day-daughter-or-granddaughter-with-mother-grandmother-march-postcard.html
http://www.shutterstock.com/pic-381379189/stock-vector-mothers-day-daughter-or-granddaughter-with-mother-grandmother-march-postcard.html
Sabtu, 30 April 2016
PROFESI
Dua orang perempuan lewat di depan rumah saya di siang yang terik sambil
meneriakkan jasa yang mereka tawarkan: memperbaiki kasur kapuk. Saya terpaksa
menggeleng dan sekedar membalas senyum ketika mereka menawarkan jasanya. Masalahnya
tak ada kasur kapuk di rumah saya saat ini. Adanya kasur busa dan yang
berpegas. Diam-diam saya berdoa ada banyak orang lain yang masih berkasur kapuk
yang membutuhkan jasa mereka, sambil berpikir jika saja mereka juga pintar
memperbaiki kasur busa dan pegas tentu akan lebih mudah mendapatkan orderan.
Ah, saya jadi teringat satu artikel yang dimuat di surat kabar beberapa
minggu lalu tentang profesi yang akan segera hilang karena ditelan kemajuan jaman
termasuk kepesatan teknologi. Jujur saya lupa apa saja profesi yang disebutkan.
Artikel yang masuk akal menurut saya. Toh, memang selalu ada yang surut dan
akhirnya menghilang seiring dengan berjalannya waktu, segala hal mengalami itu,
tak hanya soal profesi saja. Bahkan umur manusia pun termasuk di dalamnya. Karena
itu saya berpikir mungkin akan lebih mudah bagi kedua perempuan yang lewat tadi
jika mereka mengembangkan keahliannya ke jenis kasur yang lebih relevan dengan
kondisi sekarang, sehingga pasar yang dijelajah akan lebih luas. Semoga mereka
menyadari itu.
Kalau ada yang surut dan menghilang tentu ada yang mulai moncer dan
kekinian. Itu hal yang sudah jadi hukum alam bahwa ada yang pergi maka akan ada
yang datang menggantikan. Nah, untuk soal profesi ini apa yang datang? Saya
pribadi menganggap pembuat video yang lalu mengunggahnya di laman khusus
termasuk profesi yang baru datang. Membuat video sebenarnya bukan hal yang
baru. Sudah puluhan tahun film dan video musik dikenal. Tapi yang telah dikenal
lama itu adalah yang berupa kerja kolektif, butuh banyak modal, dan dipasarkan
dengan sangat komersial. Sementara yang baru datang ini justru sebaliknya. Lihat
saja video-video yang dibuat perorangan dengan alat yang seringkali seadanya,
lalu diunggah di laman semisal Youtube. Lihat isi video-video itu, ada yang
serius tapi tak sedikit yang isinya berguyon. Dan hebatnya itu mendatangkan
uang bagi pengunggahnya, konon karena si video ditempeli iklan oleh produsen
yang otomatis akan dilihat oleh pemirsanya. Yang diunggah di Instagram walau
pendek saja tapi jika mendatangkan follower bisa membuat pemilik akun menjadi
perpanjangan tangan produsen dalam hal beriklan atau istilahnya meng-endorse. Ujung-ujungnya
balik ke uang lagi.
Fenomena di atas mungkin biasa bagi orang lain tapi mengagumkan saya. Saya kagum
dengan terobosan itu. Kagum dengan kreatifitas dan kecerdikan mereka; entah
siapa yang memulainya; membuat apa yang
tak ada menjadi ada. Pernah saya baca profil pelaku profesi ini di koran. Dan
kebanyakan awalnya iseng-iseng saja. Lalu ternyata banyak yang menonton. Alhasil
ditempeli iklan. Dan karena nilanya bisa untuk menopang hidup maka mereka tak
lagi iseng dalam mengerjakannya. Jadi ada konsep dan cerita yang dipikirkan
serius, juga jadwal tayang yang teratur. Konsekuensi yang masuk akal tentu
saja.
Itu tentu bukan satu-satunya profesi baru yang muncul. Tapi yang satu ini
yang cukup mengesankan bagi saya. Mungkin sudah saatnya siswa taman kanak-kanak
tak lagi terjebak dengan dokter, insinyur, dan tentara ketika ditanya soal
cita-citanya. Tapi mestinya perlu sebutan yang ringkas dan jelas untuk profesi
baru ini sehingga mudah diucapkan oleh mulut-mulut kecil anak-anak itu.
Minggu, 27 Maret 2016
Seplastik Beras
Satu siang kisaran seminggu lalu, saya mendatangi area parkir sebuah kantor yang sekaligus jadi
area berinternet gratis, dengan maksud mencari seorang teman. Setelah celingak-celinguk
di setiap meja orang yang saya cari tak ada. Padahal sebelum meluncur tadi saya
sempat bertelepon dengan ibunya dan mendapat informasi dia sedang berinternet
disitu. Mungkin masih dalam perjalanan, begitu pikir saya. Jadilah saya pergi
dulu ke toko beras, membeli dua kantong beras titipan ibu saya. Dengan dua
plastik beras di bagian pijakan kaki motor, saya kembali masuk ke area parkir
kantor tersebut, kembali celingak-celinguk mencari wajah yang saya kenal.
Hasilnya kembali nihil. Mungkin masih di perjalanan karena mampir terlebih dulu
ke satu tempat, begitu pikir saya sambil memarkir motor dan duduk di bangku.
Bangku dan motor cuma berjarak kisaran 2.5 meter saja. Sempat terpikir masuk ke
ATM sembari menunggu tapi urung karena ingat mesin tersebut hanya menyediakan
pecahan seratus ribuan sementara yang saya butuhkan lima puluh ribu saja. Tak
sampai lima menit menunggu telepon saya bergetar, ibu teman saya mengabarkan
bahwa ternyata anaknya tidak keluar rumah untuk berinternet. Tapi beliau juga
tak tahu kemana. Akhirnya saya bertitip pesan kepada beliau agar memintanya
menghubungi saya ketika sampai di rumah nanti. Motor saya tunggangi kembali dan
keluar dari area parkir tersebut. Satpam menatap dengan pandangan agak aneh
begitu saya melewatinya. Maaf Pak, saya memang tak bermaksud ngenet, makanya
nggak bawa piranti kayak yang lainnya, jadi nggak perlu heran deh.
Tujuan berikutnya adalah ATM di pelataran bank. Jaraknya sekitar 400 meter
dari tempat pertama. Jadi sebentar saja sudah sampai. Dan hal yang mengejutkan
saat memarkir motor di depan deretan mesin ATM itu adalah beras saya tinggal
satu plastik saja. Kaget dan tak mempercayai pandangan mata sendiri membuat
saya membolak-balik sekantong beras itu. Memang tinggal satu adanya. Berarti
hilang satu. Dimana hilangnya? Saya yakin sekali keluar dari toko beras tadi
mengangkut dua kantong plastik. Yakin karena keduanya membuat kaki saya susah
mendapatkan pijakan. Yakin karena sebelum masuk ke area ngenet tadi saya sempat
melihat lagi dua plastik beras dengan sedikit malu karena di saat yang lain
menggendong laptop dengan bangga eh saya malah membawa masuk beras. Berarti
hilangnya di pelataran ngenet tadi. Lha kapan? Berarti pas motor terparkir,
berjarak kisaran 2.5 meter dari bangku yang saya duduki tadi. Lha kok bisa kan
dekat sekali? Lha embuh! Perhatian saya memang teralihkan ketika menerima
telepon. Tapi tak lama, beberapa menit saja. Dan banyak orang di area tersebut
walau mereka sibuk dengan piranti masing-masing. Sebagian malah ada yang
duduknya menghadap ke arah saya. Berarti mereka mestinya tahu ketika seseorang
mengangkut sekantong beras dari motor yang saya parkir. Ya, seharusnya mereka
tahu.
Jelas saya jengkel sekali dengan kejadian itu. Ke ATM yang seharusnya hanya
untuk mengambil uang demi keperluan mengirim paket akhirnya mesti bertambah
jumlahnya untuk mengganti beras yang hilang tadi. Padahal saya sedang
memberlakukan kebijakan uang ketat terhadap diri saya sendiri. Tapi mau
apalagi? Toh, berasnya sudah kadung melayang, sementara tak mungkin memberikan
kepada ibu saya sekantong saja sambil berkata yang sekantong hilang. Dengan
dongkol saya kembali ke toko, membeli seplastik lagi, lalu menyerahkannya kepada ibu saya tanpa
cerita tentang seplastik lain yang baru saja raib.
Kenapa beras saya hilang? Apakah saya telah teledor dalam hal menjaganya? Lha
kan motor juga cuma 2.5 meter dari bangku? Apa ya harus saya duduk sambil
ngerangkul dua plastik beras? Jujur jengkel sekali. Dan nyaris saya menyumpahi
si pengambil. Satu hal yang menahan mulut dan hati untuk melakukannya
adalah kesadaran bahwa yang hilang itu adalah beras. Ya, beras yang makanan
pokok itu. Sebegitu laparkah dia hingga tak tahan untuk tidak mengambil beras
saya? Sangat laparkah? Pikiran itu membuat amarah reda. Saya jadi berpikir
beruntung sekali bisa makan kenyang dua kali sehari tanpa mencuri walau harus
memberlakukan kebijakan uang ketat pada diri sendiri akibat tabungan yang lagi setipis kertas. Jadi ingat cerita teman
dua hari sebelumnya. Katanya desanya mulai rusuh. Mulai marak pencurian dan
barang yang dicuri adalah yang praktis-praktis semacam unggas. Teman saya yang
juga peternak sudah mengalami itu. Masih kata teman saya, yang seperti ini bisa
jadi mengindikasikan satu hal, banyak orang lapar alias kondisi perekonomian
sedang susah.
Ya ya ya, saya pun merasakan kondisi sedang tak terlalu baik. Dan saya tak
hendak membuat sentimen politik tehadap si A si B. Males banget mikirin yang
begitu. Yang penting tetap berdoa dan berusaha. Dan untuk siapapun yang
mengambil seplastik beras itu, saya ikhlas untuk berdoa semoga itu cukup
mengenyangkan. Tak ada marah saya untuknya walau sempat jengkel setengah mati.
Teman lain mengusik dengan pertanyaan bagaimana kalau si pengambil bukan orang
yang kelaparan. Ehmmmm.... kalau sampai
beras saja diambil pasti dia lapar, mungkin bentuk laparnya saja yang bisa
beda-beda.
Senin, 29 Februari 2016
Ibu-Ibu Matic
Seorang teman mengirim foto dan saya langsung tertawa dan tersindir
sekaligus. Foto apakah itu? Foto tersebut menggambarkan dua orang perempuan;
mungkin ibu-ibu; sedang berkendara sepeda motor dengan arah lurus tapi lampu
sign keduanya menyala, satu ke kanan dan lainnya ke kiri. Di bagian bawah foto
ada tulisan yang isinya kurang lebih seperti ini : hanya Tuhan dan dia seorang
yang tahu kemana arah yang dituju. Foto ini kemudian mengundang komentar karena
dikirimnya ke kelompok percakapan. Seorang teman sambil membenarkan teks di
foto itu mengeluh bahwa jalan jadi runyam ketika ibu-ibu dengan motornya
berkendara seenak udelnya. Masih menurutnya, urusan belok saja para ibu ini
pada ga bener, mau lampu sign ke kanan tapi beloknya ke kiri dan sebaliknya. Terus
giliran sudah benar lampu sign-nya eh lupa matiin, jadi nyala terus hingga
ketemu belokan lainnya. Alhasil siapapun yang ada di belakangnya tertipu. Itu baru
satu hal, masih banyak hal lainnya, seperti menyalip atau menyeberang
seenaknya. Ntar ditegur malah melotot, timpal teman yang lain. Yang lain lagi
menambahi bahwa pokoknya mengerikan berkendara bareng ibu-ibu seperti itu,
runyam, riskan.
Sepeda motor matic. Ya, itu menurut saya asal muasalnya. Sepeda motor matic
sungguh memberikan kemudahan untuk pengendaranya. Bagaimana ga mudah wong cara
mengendarainya ga beda jauh dengan naik sepeda pancal. Cuma perlu mengatur
keseimbangan dan beres sudah. Kendali ada di tangan. Beda dengan sepeda motor
yang bergigi. Saking gampangnya semua jadi bisa mengendarainya, otomatis
bertambahlah isi jalan. Lalu bagaimana dengan ketidakmampuan ibu-ibu itu
berkendara dengan aman dan mengamankan pengendara lainnya? Ehmmm... yang ini
entah apa penjelasannya. Yang pasti foto dan pernyataan teman-teman tersebut
membuat saya berkaca. Yes, saya juga termasuk dalam kategori ibu-ibu pengendara
motor itu. Dan jujur saja, saya juga kadang lupa mematikan lampu sign seusai
membelok. Pernah juga saya diteriaki pengguna jalan yang lain karena dianggap
salah. Pernah juga saya sadar telah melakukan kesalahan walau pengendara lain
berbaik hati tak memaki. Yes, saya kadang termasuk dalam golongan tersebut. Lalu
bagaimana? Ya perbaiki dirilah, toh ada di jalan memang prinsipnya tidak cuma menjaga
keselamatan diri sendiri tapi juga harus menjaga keselamatan orang lain. Dan
saya yakin ini bukan jenis keahlian yang hanya bisa dilakoni jender tertentu.
Eh tapi bener lho, sejak ini saya jadi seneng klo ada bapak-bapak belok
tanpa pakai lampu sign atau motong jalan tanpa rasa berdosa... Hehehheehhe versi
bapak-bapak matic bukan yaaaaa...?
gambar dipinjam dari http://www.istockphoto.com/vector/beautiful-cool-girl-riding-a-motorcycle-gm165680806-11034902
Minggu, 31 Januari 2016
Dia Tak Perlu Tahu
Namanya Pramudya. Di kantor ini
dia biasa dipanggil Pram, Mas Pram, ataupun Pak Pram. Tentu saja tergantung
siapa yang memanggil. Dan aku termasuk yang memanggilnya Pram aja. Sementara
gadis-gadis itu termasuk yang memanggilnya Mas Pram. Ya, gadis-gadis di ruang
administrasi dan logistik itu yang kumaksud. Mereka yang nyaris selalu manis
terhadap si Mas Pram. Manisnya kadang melebihi manis terhadap yang lain.
Termasuk kepadaku, bahkan kepada pak Bos Besar sekalipun. Ah, tapi siapa juga
yang bisa tidak bersikap seperti itu padanya? Toh Pram memang seorang yang baik
hati dan tidak sombong. Dia ramah dan sopan, tak pernah berkata kasar, pun
ketika marah. Semua tahu jika marah dia akan berbicara dengan kalimat
singkat-singkat tapi penuh tekanan lalu diam. Ini membuat lawan bicaranya segan
sekaligus tahu keadaan. Dan marahnya juga tak pernah lama. Dengan segala
kebaikan itu, dia masih punya kelebihan tampang. Komplit sudah. Jadilah dia
Manager kesayangan.
Ya, dia kesayangan semua. Semua
selalu peduli. Termasuk ketika dia jatuh cinta pada Reina dulu. Reina yang staf
ekspor impor itu memang si cantik segar, bagai burung kutilang yang selalu
berkicau dengan merdunya. Reina yang menyedot perhatian banyak lelaki. Dan
Reina yang dengan riang dan ringan menikmati semua itu. Tanpa beban dia
menyambut uluran tangan satu laki-laki sebelum kemudian berpindah ke yang lain.
Hingga akhirnya mulai banyak bisik-bisik tak enak tentangnya. Cukup banyak
bujangan di kantor saat itu. Yang aku tak mengerti adalah mengapa Reina
mengabaikan Pram dan lebih memilih berkencan dengan yang lain terlebih dulu.
Pram memang tak sevulgar yang lain dalam hal menunjukkan perhatiannya. Dia tak
bisa menggoda di depan banyak orang. Itu bukan gaya Pram. Dia adalah si pemalu
yang mengirimkan sinyal lewat pandangan yang berhenti beberapa detik lebih
lama, lewat senyum tipis yang mudah terkembang ketika mereka berada dalam ruang
yang sama. Seharusnya Reina mengerti itu. Tapi entah mengapa dia
mengabaikannya. Dan baru membalas ketika semua mulai berbisik-bisik tentangnya.
Dan pangeran yang nyaris sempurna itu tentu girang luar biasa dan tak peduli
dengan gunjingan apapun.
Tak butuh waktu lama bagi Pram
untuk membuat keputusan. Ketika semua sibuk bertaruh berapa lama Reina bertahan
sebelum kembali melompat, Pram sudah melingkarkan cincin pertunangan ke jari
Reina. Dan tak sampai tiga bulan kemudian undangan pernikahan telah tersebar.
Heboh. Para gadis patah hati. Para bujangan tertawa getir. Semua memberi
selamat. Tapi di balik itu tak sedikit yang menyayangkan dan memulai pertaruhan
baru berapa lama mereka bertahan dalam satu pernikahan. Semua karena Reina yang
dipilih. Terlalu banyak yang bilang itu pilihan salah. Pram terlalu cinta. Juga
terlalu naif. Reina terlalu berjiwa bebas. Diam-diam aku sepakat. Tapi
pernikahan tetap berlangsung. Reina tak lagi bekerja setelahnya.
Awalnya indah adanya. Ditandai
dengan penampilan Pram yang jelas tampak lebih terawat. Ini sudah pasti
pengaruh Reina. Pram jadi lebih rapi. Tak pernah telat bercukur ataupun potong
rambut. Kemejanya juga jadi kenal warna, tak lagi melulu seputaran putih, biru,
kelabu, dan hitam. Dia jadi tahu warna merah muda, kuning, hijau, juga ungu.
Model celananya juga up to date. Baunya
lebih wangi, dengan aroma yang berganti-ganti. Dan yang paling penting adalah
dia jadi rajin pulang sejam lebih cepat dari masa bujang dulu. Semua karena
Reina tentu saja. Dan semua mata menyaksikan semua itu dengan cemburu, tapi tak
bisa apa-apa. Toh di luar semua itu dia tetaplah Pram yang baik.
Itu tahun pertama. Menginjak
tahun kedua mulai ada suara tentang mereka berdua. Entah dari mana sumbernya,
tapi kabarnya Reina menolak untuk hamil. Sementara Pram sudah kepingin sekali
punya bayi kecil mungil yang lucu. Dia sudah rindu dipanggil Ayah atau Bapak
atau Papa. Orang mulai berbisik-bisik menyalahkan Reina, menudingnya terlalu
cinta pada bentuk tubuhnya yang memang spesial sehingga tak rela kehamilan
membuatnya berubah. Dan dalam satu acara plesir karyawan dan keluarga aku
melihat dengan mataku sendiri bagaimana Pram yang baik itu gemar menggoda
balita Pak Dahlan yang baru saja mampu berjalan, juga balita Cik Mei yang
berkucir tinggi dan berpipi gembul. Sementara Reina tak tampak tertarik dengan
itu dan asyik berkumpul dengan teman-teman lamanya. Ketika kugoda dia sudah
pantas menggendong bocah macam itu, Pram cuma tersenyum getir. Aku jadi tak
tega bertanya lebih dalam. Biarlah itu jadi urusan mereka berdua saja. Tak ada
untungnya juga aku ikut merecoki. Tapi tak urung aku kasihan padanya.
Sekarang sudah masuk tahun
keempat. Bajunya masih warna-warni. Celananya juga masih model terkini. Cukur
dan potong rambut walau sesekali telat tapi tak memperburuk rupanya. Tapi ada
yang jadi beda. Roman mukanya tak lagi secerah dulu serinya. Sering tampak
berkabut. Sering tampak merenungi sesuatu dan menggeleng lemah ketika ditanya
kenapa. Jelas dia sedang tak sepenuhnya bahagia. Tak seperti tahun-tahun
sebelumnya. Orang-orang itu mulai berbisik-bisik, Pram dan Reina banyak
bertengkar. Soal anak. Soal uang. Soal kekurangan masing-masing. Dan Pram jadi
mulai lambat lagi meninggalkan kantor, mulai kembali ke kebiasaannya semasa
bujang dulu. Seperti malam itu.
Kutemukan ruangannya masih
menyala ketika aku hendak pulang. Dia tergeragap kaget saat kuketuk kaca pintunya.
“Masih memikirkan soal
perubahan jadwal yang diminta si Javier tadi?” Javier adalah buyer yang
kutangani. Bule gemblung itu suka sekali memaju-majukan jadwal pengiriman
ordernya.
Senyumnya sekilas saja, entah
apa artinya.
“Asal kau bisa sedikit memundurkan
order EcoKane maka Javier tak akan jadi masalah. Terserah alasan apa yang akan
kau suguhkan ke orang EcoKane. Atau aku akan membuat line baru khusus untuk Javier. Tapi kau harus pastikan dia segera
turun order lagi setelah ini sesuai jumlah yang dijanjikannya. Jangan sampai
kurang. Bagus kalau bisa lebih banyak. Jangan sampai line itu kekurangan pekerjaan.”
Suaranya jernih seperti biasa.
Sudah ada solusi di kepalanya. Seharusnya tak ada masalah yang menahannya tetap
duduk disana.
“Lalu?”
“Apa?”
“Lalu kenapa kau masih ada
disini, itu maksudku.”
Dia mengusap wajahnya
kuat-kuat, seperti sedang berusaha mengenyahkan semua yang menempel di sana.
“Sebentar lagi aku pulang.”
Entah kenapa aku bukannya pergi
tapi malah duduk di kursi di depan mejanya, menatapi kedua matanya yang
ternyata berkantong. Kemarin-kemarin rasanya tak ada kantong-kantong itu. Kini
mata itu keruh. Aku jadi berpikir mungkin apa yang dibisikkan orang-orang itu
benar, bahwa ada yang tidak seindah dulu. Ah, apakah mata Reina juga berkantong
dan keruh seperti itu? Bagaimana jadinya rupanya? Masih cantikkah? Susah juga
membayangkan karena Reina yang kutahu selalu sempurna.
“Kenapa kau tak segera
menikah?”
Pertanyaannya datang tiba-tiba.
Tapi aku tak kaget. Juga sudah terbiasa dengan pertanyaan macam itu. Pertanyaan
yang bisa datang dari siapa saja ketika umur sudah melampaui angka tiga puluh enam.
Bahkan dari seorang yang baik hati sepertinya.
“Belum ada yang cocok di hati.
Dan aku juga belum cocok di hati perempuan manapun.”
Dia nyengir, seperti sedikit
terhibur dengan jawaban kliseku.
“Memang yang bagaimana yang
cocok untukmu?”
“Yang tidak bawel. Yang tidak
penuntut. Yang tidak materialistis.”
“Ada yang seperti itu?”
Tahu-tahu kami tergelak
bersama.
“Kau tak kepingin ada yang menunggumu
di rumah? Ada yang mengurus keperluan hidupmu. Ada yang kau hidupi. Ada yang menyandang namamu. Dan ada
ada yang lain .....?”
Jika pertanyaan ini benar
keluar dari hatinya maka aku bisa memastikan bisik-bisik di balik punggungnya
itu salah belaka. Artinya hidupnya baik-baik saja. Artinya Reina yang cantik
benar membahagiakannya. Artinya dia adalah Pram yang baik dan bahagia. Betapa
sempurna dan indah hidupnya.
“Kau masih ingat hidupmu ketika
bujang dulu, Pram?”
Dia mengerutkan kedua alisnya
hingga bertaut.
“Ya, masa ketika kau bebas
tidur dan bangun kapan saja kau mau. Bebas mengenakan baju apapun, bahkan
ketika warna dan motifnya tabrak lari tak karuan. Tak ada yang mengomel walau seharian
tak mandi sekalipun. Pulang kerja bebas mampir kemanapun yang kau mau. Bebas
menghamburkan uangmu untuk gadget,
buku, atau sekedar dongkrak mobil. Bebas menonton bola jam berapapun dan
dimanapun kau mau. Yakin kau tak pernah kangen dengan masa itu?”
Tawanya kecil saja. Dia
menudingku. Katanya, “Kau memang liberalis! Di matamu perempuan jadi seperti
penjajah.”
“Tidak juga. Perempuan yang
tepat pasti akan membahagiakan. Karena itu aku perlu yang tepat.”
“Tepat? Padahal tak ada yang
sempurna........”
Tak ada yang sempurna. Siapa
yang tak sempurna? Reina termasuk yang tak sempurna? Yang kutahu orang-orang
menganggap dirinya tak cukup punya kekurangan sebagai laki-laki. Dan aku
sepakat dengan mereka.
Selepas kalimat itu dia
membereskan mejanya lalu mengajakku pergi. Kami tak berkata-kata lagi. Aku jadi
tak punya alasan untuk mendetail apa yang tak sempurna tadi. Dia membunyikan
klakson satu kali sebelum melajukan mobilnya.
Lalu kini mukanya tambah sering
keruh. Lalu kabar baru mulai berhembus. Reina minta cerai. Pram mengabulkan.
Tapi mestinya tak dengan hati ringan. Karena jika demikian mukanya tak akan
sekeruh comberan. Mulutnya tetap terkunci. Tapi seperti biasa, bisik-bisik
terus beredar seperti lebah yang tak bosan menggumam. Ada yang menghujat Reina
tak tahu bersyukur, terus menuntut ini itu pada pangeran yang baik hati itu. Yang
lain bercerita Pram memaksa ingin anak, tapi Reina tetap tak mau. Mulut yang
lain lagi bilang Pram tak bisa lagi mengendalikan istrinya yang cantik jelita
itu. Dan seperti biasa, mulut Pram tetap terkatup. Tak berusaha membuat mereka
berhenti mendengung. Tak peduli apa yang mereka bisikan dan tinggal di kantor
lebih lama. Lalu ketika tak juga ada penjelasan mulai ada saja yang kulihat
berusaha mendekat padanya, para gadis di ruang administrasi dan logistik itu.
Bahkan Yessi; janda manis, bagian akunting yang pendiam dan pemalu; juga ikut
tertarik urun perhatian. Beberapa kali dengan sengaja dia mengambil tempat
semeja dengan Pram saat makan siang, hal yang selama ini tak pernah
dilakukannya. Bukti daya tarik Pram masih tak melemah. Tapi si magnet itu tetap
keruh wajahnya, tetap terkunci rapat mulutnya, juga tak merespon apa-apa.
Kurasa hatinya terkunci masih pada Reina.
Sudah lebih dari jam tujuh
malam ketika aku lewat ruangannya. Sebenarnya aku tak hendak mampir tapi dia
melambaikan tangannya, memanggilku masuk.
“Kau pulang sekarang?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku numpang ya? Mobilku ada di
bengkel.”
Hal yang tak biasa, tapi biar
saja. Toh, tak ada ruginya mengangkut dia walau sampai rumahnya sekalipun. Aku
malah senang. Sepanjang jalan dia lebih banyak bisu. Kalaupun bicara cuma
pendek-pendek saja. Lalu terus-terusan menatap ke luar lewat kaca samping. Kubiarkan
saja dia begitu, kadang orang perlu waktu untuk merenung.
“Kau tak ada janji dengan
kekasihmu malam ini?”
Hehh, kekasih ....?! Pertanyaan
yang mengejutkan. Karena isinya, juga karena terlontar setelah bermenit-menit
mulutnya diam.
“Tak ada. Kenapa?”
“Makan dulu, yuk? Aku lapar
sekali.“
“Boleh. Makan apa?”
Katanya apa saja. Ah, mereka
yang sedang berkabung memang biasanya tak punya cukup selera untuk memilih
makanan. Kubawa dia ke sop kaki kambing langgananku. Kupikir uap panasnya bisa
membantu sedikit menghangatkan hatinya.
“Mau?”
Dia mengangguk, lalu
pelan-pelan duduk di salah satu bangku.
“Reina juga suka makan disini.”
Aku jadi
menyesal. Seharusnya aku membawanya ke tempat lain. Mukanya sendu ketika
meniup-niup kuah di sendoknya. Mungkin dia juga tengah berusaha meniup pergi
kenangan Reina pernah duduk di satu bangku disitu.
“Bagaimana
kabarnya?”
“Siapa?”
“Reina.”
Kuusahakan sehati-hati mungkin
menyebut nama itu. Aku berjanji tak akan mengulangi pertanyaanku jika dia tutup
mulut. Tapi ternyata setelah menghela nafas dia menjawab.
“Dia di
rumah orangtuanya sekarang. Kau sudah dengar soal kami, kan? Aku tahu
orang-orang membicarakanku.”
“Jadi
benar berita itu?”
Dia
mengangguk sambil menyingkirkan mangkuk sopnya ke samping; sisa separuh. Begitu
juga nasinya.
“Kenapa?”
“Aku
juga tak cukup mengerti..... Kupikir aku tak bodoh. Tapi dalam hal ini aku bodoh
sekali.”
Wajahnya
memang tampak tolol dan lelah. Dia bukan si pintar yang biasanya.
“Terus
bagaimana?”
Dia
mengendikkan bahunya, membayar makanan kami, lalu mengajakku beranjak. Kupikir
saatnya aku antar dia pulang. Tapi ternyata tidak. Malam ini sungguh dia
mengejutkan. Tak dinyana dia minta ditemani ke klab. Hal yang tak pernah
kubayangkan. Katanya dia kepingin minum sedikit. Kubawa dia ke hotel. Dan aku
takjub melihatnya meneguk cairan itu. Meneguknya lagi, lagi, dan lagi. Lalu
dengan badan bersandar di sofa dia mulai bicara. Matanya tertutup.
“Susah
sekali mengertinya .... Selalu ada yang tak betul...... Apa perempuan semua
begitu?”
Aku tak
tahu. Aku tak punya pengalaman.
“Perempuan
itu aneh sekali ....”
“Aneh
bagaimana?”
Jawabannya
berupa gumaman, tapi aku masih bisa menangkap jelas.
“Padaku
dia bilang belum siap punya anak. Katanya nanti saja ketika rumah sudah lebih
besar dan kita tak lagi banyak bertengkar. Tapi sekarang dia minta cerai karena
ada anak laki-laki itu di perutnya. Dia sungguh menghinaku! Padahal aku
mencintainya setengah mati......”
Aku diam
karena kaget. Dia juga diam, mungkin karena tambah mabuk. Tak ada lagi
kata-kata dari mulutnya. Kubiarkan begitu lebih dari sejam. Lalu kupapah dia
keluar.
“Kepalaku
pusing,” keluhnya di dalam mobil.
“Kau
mabuk.”
Tanpa
meminta persetujuannya, kubawa dia ke tempatku. Dia muntah-muntah di kamar mandi
sebelum akhirnya lelap di kasurku.
Pagi dia
bangun dengan kusut dan awut-awut, menghampiriku di meja makan.
“Untung
kau membawaku kesini. Rumahku kosong.”
Persis
seperti yang kuduga. Kusorongkan kopi panas untuknya. Juga roti dan selai.
“Cuma
ada itu untuk sarapan.”
“Tak
apa. Maaf, aku merepotkanmu semalam.”
“Tak
masalah. Aku juga mabuk kadang-kadang.”
“Aku mengoceh
apa saja?”
“Cuma
soal Reina minta cerai darimu. Kau banyak bergumam, aku tak bisa jelas
mendengar.” Kuputuskan sedikit berbohong. Dia bukan tipikal yang gampang
menceritakan masalahnya. Pasti dia tak bermaksud mengungkap soal kehamilan
Reina. Pasti itu aib yang ingin dia tutup rapat. Aib yang menyangkut harga
dirinya sebagai laki-laki.
Dia
mengangguk. “Begitulah ...”
“Terus?”
“Biarlah,
kuberikan saja apa maunya. Tak ada yang perlu dipertahankan.” Matanya mengamati
sekeliling. “Rumahmu rapi sekali. Kau membersihkannya sendiri?”
Aku
mengerti itu sebuah pengalihan pembicaraan.
“Ya. Aku
tinggal sendiri. Juga jarang ada tamu. Jadi gampang membersihkannya.”
Dia
menatap arlojinya. Setengah jam lagi kami harus berangkat ke kantor.
“Mandilah.
Pakai kemejaku. Ambil sendiri di almari. Rasanya ukuran kita tak jauh beda.
Pakai celanaku kalau kau mau. Ada satu yang masih baru dan belum pernah
kupakai. Masih ada labelnya menempel.”
Diteliti
badannya. “Aku pinjam kemeja saja. Celana tak usah, masih bisa pakai ini.”
“Ada
handuk bersih rak itu. Juga sikat gigi baru.”
Keluar
dari kamar mandi, lagi dia mengeluh kepalanya sakit. Juga loyo. Kutawarkan obat
pusing. Tapi dia menggeleng, meneguk sisa kopinya, mengambil lagi selembar roti.
“Bagaimana
kalau aku agak siang saja ke kantornya?”
“Terserah
kau. Nanti kusampaikan kau sedang tak enak badan.”
“Aku
tiduran dulu disini tidak apa-apa ya?”
Tentu
aku tak keberatan.
Jadilah aku berangkat sendiri.
Katanya nanti dia akan memanggil taksi. Seandainya tak ada janji factory visit dengan Chester Hogan pasti
aku temani dia leyeh-leyeh di rumah.
Sepanjang
hari itu aku menikmati hangat hatiku. Dan lebih hangat lagi melihatnya datang
dengan kemejaku, putih bergaris biru. Standar sekali warna pilihannya. Dia
menekuk lengannya hingga sesiku, mungkin karena kepanjangan. Ketika menjabat
tangan Chester, kulihat wajahnya sedikit lebih cerah. Pasti efek tidur tambahan
tadi, di kasurku.
Sore
hampir gelap. Dia masuk ke ruanganku.
“Terima
kasih untuk semalam. Aku kacau akhir-akhir ini. Jungkir balik rasanya.”
“Tak
apa. Aku pernah jauh lebih mabuk darimu.”
“Ehmm....
apapun yang kau dengar dariku semalam tolong simpan untukmu saja.”
“Ya. Aku
mengerti itu urusan pribadimu.”
Dia
bangkit dari kursi, mencangklongkan tas ke bahunya.
“Kau
pulang sekarang?”
“Ya.
Kepingin tidur awal.”
“Mau
menumpang lagi? Aku tinggal menunggu satu e-mail
keluar dari outbox-ku.”
Dia
menggeleng. “Terima kasih. Tapi tadi siang orang bengkel sudah mengantar
mobilku kemari. Lagipula, aku takut akan memaksamu ke klab kalau menumpang
lagi.” Dia mencoba bercanda.
“Tak
apa, asal kau masih betah tidur di rumah bujanganku.”
Senyumnya terkembang cukup
lebar. “Kapan-kapan kalau perlu aku akan menumpang kau lagi. Asal kau tak kapok
saja.”
Dia
mungkin sudah melaju dalam mobilnya di jalan sana sekarang. Tapi aku masih
duduk, mengingat, dan melihatnya jelas di pikiranku. Dia yang kupapah. Dia yang
tidur bergelung di kasurku, memeluk erat gulingku. Dia yang mereguk kopi
buatanku dari mugku, dan mengunyah roti di meja makanku. Dia yang menyeka
badannya dengan handukku, lalu mengenakan kemejaku...... Ya, memang cuma itu,
tapi sungguh sekelumit yang menyenangkan. Sungguh menghangatkan hati. Seperti sebuah
kado indah yang tiba-tiba saja kudapatkan setelah sekian lama menata sikap
terhadapnya. Ah, tapi dia tak perlu tahu .....
***
Langganan:
Postingan (Atom)