Senin, 31 Oktober 2016

Jumat, 30 September 2016

Benda Cair

Sungguh saya membenci satu benda cair yang berjuluk politik. Ya, politik benda cair tho? Para pelakunya sendiri yang bilang begitu kok. Coba saja lihat di televisi bagaimana mereka semua dengan enteng dan sumringah bilang “ya politik itu kan sangat cair, jadi dinamika apapun mungkin terjadi”. Jadi politik termasuk benda cair.

Ya, saya membencinya. Terlebih lagi ketika masa pemilihan umum tiba. Hingar bingar dan panas menyebar ke seluruh penjuru. Katanya itu adalah masa pesta demokrasinya rakyat. Pesta...? Kalau memang pesta seharusnya sih senang-senang, makan minum enak, hati terang dan riang gembira. Tapi kok di pesta demokrasi yang begitu tak terasa ya? Makan minum enak ada sih di beberapa tempat, terutama tempat-tempat yang disulap mendadak ada oleh para kandidat berikut tim suksesnya. Tapi itu bukan makan minum yang gratis lho. Itu penyediaan makan minum yang tendensius alias bermaksud. Ada senang-senang di masa pesta demokrasi? Ehmmm palingan juga jogetan di lapangan, itupun dengan panduan yang lagi-lagi oleh para kandidat dan tim sukses. Sering ada bagi-bagi duitnya, cuma yang ini selalu dianggap tak ada. Dan jogetan itupun nggak gratis lho, tendensius teteppp.... Hati terang dan riang gembira? Haduhhh yang ini juga susah didapat. Coba tengok sosial media. Tak cuma penuh propaganda tapi juga sumpah serapah, pertentangan, silat lidah, dan semacamnya. Jadi apanya yang disebut pesta ya?

Pada saat yang sama bermunculan orang-orang baik. Orang-orang yang begitu cinta pada bangsa dan rakyatnya. Orang-orang yang duduk sebangku ;malah ngelesot; dan  merangkul-rangkul para jelata, mendengarkan dengan intens curhatan mereka, berjanji memperjuangkan kesejahteraan mereka. Orang-orang baik yang bersimpati dan bercucur air mata karena melihat ketidakadilan. Orang-orang baik yang patriotis dan nasionalis, yang sangat peduli dengan masa depan bangsa dan negara. Amboi .... Saya jadi selalu heran, kemana saja mereka selama ini? Kok ya baru sekarang munculnya?

Dan hebatnya, para orang-orang baik ini punya rombongan pendukung fanatik yang tak hanya mengaminkan tapi juga mendukung, menggemakan, menyebarluaskan segala sabdanya. Ruwetnya, antara orang-orang baik ini kerap tak saling akur karena pesta demokrasi dimaknai melulu kompetisi. Alhasil ketidakakuran membuat antar rombongan ikut berlaku sama. Bentrok antar rombongan. Masing-masing membela tuannya dengan mati-matian. Bagi rombongan, sang tuan adalah orang suci yang tak setitikpun punya cela. Ehmmm... mungkin malah sang tuan dianggap malaikat. Padahal setelah masa bulan madu usai sang tuan akan kembali ke bentuk semula. Dan sayangnya bentuk semula itu bukan bentuk malaikat.... Terutama jika sudah berhadapan dengan yang namanya duit. Boro-boro jadi malaikat, jadi manusia baik aja nggak .... yang ada malah jadi setan.

Itulah politik yang benda cair itu. Selayak air bentuknya berubah-ubah menurut tempatnya seperti aportunis. Selayak air dia bisa membeku menjadi es seperti tak berhati. Dia bisa juga menguap tak terlihat  seperti janji yang terlupakan. Dia juga bisa membuat karat pada besi seperti konspirasi....  Air dengan segala macam sifatnya itu tetap membuat manusia tak bisa hidup tanpanya karena sekian banyak gunanya. Sementara politik dan politisi yang meniru sifat air itu memaksa untuk membuat manusia hidup dengannya dan ironisnya menderita karena mereka tak jelas gunanya....


Sungguh saya kehilangan kepercayaan terhadap benda cair yang satu ini .... 

Rabu, 31 Agustus 2016

Penghuni Surga

Saya baru menyadari satu hal beberapa waktu yang lalu bahwa saya sebenarnya adalah penghuni surga. Iya, penghuni surga! Besar kemungkinan juga bahwa sebenarnya saya adalah bidadari.... ahahhahaha....

Soal bidadari rasanya emang ada banyak keraguan. Tapi saya sungguh serius soal surga. Ya, tanah yang saya pijak saat ini sesungguhnya adalah surga. Ingat lagu Koes Plus yang liriknya berbunyi antara lain ‘orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman’? Sebelumnya saya menganggap lagu itu ya sekedar lagu saja, sekedar ekspresi dari seniman yang mencintai tanah airnya. Tapi sejak beberapa hari yang lalu saya berubah pikiran, lagu itu benar adanya. Satu buku yang sudah terbeli bertahun-tahun yang lalu tapi tak kunjung usai membacanya (bahkan sampai hari ini buku itu belum selesai terbaca), memberikan satu kesadaran pada saya. Buku itu sebenarnya bercerita soal meletusnya gunung Krakatau pada hari Senin 27 Agustus 1883 yang sungguh menghebohkan, sekaligus memberi pengaruh terhadap cuaca hingga ke benua biru sana. Di bagian depan buku itu diceritakan tentang pulau-pulau yang kaya akan komoditas alam yang di Eropa bernilai sangat tinggi. Komoditas yang membuat bangsa Eropa mantap menyabung nyawa mengarungi samudera berbekal peta navigasi yang minim. Awalnya bangsa Portugis dan Spanyol yang dianggap sebagai paling mumpuni dalam hal mengarungi samudera. Portugis khususnya pada masa itu dianggap punya data navigasi paling lengkap soal perjalanan ke Timur. Bahkan Cornelis De Houtman sempat ‘berguru’ dua tahun di Lisbon sebelum akhirnya memulai ekspedisinya dengan bendera Belanda. Dan menarik sekali karena apa yang dilakukan oleh De Houtman di Lisbon sebenarnya adalah aksi intelijen untuk mendapatkan data-data navigasi Portugis. Setelah itu secara gradual peta kekuatan soal mengarungi samudera seakan bergeser karena munculnya pemain-pemain baru seperti Belanda dan Inggris. Nah, komoditas apa yang begitu diburu itu? Yes, rempah-rempah. Komoditas yang melimpah ruah di kepulauan Nusantara; saking melimpahnya sampai harganya murah; dan sangat berharga serta didewakan oleh bangsa benua biru. Dan ketika bangsa asing itu harus bertarung dengan kematian demi mendapatkan si rempah-rempah, sebaliknya penghuni surga yang notabene ‘pemilik’ komoditas dewa hidup nyaman bermandi hangat sinar matahari sepanjang tahun. Secara pribadi saya beranggapan bangsa Eropa akhirnya menjajah karena tak tahan iri akan segala kenikmatan itu.

Ya, begitulah surga ini memberikan begitu banyak kepada penghuninya. Mungkin lebih tepatnya alam memanjakan penghuninya. Tak hanya dulu, tapi juga sekarang seharusnya. Lihat saja, ketika bangsa lain harus menderita kedinginan selama paling tidak tiga bulan dalam setahun, maka para bidadari dan penghuni surga ini tak perlu mengalaminya, malah dianugerahi musim-musim lain seperti musim mangga, duren, rambutan, bahkan musim kawin pun ada....  hihihihihiihi.... Dan ketika bangsa lain tak punya cukup sumber energi sehingga harus ‘merampas’ dari yang lain, maka di surga justru banyak pilihannya. Mau minyak bumi, batubara, gas alam, panas bumi, dan entah apalagi. Ketika bangsa lain diberikan sumber minyak bumi tapi disunat sumber airnya dan dibuat gersang tanahnya, eh di surga disediakan semuanya tanpa ada penyunatan. Ketika bangsa lain harus mengkerut dan pucat kulitnya karena tak habis dikelilingi es batu, eh penghuni surga bisa dengan alami tampil kinyis-kinyis dengan warna kulit yang eksotis. Ketika bangsa lain kekurangan sumber daya manusia, eh di surga tak ada sepinya seliweran penghuninya. Nah, kurang apa coba? Mau emas tinggal kerok. Mau ikan tinggal pancing. Mau kayu tinggal renggut. Mau air tinggal ciduk. Pokoknya semuanya adaaaaa....

Sungguh pemikiran iki membuat saya melihat sekeliling. Inilah surga itu saat ini. Rempah-rempah tentu masih ada, bahkan di pawon ibu saya pun tersedia. Tapi surga ini terasa tak lagi sesuai gambaran seharusanya. Air masih tinggal ciduk, tapi seringkali jumlahnya terlalu berlimpah hingga jadi dinamai banjir. Tanah masih tentu masih bertuah untuk ditanami, tapi ada saatnya dia melongsorkan dirinya. Sumber energi masih ada, tapi pengelolaannya penuh skandal. Emas juga masih tinggal keruk, hanya pertanyaannya siapa yang mengeruk? Kayu masih ada, tapi ya gitu deh saking rakusnya yang mau sampai pohon terlambat tumbuh. Sumber daya manusia masih tak pernah kurang, tapi ya gitu, umek dengan kepentingan sendiri..... Ah, terlalu banyak untuk dirinci....


Dengan segala kenyataan itu apa masih bener saya ini penghuni surga, sementara surganya sendiri sudah susah untuk diidentifikasi  kesurgaannya....

Minggu, 31 Juli 2016

Kursi Goyang Inspirasi Humor



Rabu lalu orang nomor satu di negeri ini mengumumkan pergantian orang-orang dalam kabinet kerjanya, alias pergantian menteri-menteri pembantunya. Pengumumannya pas menjelang tengah hari. Ada nama-nama yang baru, ada yang dilukir, dan tentu juga ada yang harus keluar. Satu hal yang sangat pasti, nama saya tak termasuk yang baru, dilukir, ataupun dikeluarkan... hehhehe... Lha terus kenapa ini jadi menariik bagi saya? Yes, ini menarik karena banyak hal. Berikut di bawah ini paparannya... halahh ...

Hari itu semua stasiun televisi langsung ramai memberitakannya. Breaking news berjam-jam. Para ahli, pengamat, analis ;atau apalah istilahnya; bidang ini itu dipanggil untuk disuruh ‘bersaksi’. Omongannya macam-macam. Satu orang bilang tim ekonomi dalam kabinet baru market friendly yang dibuktikan dengan IHSG naik dan kurs rupiah yang menguat. Menyaksikannya dalam hati saya bertanya apa kabar pasar tradisional. Bagaimana cabe, tomat, kangkung, dan ikan pindang merespon tim yang dilabeli market friendly ini? Bakal membuat harga cabe dkk jadi menguatkah? Waduhhh, mumet deh para pebelanja... Atau malah jadi menurunkan harga? Walahhh, ganti pedagangnya yang cemot-cemot.... Nah lho, market friendly kok efeknya simalakama gitu ya? Ah, mungkin pasar tradisional tak termasuk dalam market yang di-friendly kali ya? Embuhlah.

Orang yang lain bilang bahwa ini keputusan brilian seorang presiden dalam kaitannya dengan konstelasi politik yang berkembang saat ini. Intinya dalam hal dukung-mendukung parpol di parlemen. Memang ada parpol-parpol yang awalnya sok sok solid di kubu oposisi akhirnya tak tahan untuk menyeberang juga. Lha demi apa coba? Yang pastilah bukan demi kamu .... hahahahha....

Masih banyak ragam pendapat dari banyak ragam orang di televisi. Membosankan. Saya malah jadi mikir hal yang lain. Betapa beda jaman dulu dengan sekarang untuk soal yang begini. Jaman orde baru dulu bongkar pasang menteri macam begini rasanya tak pernah saya lihat. Para menteri rata-rata duduk tenang di kursinya sampai masa jabatan yang disepakati. Sekarang sebaliknya. Saya rasa kursi jabatan menteri tak lagi kursi yang kokoh paten. Mungkin lebih cocok disebut mirip dengan kursi goyang. Coba saja duduk di kursi goyang. Pas mau duduk ya mesti hati-hati, ga bisa langsung bluk lempar pantat ala ala duduk di sofa. Mesti dipegangi si kursi goyang itu baru bisa meletakkan pantat dengan aman. Pas sudah duduk ya mesti hati-hati menggoyangnya ya. Terlalu keras menggoyang juga ga bener, alias bisa bikin si duduk jadi jatuh. Tak digoyang pun salah, lha wong namanya kursi goyang kok ga goyang? Nahhh kalau sudah pinter bergoyang pun bisa salah karena bisa jadi terlena terus ngantuk dan ketiduran. Jadi intinya adalah bergoyanglah dengan proporsional di atasnya. Lalu saya jadi mikir dengan mereka yang baru masuk ke kabinet itu. Apakah bakal menggelar syukuran atau sejenisnya karena baru dapat jabatan prestisius? Kalau iya, mungkin sebaiknya syukuran sambil mikir itu jabatan bisa kapan saja dicabut. Kalau sudah kadung syukuran dengan wah, lalu tahun depannya dicabut apalagi jika alasannya karena dianggap tak bagus kinerjanya apa ga jadi malu ampun-ampun? Terus saya juga jadi kepikiran mereka yang kehilangan kursi goyangnya. Dulu pas diangkat sudah kadung syukuran ga ya? Kalau iya, kayak apa syukurannya? Ga berlebihan sehingga sekarang jadi menyesal kan? Semoga..... Ah, kenapa saya jadi repot soal syukuran yang tak cuma bukan urusan saya tapi juga tak berkaitan dengan saya.... ?

Tapi hal yang paling menarik dari peristiwa ini justru reaksi kalangan rakyat. Lihat bagaimana rakyat ini bereaksi di dunia maya terhadap keputusan presidennya. Banyak yang menanggapi dengan serius. Mereka rata-rata bernada protes. Ratusan juta penduduk negeri ini memang  tak absen menilai si menteri ini dan itu kendati tak pernah sekalipun diminta bicara di layar televisi. Rakya punya pendapat si ini berkinerja oke kok malah dicopot, sementara si itu yang bisanya begitu-begitu saja bisa tenang bergoyang di atas kursinya. Di dunia maya banyak yang  tak takut dengan terang-terangan menunjuk nama sang menteri yang dinilai cuma begitu-begitu saja. Ada yang kalimatnya langsung pedas, ada yang masih dengan ejekan lunak. Saya yang menjadi pembaca jadi penasaran bagaimana reaksi si menteri begitu-begitu saja itu? Bersyukur sepenuh hati karena masih bisa menduduki kursi goyangnya? Atau tak enak hati, gamang, dan tak percaya diri? Entahlah, yang pasti ketika pelantikan si muka baru dan si lukir, beliau tampak asyik berbaur dan mengobrol dengan para petahan lainnya. Tapi siapa tahu ya dalam hatinya ga keruan....

Tak hanya protesan yang muncul. Meme dan guyonan langsung membanjiri dunia maya. Dan ini yang sungguh menggembirakan  hari itu, membuat saya ngakak berkali-kali. Ada meme yang bergambar seorang laki-laki masuk dalam almari sambil berujar “Alhamdulillah akhirnya masuk kabinet”. Ya masuk almari kabinet maksudnya. Meme lain bergambar seorang ketua parpor bersidekap bersama seorang menteri jagoannya dan berujar “berani ganti dia? Gua kepret ...!”. Jenaka, tapi jelas sekali maksudnya. Di meme yang lain digambarkan keduanya tengah bercakap. Si menteri bertanya apakah dia akan dicopot, si ketua parpol menjawab ga bakalan karena yang kena hanya menteri laki-laki. Ketika si menteri bertanya kenapa, si ketua parpol menjawab karena perempuan kan selalu benar. Lalu keduanya tampak cekikikan. Meme ini termasuk favorit saya karena ekspresi wajah di foto-foto yang digunakan sesuai dengan ujarannnya dan isinya sekaligus mengkritisi para perempuan, istri, dan ibu  yang sering mau menang sendiri dalam kehidupan nyata. Meme lain lagi menggambarkan seorang menteri tengah duduk lemas, menutupkan satu tangan ke sebagian wajahnya sambil berkata “salahku opo, Wi?” Mungkin pembuat meme ini bermaksud mendukung si menteri yang termasuk beraport biru tapi terpental juga dari kursi goyangnya. Dan yang membuat saya ngakak adalah ekspresi wajah si menteri sayu itu sungguh sesuai dengan ucapannya. Ada lagi meme favorit saya. Screen capture sebuah ponsel menunjukkan ada 5 kali panggilan terlewatkan, dan si penelepon adalah ‘Presiden Jokowi’. Saking gemas karena telepon tak juga diangkat akhirnya sang presiden mengirim SMS berisi ‘MAU JADI MENTRI ENGGAK SIH?!’. Hahahhaha.... siapa dia orangnya yang abai terhadap telepon ketika yang lain sangat siaga akan panggilan dari istana? Sungguh saya kepingin tahu wajahnya jika memang ada.

Tak kalah dengan meme, aneka guyonan juga ramai beredar di grup percakapan. Setelah seorang teman memberikan daftar berisi sekian belas nama baru dan lukir dalam kabinet, eh tahu-tahu teman yang lain mengirim daftar yang awalnya saya pikir sama tapi ternyata tidak karena ada dua nama tambahan di bagian terbawah. Disebutkan : 15. Ngadiono Gecol menjabat mentri urusan janda, kalo ga kuat dibantu Mario Soerjanto, 16. H. Pristono menjabat Menkopolhuhah, kalo menyerah disuruh nyemplung kali. Terus dibawah lagi ada pernyataan ralat ‘eh yang nomer 15 dan 16 enggak ding’. Saya ngakak. Lha apa coba Menkopolhuhah itu? Teman saya yang sepertinya juga terhibur dengan guyonan itu menimpali dengan menulis, ‘Menkopolhuhah itu mentri urusan percabean biar ga fluktuatif harganya, termasuk ngurusi cabe-cabeannya’. Guyonan lain menceritakan seorang suami yang mengaku ditelepon presiden. Sang istri yang girang bertanya disuruh jadi menteri apa. Suami menjawab ‘jadi Menko Disik’, yang maksudnya Mengko disik, kalimat bahasa Jawa yang artinya nanti dulu. Guyonan lainnya menganalisa bahwa Menteri Pendidikan dicopot dari jabatannya karena membuat edaran agar orangtua mengantarkan anaknya di hari pertama sekolah, tapi lupa membuat edaran lanjutan kepada orangtua untuk menjemput kembali si anak sepulang sekolah. Bisaaa aja..... Satu guyonan berawal sok sok serius dengan memberikan analisa alasan kenapa si ini terpental dan si itu bertahan. Awalnya seperti masuk akal karena senada dengan berita-berita di koran sebelumnya. Tapi di akhir datang juga saatnya: ‘kenapa Ibu Menteri  A (sebut saja begitu) tak disentuh oleh Presiden Jokowi dalam perombakan kabinet jilid dua ini? Karena bukan muhrimnya!’ Ahahahhaha.... ngakaklah saya.

Masih banyak meme dan guyonan lain yang dengan mudah ditemukan di dunia maya. Lucu iya, menohok juga. Saya rasa bangsa ini humoris. Hal serius jadi guyonan. Lihat saja ketika aksi teroris menyerang satu mal di Jakarta beberapa bulan lalu. Awalnya suasana mencekam sekali. Bahkan saya yang tinggal ratusan kilometer dari lokasi kejadian pun ikut tegang walau hanya memantau dari siaran televisi. Tapi tak lama kemudian muncul mereka-mereka yang dengan logis menggalang massa untuk tak tunduk takut pada teror. Lagi-lagi dunia maya medianya. Ajakan untuk berani melawan teror langsung disambut baik banyak orang. Suasana positif juga langsung terasa, terlebih ketika aparat terbukti cukup cekatan menangani keadaan sehingga pulih dengan segera. Ketakutan hilang tapi muncul efek lain: meme dan guyonan lucu-lucuan. Tagar KamiTidakTakut mulai ditemani dengan tagar KamiNaksir karena aparat tampil beraksi berjibaku dengan seragam keren dan beberapa tampak berwajah ganteng. Begitu insiden benar-benar selesai, meme dan guyonan tentang peristiwa itu makin marak dan makin lucu. Seorang teman yang tinggal di luar negeri dan mendengar peristiwa itu kontan menghubungi saya, bertanya bagaimana suasana di dalam negeri. Bagaimana mungkin jawabannya bukan semua baik-baik saja? Lha wong semua sudah cair berguyon....


Ya, bangsa ini cukup humoris. Saya berharap presiden menyadari hal ini sehingga tak lantas berkecil hati dan dongkol lantaran  bongkar pasang menteri yang proses pengambilan keputusannya pasti memakan pikiran dan energi yang luar biasa, begitu diumumkan ke publik malah menjadi inspirasi membuat meme dan guyonan. Tolong dimengerti ya Pak, ketika sebagian kecil orang di negeri ini butuh kursi goyang, pada saat yang sama ada begitu banyak orang yang lebih butuh hiburan. Syukur-syukur Bapak mau ngakak bersama kami, hitung-hitung melepaskan ketegangan setelah sibuk mengatur sekian banyak kursi goyang. 




















Foto Rocking chair dipinjam dari https://pixabay.com/en/rocking-chair-stuffed-animal-1298925/

Kamis, 30 Juni 2016

Kabar Burung

Tempo hari saya mengobrol ngalor-ngidul tak karuan dengan seorang teman lama. Awalnya sekedar topik nostalgia, lalu akhirnya merembet ke apa-apa yang sedang up to date. Dia mengulik soal kasus Ibu Guru yang dipenjarakan setelah mencubit muridnya. Lha wong cuma dicubit saja kok reaksinya gitu ya, demikian dia berujar. Lalu kembali kami bernostalgia, kali ini soal hukuman yang pernah kami terima semasa sekolah dulu. Saya pernah diceples dengan penggaris kayu yang lumayan besar dan panjang waktu kelas dua SD dulu. Seingat saya waktu itu tengah bercanda tentang sesuatu dengan teman sebangku dan Bu Guru yang tak tengah menerangkan menganggap kami nakal karena tak memperhatikan penjelasannya. Alhasil beliau mengayunkan penggaris kayu tersebut dan mendarat di lengan atas saya. Sakit sih sebenarnya tak terlalu sakit, tapi perasaan malu lebih mendominasi. Pada masa itu saya bukan termasuk siswa yang bandel. Nilai saya pun cukup bagus dan ada di jajaran peringkat atas kelas. Sementara diceples Bu Guru bukan hal yang biasa bagi saya. Rasanya itu pertama kali dan sakitnya tak seluar biasa malunya. Pun saya sadar bahwa itu kesalahan saya. Sampai detik ini saya tak pernah menceritakan peristiwa itu pada orangtua saya. Kini saya mengenangnya sambil tersenyum-senyum, bertanya dalam hati apa kabarmu Bu Guru.

Lalu ada lagi kasus cubit-mencubit itu, kata teman saya kali ini Pak Guru mencubit siswanya yang tak patuh. Konon si anak mengadu pada bapaknya yang notabene aparat dan mulailah kasus bergulir. Si bapak yang tak terima dengan perlakuan sang guru pada anaknya mengadukannya ke Polisi. Alhasil Pak Guru pencubit harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di ruang pengadilan. Selanjutnya yang saya tahu ada gerakan perlawanan dan solidaritas dari sesama guru terhadap si Pak Guru. Saya cuma memantau sekilas kasus dan  gerakan itu di sosial media. Dan karena sedang malas baca koran maka saya juga tak berusaha mencari detail beritanya.

Ada apa dengan siswa itu? Begitu tanya teman saya. Alih-alih menjawabnya, saya malah ikut bertanya : ada apa dengan para orangtua murid itu? Lalu kami sama-sama mengendikkan bahu dan kembali bernostalgia soal hukuman-hukuman yang saat kami sekolah dulu terasa wajar saja diterima sebagai balasan atas kesalahan. Berdiri di depan kelas selama jam pelajaran atau malah dikeluarkan sekalian, lari mengelilingi lapangan, push up sekian kali, jeweran di telinga, dilempar kapur tulis, dan sejenisnya. Pada jaman itu ada juga guru yang terkenal dengan hukuman tempeleng, dan memang terjadi, tapi kami siswa cenderung berusaha untuk sedapat mungkin menghindari berbuat salah terhadap beliau.

Jadi ada apa dengan siswa saat ini? Dan ada apa dengan orangtua jaman sekarang? Kali ini kami nyaris serempak mengendikkan bahu tanda tak tahu. Lalu teman ngobrol saya ini merunduk, merendahkan suara, dan bertanya apakah saya tahu kabar soal kabar adanya transaksi terkait bangku siswa saat tahun ajaran baru. Bukannya itu bukan kabar baru, balas saya. Menurutnya memang sepertinya bukan hal baru, cuma cara prakteknya sepertinya menyesuaikan kondisi dan perkembangan jaman. Bersama kami tertawa tapi dengan getir. Berdasarkan kabar burung yang dia dengar, seorang teman kami membayar sepuluh juta rupiah demi menyediakan bangku di SMU bagi anaknya yang secara nilai tak tertolong. Benar itu, tanya saya. Dia mengendikkan bahu, begitu berdasarkan kabar burung yang dia dengar. Soal benar dan tidaknya ya siapa juga yang tahu wong praktek seperti itu pasti hanya pihak yang terlibat yang persis tahu. Kalaupun diungkap pasti juga penyangkalannya bakal luar biasa. Dan kabarnya jenis bangku yang seperti itu jumlahnya banyak juga karena tes masuk yang lebih dari satu cara itu leluasa diatur oleh pihak sekolah dan dinas terkait.

Lagi-lagi kami bernostalgia, kali ini tentang cara masuk sekolah dulu. Masa itu ada NEM alias Nilai Ebtanas Murni yang merupakan hasil ujian akhir yang diselenggarakan secara nasional. Ujian ini diikuti oleh semua siswa yang duduk pada jenjang terakhir setiap tahapan sekolah. Dan sekolah di tahap selanjutnya menggunakan nilai ini untuk menyaring masuk murid barunya. Sederhana saja sistemnya. Calon siswa tinggal daftar ke sekolah baru dengan memperkirakan kecukupan nilai, lalu pihak sekolah meranking nilai yang masuk. Yang diterima tentu saja dari ranking pertama hingga sejumlah siswa yang diperlukan. Karena sederhana caranya maka pada masa itu kami tak pernah melibatkan orangtua untuk urusan daftar mendaftar. Waktu lulus SD dulu pendaftaran ke SMP dikoordinir oleh guru SD, jadi saya tinggal menyetor data kepada Bu Guru sesuai SMP yang saya tuju. Setelah melakukan proses pendaftaran beliau membagikan nomor dan bukti pendaftarannya. Selanjutnya saya tinggal melihat pengumuman di SMP dan melakukan proses daftar ulang sendiri. Sedang pas lulus SMP saya melakukan proses pendaftaran ke SMA secara mandiri, bareng dengan teman-teman yang pilihan SMA-nya sama. Proses seleksi sama saja, menggunakan NEM dan diranking. Jadi daftar sekolah yang diantar-antar orangtua hanya saya alami waktu masuk TK dan SD saja. Beda jauh kan dengan saat ini yang begitu banyak melibatkan orangtua murid?

Tapi saat itu soal bangku yang bisa dibeli kayaknya sudah ada, kata teman saya mengingatkan. Dia sepertinya benar karena jaman itu saya juga menjumpai teman-teman yang setahu saya NEM-nya tak mencukupi tapi akhirnya bisa masuk juga. Waktu itu di antara kami berbisik-bisik mereka yang seperti ini masuk lewat pintu belakang. Ada juga yang caranya dengan terlebih dahulu masuk ke sekolah  rayon di bawahnya barang beberapa bulan atau paling lama satu semester, kemudian pindah ke sekolah rayon utama. Jadi statusnya murid pindahan. Kabar burungnya praktek seperti ini juga melibatkan rupiah. Tapi untuk membuktikan kebenarannya ya embuhlah ....

Karena menyinggung soal NEM teman saya jadi teringat kabar burung soal nyontek bersama masa maraknya UN tempo hari. Saya juga mendengar kabar itu, juga sempat membaca soal murid yang dikucilkan di lingkungannya gegara sang murid pintar ini menolak memberikan contekan pada rekan-rekan seruangannya pada saat UN. Dan seingat saya tak hanya rekan sesama siswa yang protes akan ‘kepelitan’ itu, pihak keluarga teman-temannya itu juga turut tak terima. Makanya si murid pintar dan keluarganya dikucilkan di daerah mereka tinggal. Nah lho, jadi ruwet kan masalahnya? Nilai moralnya juga jadi terbalik-balik.

Lagi teman saya mengusik dengan kabar burung bahwa pihak sekolah merestui soal nyontek bersama itu. Kabar burungnya malah mereka terlibat aktif dengan menyediakan kunci jawaban demi tetap mendapatkan murid di tahun ajaran berikutnya. Sebab kalau satu saja ada yang tak lulus UN maka reputasi sekolah bakal tercoreng dan susah mendapatkan murid baru. Tapi itu kabar burung lhooo, buru-buru teman saya menambahkan. Artinya tentu saja tak ada bukti yang mengesahkannya menjadi sebuah kebenaran.

Setelah diam sejenak teman saya kembali membuka mulut. Katanya kok sepertinya sekarang masalahnya tambah banyak ya. Dan semua pihak rasanya bermasalah, timpal saya. Ada murid dan orangtuanya yang tak sepakat dengan cara pendidikan di sekolah yang tampak mengorbankan guru dan menimbulkan reaksi solidaritas rekan sejawatnya. Tapi di sisi lain ada juga kabar burung tentang praktek yang tak seharusnya dilakukan oleh pihak sekolah. Ya memang masih kabar burung sih, belum jelas burung mana yang menyebarkan kabar. Tapi apakah burung juga keisengan dan begitu kurang kerjaan sehingga menyebarkan kabar khayalan? Lha kalau kurang kerjaan mbok ya burung itu terbang plesir kemana gitu ..... hehehehehe.

Ada untungnya juga ternyata belum punya anak jaman sekarang, begitu komentar akhir dari teman saya sebelum dia pamit pulang. Ya, belum punya anak membuat saya dan dia sama-sama tak repot soal pendidikan. Tapi tak urung semua kabar burung tadi membuat saya bertanya dalam hati ada apa dengan dunia pendidikan di negara ini. Entahlah.....

Eh, tapi ketika semua pihak terindikasi tak sempurna, bukankah berarti waktunya masing-masing untuk berkaca?

Selasa, 31 Mei 2016

Cuma Anak Biasa



Seorang teman bercerita soal mamanya yang dalam sehari itu jatuh dua kali. Kami, teman-temannya dalam grup percakapan, kontan bereaksi. Yang tinggal sekota dengannya menawarkan memanggilkan tukang pijat langganan. Sementara yang lain memberikan aneka macam saran, termasuk mengukur tekanan darahnya dan membawa ke dokter sesegera mungkin. Dan ketika dia menuruti dengan memanggil dokter dan hasilnya adalah sang mama terkena gejala stroke akibat hipertensi, maka aneka saran pun bermunculan kembali. Ada yang menyarankan menggunakan garam khusus untuk penderita hipertensi. Yang lain menyarankan agar dia ketat memonitor sang Mama soal asupan obat dan makanan. Yang lain menawarkan alternatif obat herbal sebagai pendamping yang telah diresepkan dokter. Lainnya menyarankan alternatif akupuntur. Lainnya lagi menyarankan dia siap dengan peralatan standar untuk mengecek tensi, kadar gula, kolesterol, dan asam urat, lengkap dengan informasi merk alat dan harganya. Dan saat dia bilang tak menemukan garam khusus yang disebutkan, seorang teman dengan sigap menyanggupi membelaikan dan mengirimkannya lewat jasa kurir.

Saat yang lain teman yang lain lagi mengunggah foto dalam grup. Katanya dengan nada bercanda itu foto terapis akupuntur mama mertuanya. Sang terapis disebutnya cantik mirip artis Korea. Agenda acaranya beberapa hari itu padat dengan mengurusi sang mama mertua; mulai dari menungguinya bergantian dengan suaminya, membawa kontrol ke dokter dan konsultasi ke psikiater, dan terapi akupuntur tadi. selang beberapa lama dia mengunggah foto kedua, tampak sang mama mertua tengah tidur di jok samping pengemudi. Katanya dia sedang menunggu kedatangan suaminya yang akan membawa beliau pulang, sementara dia harus terus ke satu tempat untuk urusan memenuhi stock tokonya.

Lain waktu seorang teman bercerita bahwa dia harus bersitegang dengan atasannya soal pengambilan cuti. Dia sudah jauh-jauh hari berencana membawa ibunya pergi umroh. Membawa disini tentu saja termasuk membiayai. Dan tak tanggung-tanggung, dia bersedia membayar mahal demi mendapatkan fasilitas kelas satu untuk ibunya. Ketika saya tanya kenapa tidak ambil paket yang sedang-sedang saja harganya, jawabnya demi kenyamanan sang ibu yang baru pertama kali ini keluar negeri dan jarang naik pesawat. Tak hanya itu, dia juga mempersiapkan aneka kebutuhan pendamping lain, seperti mukena, koper, sampai kaos kaki. Halangannya cuma satu : cuti yang mundur-mundur akibat ketatnya target yang ditentukan pihak kantor. Sudah dua kali mundur, keluh teman saya, dia berharap yang perubahan jadwal ketiga ini benar-benar bisa dilakukan agar sang ibu tak jadi kecewa. Akhirnya berhasil juga di berangkat. Saya ikut bernafas lega. Kemudian ketika pulang teman saya bercerita bahwa dia terpaksa membawa PR pekerjaan dan mengerjakannya di sela-sela kegiatan umroh tersebut. Mestinya Allah mengerti dan memaafkan, katanya sambil nyengir. Sementara sang ibu begitu antusias bercerita pengalaman selama di sana kepada saya. Ketika tinggal berdua saja dengan saya, dia berbisik akan segera mulai menabung lagi agar bisa membawa beliau pergi haji. Lagi-lagi dia akan membayar yang kelas satu, demi kenyamanan ibunya.

Saat yang lain lagi seorang teman bercerita bahwa hampir tertidur di kantor pajak karena antri panjang demi mewakili sang bapak menyampaikan laporan pajak untuk pensiunan. Teman yang lain menimpali bahwa hari sebelumnya dia juga mengalami hal yang  persis sama. Lalu berbagilah mereka pengalaman soal pengurusan laporan pajak untuk pensiunan yang isiannya bisa dilakukan dengan mengakses website tertentu tapi ternyata pelaporannya belum bisa disampaikan lewat email. Alhasil mengantrilah mereka.



Cerita-cerita yang saya sampaikan di atas tentu hanya sedikit cerita kecil yang saya ketahui. Tentu masih ada banyak cerita-cerita kecil yang lain yang dilakukan mereka-mereka yang tidak saya kenal. Sebenarnya intinya hanyalah saya ingin mencontohkan bahwa disamping kenyataan banyaknya anak yang kurang ajar atau malah durhaka pada orangtuanya, masih ada anak-anak yang berusaha untuk tulus melakukan hal-hal kecil untuk orangtuanya. Mereka yang saya sebut di atas bukan anak-anak yang sempurna. Ada saatnya mereka bercerita tentang perdebatan dan selisih paham ini itu dengan orangtuanya. Kadang harus bersitegang juga. Tapi semuanya segera reda dan mereka kembali berusaha menjalankan perannya sebagai anak dari orang tua yang telah menjelang sepuh. Ya, mereka cuma anak biasa, mungkin belum cukup layak dilabeli anak yang berbakti.... Dan saya beruntung mengenal mereka, juga berkaca.  



















http://www.shutterstock.com/pic-381379189/stock-vector-mothers-day-daughter-or-granddaughter-with-mother-grandmother-march-postcard.html

Sabtu, 30 April 2016

PROFESI

Dua orang perempuan lewat di depan rumah saya di siang yang terik sambil meneriakkan jasa yang mereka tawarkan: memperbaiki kasur kapuk. Saya terpaksa menggeleng dan sekedar membalas senyum ketika mereka menawarkan jasanya. Masalahnya tak ada kasur kapuk di rumah saya saat ini. Adanya kasur busa dan yang berpegas. Diam-diam saya berdoa ada banyak orang lain yang masih berkasur kapuk yang membutuhkan jasa mereka, sambil berpikir jika saja mereka juga pintar memperbaiki kasur busa dan pegas tentu akan lebih mudah mendapatkan orderan.

Ah, saya jadi teringat satu artikel yang dimuat di surat kabar beberapa minggu lalu tentang profesi yang akan segera hilang karena ditelan kemajuan jaman termasuk kepesatan teknologi. Jujur saya lupa apa saja profesi yang disebutkan. Artikel yang masuk akal menurut saya. Toh, memang selalu ada yang surut dan akhirnya menghilang seiring dengan berjalannya waktu, segala hal mengalami itu, tak hanya soal profesi saja. Bahkan umur manusia pun termasuk di dalamnya. Karena itu saya berpikir mungkin akan lebih mudah bagi kedua perempuan yang lewat tadi jika mereka mengembangkan keahliannya ke jenis kasur yang lebih relevan dengan kondisi sekarang, sehingga pasar yang dijelajah akan lebih luas. Semoga mereka menyadari itu.

Kalau ada yang surut dan menghilang tentu ada yang mulai moncer dan kekinian. Itu hal yang sudah jadi hukum alam bahwa ada yang pergi maka akan ada yang datang menggantikan. Nah, untuk soal profesi ini apa yang datang? Saya pribadi menganggap pembuat video yang lalu mengunggahnya di laman khusus termasuk profesi yang baru datang. Membuat video sebenarnya bukan hal yang baru. Sudah puluhan tahun film dan video musik dikenal. Tapi yang telah dikenal lama itu adalah yang berupa kerja kolektif, butuh banyak modal, dan dipasarkan dengan sangat komersial. Sementara yang baru datang ini justru sebaliknya. Lihat saja video-video yang dibuat perorangan dengan alat yang seringkali seadanya, lalu diunggah di laman semisal Youtube. Lihat isi video-video itu, ada yang serius tapi tak sedikit yang isinya berguyon. Dan hebatnya itu mendatangkan uang bagi pengunggahnya, konon karena si video ditempeli iklan oleh produsen yang otomatis akan dilihat oleh pemirsanya. Yang diunggah di Instagram walau pendek saja tapi jika mendatangkan follower bisa membuat pemilik akun menjadi perpanjangan tangan produsen dalam hal beriklan atau istilahnya meng-endorse. Ujung-ujungnya balik ke uang lagi.

Fenomena di atas mungkin biasa bagi orang lain tapi mengagumkan saya. Saya kagum dengan terobosan itu. Kagum dengan kreatifitas dan kecerdikan mereka; entah siapa yang memulainya;  membuat apa yang tak ada menjadi ada. Pernah saya baca profil pelaku profesi ini di koran. Dan kebanyakan awalnya iseng-iseng saja. Lalu ternyata banyak yang menonton. Alhasil ditempeli iklan. Dan karena nilanya bisa untuk menopang hidup maka mereka tak lagi iseng dalam mengerjakannya. Jadi ada konsep dan cerita yang dipikirkan serius, juga jadwal tayang yang teratur. Konsekuensi yang masuk akal tentu saja.


Itu tentu bukan satu-satunya profesi baru yang muncul. Tapi yang satu ini yang cukup mengesankan bagi saya. Mungkin sudah saatnya siswa taman kanak-kanak tak lagi terjebak dengan dokter, insinyur, dan tentara ketika ditanya soal cita-citanya. Tapi mestinya perlu sebutan yang ringkas dan jelas untuk profesi baru ini sehingga mudah diucapkan oleh mulut-mulut kecil anak-anak itu.  

Minggu, 27 Maret 2016

Seplastik Beras

Satu siang kisaran seminggu lalu, saya mendatangi area parkir sebuah kantor yang sekaligus jadi area berinternet gratis, dengan maksud mencari seorang teman. Setelah celingak-celinguk di setiap meja orang yang saya cari tak ada. Padahal sebelum meluncur tadi saya sempat bertelepon dengan ibunya dan mendapat informasi dia sedang berinternet disitu. Mungkin masih dalam perjalanan, begitu pikir saya. Jadilah saya pergi dulu ke toko beras, membeli dua kantong beras titipan ibu saya. Dengan dua plastik beras di bagian pijakan kaki motor, saya kembali masuk ke area parkir kantor tersebut, kembali celingak-celinguk mencari wajah yang saya kenal. Hasilnya kembali nihil. Mungkin masih di perjalanan karena mampir terlebih dulu ke satu tempat, begitu pikir saya sambil memarkir motor dan duduk di bangku. Bangku dan motor cuma berjarak kisaran 2.5 meter saja. Sempat terpikir masuk ke ATM sembari menunggu tapi urung karena ingat mesin tersebut hanya menyediakan pecahan seratus ribuan sementara yang saya butuhkan lima puluh ribu saja. Tak sampai lima menit menunggu telepon saya bergetar, ibu teman saya mengabarkan bahwa ternyata anaknya tidak keluar rumah untuk berinternet. Tapi beliau juga tak tahu kemana. Akhirnya saya bertitip pesan kepada beliau agar memintanya menghubungi saya ketika sampai di rumah nanti. Motor saya tunggangi kembali dan keluar dari area parkir tersebut. Satpam menatap dengan pandangan agak aneh begitu saya melewatinya. Maaf Pak, saya memang tak bermaksud ngenet, makanya nggak bawa piranti kayak yang lainnya, jadi nggak perlu heran deh.

Tujuan berikutnya adalah ATM di pelataran bank. Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat pertama. Jadi sebentar saja sudah sampai. Dan hal yang mengejutkan saat memarkir motor di depan deretan mesin ATM itu adalah beras saya tinggal satu plastik saja. Kaget dan tak mempercayai pandangan mata sendiri membuat saya membolak-balik sekantong beras itu. Memang tinggal satu adanya. Berarti hilang satu. Dimana hilangnya? Saya yakin sekali keluar dari toko beras tadi mengangkut dua kantong plastik. Yakin karena keduanya membuat kaki saya susah mendapatkan pijakan. Yakin karena sebelum masuk ke area ngenet tadi saya sempat melihat lagi dua plastik beras dengan sedikit malu karena di saat yang lain menggendong laptop dengan bangga eh saya malah membawa masuk beras. Berarti hilangnya di pelataran ngenet tadi. Lha kapan? Berarti pas motor terparkir, berjarak kisaran 2.5 meter dari bangku yang saya duduki tadi. Lha kok bisa kan dekat sekali? Lha embuh! Perhatian saya memang teralihkan ketika menerima telepon. Tapi tak lama, beberapa menit saja. Dan banyak orang di area tersebut walau mereka sibuk dengan piranti masing-masing. Sebagian malah ada yang duduknya menghadap ke arah saya. Berarti mereka mestinya tahu ketika seseorang mengangkut sekantong beras dari motor yang saya parkir. Ya, seharusnya mereka tahu.

Jelas saya jengkel sekali dengan kejadian itu. Ke ATM yang seharusnya hanya untuk mengambil uang demi keperluan mengirim paket akhirnya mesti bertambah jumlahnya untuk mengganti beras yang hilang tadi. Padahal saya sedang memberlakukan kebijakan uang ketat terhadap diri saya sendiri. Tapi mau apalagi? Toh, berasnya sudah kadung melayang, sementara tak mungkin memberikan kepada ibu saya sekantong saja sambil berkata yang sekantong hilang. Dengan dongkol saya kembali ke toko, membeli seplastik lagi,  lalu menyerahkannya kepada ibu saya tanpa cerita tentang seplastik lain yang baru saja raib.

Kenapa beras saya hilang? Apakah saya telah teledor dalam hal menjaganya? Lha kan motor juga cuma 2.5 meter dari bangku? Apa ya harus saya duduk sambil ngerangkul dua plastik beras? Jujur jengkel sekali. Dan nyaris saya menyumpahi si pengambil. Satu hal yang menahan mulut dan hati untuk melakukannya adalah kesadaran bahwa yang hilang itu adalah beras. Ya, beras yang makanan pokok itu. Sebegitu laparkah dia hingga tak tahan untuk tidak mengambil beras saya? Sangat laparkah? Pikiran itu membuat amarah reda. Saya jadi berpikir beruntung sekali bisa makan kenyang dua kali sehari tanpa mencuri walau harus memberlakukan kebijakan uang ketat pada diri sendiri akibat tabungan yang lagi setipis kertas. Jadi ingat cerita teman dua hari sebelumnya. Katanya desanya mulai rusuh. Mulai marak pencurian dan barang yang dicuri adalah yang praktis-praktis semacam unggas. Teman saya yang juga peternak sudah mengalami itu. Masih kata teman saya, yang seperti ini bisa jadi mengindikasikan satu hal, banyak orang lapar alias kondisi perekonomian sedang susah.


Ya ya ya, saya pun merasakan kondisi sedang tak terlalu baik. Dan saya tak hendak membuat sentimen politik tehadap si A si B. Males banget mikirin yang begitu. Yang penting tetap berdoa dan berusaha. Dan untuk siapapun yang mengambil seplastik beras itu, saya ikhlas untuk berdoa semoga itu cukup mengenyangkan. Tak ada marah saya untuknya walau sempat jengkel setengah mati. Teman lain mengusik dengan pertanyaan bagaimana kalau si pengambil bukan orang yang kelaparan. Ehmmmm....  kalau sampai beras saja diambil pasti dia lapar, mungkin bentuk laparnya saja yang bisa beda-beda.  

Senin, 29 Februari 2016

Ibu-Ibu Matic

Seorang teman mengirim foto dan saya langsung tertawa dan tersindir sekaligus. Foto apakah itu? Foto  tersebut menggambarkan dua orang perempuan; mungkin ibu-ibu; sedang berkendara sepeda motor dengan arah lurus tapi lampu sign keduanya menyala, satu ke kanan dan lainnya ke kiri. Di bagian bawah foto ada tulisan yang isinya kurang lebih seperti ini : hanya Tuhan dan dia seorang yang tahu kemana arah yang dituju. Foto ini kemudian mengundang komentar karena dikirimnya ke kelompok percakapan. Seorang teman sambil membenarkan teks di foto itu mengeluh bahwa jalan jadi runyam ketika ibu-ibu dengan motornya berkendara seenak udelnya. Masih menurutnya, urusan belok saja para ibu ini pada ga bener, mau lampu sign ke kanan tapi beloknya ke kiri dan sebaliknya. Terus giliran sudah benar lampu sign-nya eh lupa matiin, jadi nyala terus hingga ketemu belokan lainnya. Alhasil siapapun yang ada di belakangnya tertipu. Itu baru satu hal, masih banyak hal lainnya, seperti menyalip atau menyeberang seenaknya. Ntar ditegur malah melotot, timpal teman yang lain. Yang lain lagi menambahi bahwa pokoknya mengerikan berkendara bareng ibu-ibu seperti itu, runyam, riskan.

Sepeda motor matic. Ya, itu menurut saya asal muasalnya. Sepeda motor matic sungguh memberikan kemudahan untuk pengendaranya. Bagaimana ga mudah wong cara mengendarainya ga beda jauh dengan naik sepeda pancal. Cuma perlu mengatur keseimbangan dan beres sudah. Kendali ada di tangan. Beda dengan sepeda motor yang bergigi. Saking gampangnya semua jadi bisa mengendarainya, otomatis bertambahlah isi jalan. Lalu bagaimana dengan ketidakmampuan ibu-ibu itu berkendara dengan aman dan mengamankan pengendara lainnya? Ehmmm... yang ini entah apa penjelasannya. Yang pasti foto dan pernyataan teman-teman tersebut membuat saya berkaca. Yes, saya juga termasuk dalam kategori ibu-ibu pengendara motor itu. Dan jujur saja, saya juga kadang lupa mematikan lampu sign seusai membelok. Pernah juga saya diteriaki pengguna jalan yang lain karena dianggap salah. Pernah juga saya sadar telah melakukan kesalahan walau pengendara lain berbaik hati tak memaki. Yes, saya kadang termasuk dalam golongan tersebut. Lalu bagaimana? Ya perbaiki dirilah, toh ada di jalan memang prinsipnya tidak cuma menjaga keselamatan diri sendiri tapi juga harus menjaga keselamatan orang lain. Dan saya yakin ini bukan jenis keahlian yang hanya bisa dilakoni jender tertentu.


Eh tapi bener lho, sejak ini saya jadi seneng klo ada bapak-bapak belok tanpa pakai lampu sign atau motong jalan tanpa rasa berdosa... Hehehheehhe versi bapak-bapak matic bukan yaaaaa...? 



















gambar dipinjam dari http://www.istockphoto.com/vector/beautiful-cool-girl-riding-a-motorcycle-gm165680806-11034902

Minggu, 31 Januari 2016

Dia Tak Perlu Tahu

Namanya Pramudya. Di kantor ini dia biasa dipanggil Pram, Mas Pram, ataupun Pak Pram. Tentu saja tergantung siapa yang memanggil. Dan aku termasuk yang memanggilnya Pram aja. Sementara gadis-gadis itu termasuk yang memanggilnya Mas Pram. Ya, gadis-gadis di ruang administrasi dan logistik itu yang kumaksud. Mereka yang nyaris selalu manis terhadap si Mas Pram. Manisnya kadang melebihi manis terhadap yang lain. Termasuk kepadaku, bahkan kepada pak Bos Besar sekalipun. Ah, tapi siapa juga yang bisa tidak bersikap seperti itu padanya? Toh Pram memang seorang yang baik hati dan tidak sombong. Dia ramah dan sopan, tak pernah berkata kasar, pun ketika marah. Semua tahu jika marah dia akan berbicara dengan kalimat singkat-singkat tapi penuh tekanan lalu diam. Ini membuat lawan bicaranya segan sekaligus tahu keadaan. Dan marahnya juga tak pernah lama. Dengan segala kebaikan itu, dia masih punya kelebihan tampang. Komplit sudah. Jadilah dia Manager kesayangan.
Ya, dia kesayangan semua. Semua selalu peduli. Termasuk ketika dia jatuh cinta pada Reina dulu. Reina yang staf ekspor impor itu memang si cantik segar, bagai burung kutilang yang selalu berkicau dengan merdunya. Reina yang menyedot perhatian banyak lelaki. Dan Reina yang dengan riang dan ringan menikmati semua itu. Tanpa beban dia menyambut uluran tangan satu laki-laki sebelum kemudian berpindah ke yang lain. Hingga akhirnya mulai banyak bisik-bisik tak enak tentangnya. Cukup banyak bujangan di kantor saat itu. Yang aku tak mengerti adalah mengapa Reina mengabaikan Pram dan lebih memilih berkencan dengan yang lain terlebih dulu. Pram memang tak sevulgar yang lain dalam hal menunjukkan perhatiannya. Dia tak bisa menggoda di depan banyak orang. Itu bukan gaya Pram. Dia adalah si pemalu yang mengirimkan sinyal lewat pandangan yang berhenti beberapa detik lebih lama, lewat senyum tipis yang mudah terkembang ketika mereka berada dalam ruang yang sama. Seharusnya Reina mengerti itu. Tapi entah mengapa dia mengabaikannya. Dan baru membalas ketika semua mulai berbisik-bisik tentangnya. Dan pangeran yang nyaris sempurna itu tentu girang luar biasa dan tak peduli dengan gunjingan apapun.
Tak butuh waktu lama bagi Pram untuk membuat keputusan. Ketika semua sibuk bertaruh berapa lama Reina bertahan sebelum kembali melompat, Pram sudah melingkarkan cincin pertunangan ke jari Reina. Dan tak sampai tiga bulan kemudian undangan pernikahan telah tersebar. Heboh. Para gadis patah hati. Para bujangan tertawa getir. Semua memberi selamat. Tapi di balik itu tak sedikit yang menyayangkan dan memulai pertaruhan baru berapa lama mereka bertahan dalam satu pernikahan. Semua karena Reina yang dipilih. Terlalu banyak yang bilang itu pilihan salah. Pram terlalu cinta. Juga terlalu naif. Reina terlalu berjiwa bebas. Diam-diam aku sepakat. Tapi pernikahan tetap berlangsung. Reina tak lagi bekerja setelahnya.
Awalnya indah adanya. Ditandai dengan penampilan Pram yang jelas tampak lebih terawat. Ini sudah pasti pengaruh Reina. Pram jadi lebih rapi. Tak pernah telat bercukur ataupun potong rambut. Kemejanya juga jadi kenal warna, tak lagi melulu seputaran putih, biru, kelabu, dan hitam. Dia jadi tahu warna merah muda, kuning, hijau, juga ungu. Model celananya juga  up to date. Baunya lebih wangi, dengan aroma yang berganti-ganti. Dan yang paling penting adalah dia jadi rajin pulang sejam lebih cepat dari masa bujang dulu. Semua karena Reina tentu saja. Dan semua mata menyaksikan semua itu dengan cemburu, tapi tak bisa apa-apa. Toh di luar semua itu dia tetaplah Pram yang baik.
Itu tahun pertama. Menginjak tahun kedua mulai ada suara tentang mereka berdua. Entah dari mana sumbernya, tapi kabarnya Reina menolak untuk hamil. Sementara Pram sudah kepingin sekali punya bayi kecil mungil yang lucu. Dia sudah rindu dipanggil Ayah atau Bapak atau Papa. Orang mulai berbisik-bisik menyalahkan Reina, menudingnya terlalu cinta pada bentuk tubuhnya yang memang spesial sehingga tak rela kehamilan membuatnya berubah. Dan dalam satu acara plesir karyawan dan keluarga aku melihat dengan mataku sendiri bagaimana Pram yang baik itu gemar menggoda balita Pak Dahlan yang baru saja mampu berjalan, juga balita Cik Mei yang berkucir tinggi dan berpipi gembul. Sementara Reina tak tampak tertarik dengan itu dan asyik berkumpul dengan teman-teman lamanya. Ketika kugoda dia sudah pantas menggendong bocah macam itu, Pram cuma tersenyum getir. Aku jadi tak tega bertanya lebih dalam. Biarlah itu jadi urusan mereka berdua saja. Tak ada untungnya juga aku ikut merecoki. Tapi tak urung aku kasihan padanya.
Sekarang sudah masuk tahun keempat. Bajunya masih warna-warni. Celananya juga masih model terkini. Cukur dan potong rambut walau sesekali telat tapi tak memperburuk rupanya. Tapi ada yang jadi beda. Roman mukanya tak lagi secerah dulu serinya. Sering tampak berkabut. Sering tampak merenungi sesuatu dan menggeleng lemah ketika ditanya kenapa. Jelas dia sedang tak sepenuhnya bahagia. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang itu mulai berbisik-bisik, Pram dan Reina banyak bertengkar. Soal anak. Soal uang. Soal kekurangan masing-masing. Dan Pram jadi mulai lambat lagi meninggalkan kantor, mulai kembali ke kebiasaannya semasa bujang dulu. Seperti malam itu.
Kutemukan ruangannya masih menyala ketika aku hendak pulang. Dia tergeragap kaget saat kuketuk kaca pintunya.
“Masih memikirkan soal perubahan jadwal yang diminta si Javier tadi?” Javier adalah buyer yang kutangani. Bule gemblung itu suka sekali memaju-majukan jadwal pengiriman ordernya.
Senyumnya sekilas saja, entah apa artinya.
“Asal kau bisa sedikit memundurkan order EcoKane maka Javier tak akan jadi masalah. Terserah alasan apa yang akan kau suguhkan ke orang EcoKane. Atau aku akan membuat line baru khusus untuk Javier. Tapi kau harus pastikan dia segera turun order lagi setelah ini sesuai jumlah yang dijanjikannya. Jangan sampai kurang. Bagus kalau bisa lebih banyak. Jangan sampai line itu kekurangan pekerjaan.”
Suaranya jernih seperti biasa. Sudah ada solusi di kepalanya. Seharusnya tak ada masalah yang menahannya tetap duduk disana.
“Lalu?”
“Apa?”
“Lalu kenapa kau masih ada disini, itu maksudku.”
Dia mengusap wajahnya kuat-kuat, seperti sedang berusaha mengenyahkan semua yang menempel di sana.
“Sebentar lagi aku pulang.”
Entah kenapa aku bukannya pergi tapi malah duduk di kursi di depan mejanya, menatapi kedua matanya yang ternyata berkantong. Kemarin-kemarin rasanya tak ada kantong-kantong itu. Kini mata itu keruh. Aku jadi berpikir mungkin apa yang dibisikkan orang-orang itu benar, bahwa ada yang tidak seindah dulu. Ah, apakah mata Reina juga berkantong dan keruh seperti itu? Bagaimana jadinya rupanya? Masih cantikkah? Susah juga membayangkan karena Reina yang kutahu selalu sempurna.
“Kenapa kau tak segera menikah?”
Pertanyaannya datang tiba-tiba. Tapi aku tak kaget. Juga sudah terbiasa dengan pertanyaan macam itu. Pertanyaan yang bisa datang dari siapa saja ketika umur sudah melampaui angka tiga puluh enam. Bahkan dari seorang yang baik hati sepertinya.
“Belum ada yang cocok di hati. Dan aku juga belum cocok di hati perempuan manapun.”
Dia nyengir, seperti sedikit terhibur dengan jawaban kliseku.
“Memang yang bagaimana yang cocok untukmu?”
“Yang tidak bawel. Yang tidak penuntut. Yang tidak materialistis.”
“Ada yang seperti itu?”
Tahu-tahu kami tergelak bersama.
“Kau tak kepingin ada yang menunggumu di rumah? Ada yang mengurus keperluan hidupmu. Ada yang kau  hidupi. Ada yang menyandang namamu. Dan ada ada yang lain .....?”
Jika pertanyaan ini benar keluar dari hatinya maka aku bisa memastikan bisik-bisik di balik punggungnya itu salah belaka. Artinya hidupnya baik-baik saja. Artinya Reina yang cantik benar membahagiakannya. Artinya dia adalah Pram yang baik dan bahagia. Betapa sempurna dan indah hidupnya.
“Kau masih ingat hidupmu ketika bujang dulu, Pram?”
Dia mengerutkan kedua alisnya hingga bertaut.
“Ya, masa ketika kau bebas tidur dan bangun kapan saja kau mau. Bebas mengenakan baju apapun, bahkan ketika warna dan motifnya tabrak lari tak karuan. Tak ada yang mengomel walau seharian tak mandi sekalipun. Pulang kerja bebas mampir kemanapun yang kau mau. Bebas menghamburkan uangmu untuk gadget, buku, atau sekedar dongkrak mobil. Bebas menonton bola jam berapapun dan dimanapun kau mau. Yakin kau tak pernah kangen dengan masa itu?”
Tawanya kecil saja. Dia menudingku. Katanya, “Kau memang liberalis! Di matamu perempuan jadi seperti penjajah.”
“Tidak juga. Perempuan yang tepat pasti akan membahagiakan. Karena itu aku perlu yang tepat.”
“Tepat? Padahal tak ada yang sempurna........”
Tak ada yang sempurna. Siapa yang tak sempurna? Reina termasuk yang tak sempurna? Yang kutahu orang-orang menganggap dirinya tak cukup punya kekurangan sebagai laki-laki. Dan aku sepakat dengan mereka.
Selepas kalimat itu dia membereskan mejanya lalu mengajakku pergi. Kami tak berkata-kata lagi. Aku jadi tak punya alasan untuk mendetail apa yang tak sempurna tadi. Dia membunyikan klakson satu kali sebelum melajukan mobilnya.
Lalu kini mukanya tambah sering keruh. Lalu kabar baru mulai berhembus. Reina minta cerai. Pram mengabulkan. Tapi mestinya tak dengan hati ringan. Karena jika demikian mukanya tak akan sekeruh comberan. Mulutnya tetap terkunci. Tapi seperti biasa, bisik-bisik terus beredar seperti lebah yang tak bosan menggumam. Ada yang menghujat Reina tak tahu bersyukur, terus menuntut ini itu pada pangeran yang baik hati itu. Yang lain bercerita Pram memaksa ingin anak, tapi Reina tetap tak mau. Mulut yang lain lagi bilang Pram tak bisa lagi mengendalikan istrinya yang cantik jelita itu. Dan seperti biasa, mulut Pram tetap terkatup. Tak berusaha membuat mereka berhenti mendengung. Tak peduli apa yang mereka bisikan dan tinggal di kantor lebih lama. Lalu ketika tak juga ada penjelasan mulai ada saja yang kulihat berusaha mendekat padanya, para gadis di ruang administrasi dan logistik itu. Bahkan Yessi; janda manis, bagian akunting yang pendiam dan pemalu; juga ikut tertarik urun perhatian. Beberapa kali dengan sengaja dia mengambil tempat semeja dengan Pram saat makan siang, hal yang selama ini tak pernah dilakukannya. Bukti daya tarik Pram masih tak melemah. Tapi si magnet itu tetap keruh wajahnya, tetap terkunci rapat mulutnya, juga tak merespon apa-apa. Kurasa hatinya terkunci masih pada Reina.
Sudah lebih dari jam tujuh malam ketika aku lewat ruangannya. Sebenarnya aku tak hendak mampir tapi dia melambaikan tangannya, memanggilku masuk.
“Kau pulang sekarang?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku numpang ya? Mobilku ada di bengkel.”
Hal yang tak biasa, tapi biar saja. Toh, tak ada ruginya mengangkut dia walau sampai rumahnya sekalipun. Aku malah senang. Sepanjang jalan dia lebih banyak bisu. Kalaupun bicara cuma pendek-pendek saja. Lalu terus-terusan menatap ke luar lewat kaca samping. Kubiarkan saja dia begitu, kadang orang perlu waktu untuk merenung.
“Kau tak ada janji dengan kekasihmu malam ini?”
Hehh, kekasih ....?! Pertanyaan yang mengejutkan. Karena isinya, juga karena terlontar setelah bermenit-menit mulutnya diam.
“Tak ada. Kenapa?”
“Makan dulu, yuk? Aku lapar sekali.“
“Boleh. Makan apa?”
Katanya apa saja. Ah, mereka yang sedang berkabung memang biasanya tak punya cukup selera untuk memilih makanan. Kubawa dia ke sop kaki kambing langgananku. Kupikir uap panasnya bisa membantu sedikit menghangatkan hatinya.
“Mau?”
Dia mengangguk, lalu pelan-pelan duduk di salah satu bangku.
“Reina juga suka makan disini.”
            Aku jadi menyesal. Seharusnya aku membawanya ke tempat lain. Mukanya sendu ketika meniup-niup kuah di sendoknya. Mungkin dia juga tengah berusaha meniup pergi kenangan Reina pernah duduk di satu bangku disitu.
            “Bagaimana kabarnya?”
            “Siapa?”
            “Reina.”
Kuusahakan sehati-hati mungkin menyebut nama itu. Aku berjanji tak akan mengulangi pertanyaanku jika dia tutup mulut. Tapi ternyata setelah menghela nafas dia menjawab.
            “Dia di rumah orangtuanya sekarang. Kau sudah dengar soal kami, kan? Aku tahu orang-orang membicarakanku.”
            “Jadi benar berita itu?”
            Dia mengangguk sambil menyingkirkan mangkuk sopnya ke samping; sisa separuh. Begitu juga nasinya.
            “Kenapa?”
            “Aku juga tak cukup mengerti..... Kupikir aku tak bodoh. Tapi dalam hal ini aku bodoh sekali.”
            Wajahnya memang tampak tolol dan lelah. Dia bukan si pintar yang biasanya.
            “Terus bagaimana?”
            Dia mengendikkan bahunya, membayar makanan kami, lalu mengajakku beranjak. Kupikir saatnya aku antar dia pulang. Tapi ternyata tidak. Malam ini sungguh dia mengejutkan. Tak dinyana dia minta ditemani ke klab. Hal yang tak pernah kubayangkan. Katanya dia kepingin minum sedikit. Kubawa dia ke hotel. Dan aku takjub melihatnya meneguk cairan itu. Meneguknya lagi, lagi, dan lagi. Lalu dengan badan bersandar di sofa dia mulai bicara. Matanya tertutup.
            “Susah sekali mengertinya .... Selalu ada yang tak betul...... Apa perempuan semua begitu?”
            Aku tak tahu. Aku tak punya pengalaman.
            “Perempuan itu aneh sekali ....”
            “Aneh bagaimana?”
            Jawabannya berupa gumaman, tapi aku masih bisa menangkap jelas.
            “Padaku dia bilang belum siap punya anak. Katanya nanti saja ketika rumah sudah lebih besar dan kita tak lagi banyak bertengkar. Tapi sekarang dia minta cerai karena ada anak laki-laki itu di perutnya. Dia sungguh menghinaku! Padahal aku mencintainya setengah mati......”
            Aku diam karena kaget. Dia juga diam, mungkin karena tambah mabuk. Tak ada lagi kata-kata dari mulutnya. Kubiarkan begitu lebih dari sejam. Lalu kupapah dia keluar.
            “Kepalaku pusing,” keluhnya di dalam mobil.
            “Kau mabuk.”
            Tanpa meminta persetujuannya, kubawa dia ke tempatku. Dia muntah-muntah di kamar mandi sebelum akhirnya lelap di kasurku.
            Pagi dia bangun dengan kusut dan awut-awut, menghampiriku di meja makan.
            “Untung kau membawaku kesini. Rumahku kosong.”
            Persis seperti yang kuduga. Kusorongkan kopi panas untuknya. Juga roti dan selai.
            “Cuma ada itu untuk sarapan.”
            “Tak apa. Maaf, aku merepotkanmu semalam.”
            “Tak masalah. Aku juga mabuk kadang-kadang.”
            “Aku mengoceh apa saja?”
            “Cuma soal Reina minta cerai darimu. Kau banyak bergumam, aku tak bisa jelas mendengar.” Kuputuskan sedikit berbohong. Dia bukan tipikal yang gampang menceritakan masalahnya. Pasti dia tak bermaksud mengungkap soal kehamilan Reina. Pasti itu aib yang ingin dia tutup rapat. Aib yang menyangkut harga dirinya sebagai laki-laki.
            Dia mengangguk. “Begitulah ...”
            “Terus?”
            “Biarlah, kuberikan saja apa maunya. Tak ada yang perlu dipertahankan.” Matanya mengamati sekeliling. “Rumahmu rapi sekali. Kau membersihkannya sendiri?”
            Aku mengerti itu sebuah pengalihan pembicaraan.
            “Ya. Aku tinggal sendiri. Juga jarang ada tamu. Jadi gampang membersihkannya.”
            Dia menatap arlojinya. Setengah jam lagi kami harus berangkat ke kantor.
            “Mandilah. Pakai kemejaku. Ambil sendiri di almari. Rasanya ukuran kita tak jauh beda. Pakai celanaku kalau kau mau. Ada satu yang masih baru dan belum pernah kupakai. Masih ada labelnya menempel.”
            Diteliti badannya. “Aku pinjam kemeja saja. Celana tak usah, masih bisa pakai ini.”
            “Ada handuk bersih rak itu. Juga sikat gigi baru.”
            Keluar dari kamar mandi, lagi dia mengeluh kepalanya sakit. Juga loyo. Kutawarkan obat pusing. Tapi dia menggeleng, meneguk sisa kopinya, mengambil lagi selembar roti.
            “Bagaimana kalau aku agak siang saja ke kantornya?”
            “Terserah kau. Nanti kusampaikan kau sedang tak enak badan.”
            “Aku tiduran dulu disini tidak apa-apa ya?”
            Tentu aku tak keberatan.
Jadilah aku berangkat sendiri. Katanya nanti dia akan memanggil taksi. Seandainya tak ada janji factory visit dengan Chester Hogan pasti aku temani dia leyeh-leyeh di rumah.
            Sepanjang hari itu aku menikmati hangat hatiku. Dan lebih hangat lagi melihatnya datang dengan kemejaku, putih bergaris biru. Standar sekali warna pilihannya. Dia menekuk lengannya hingga sesiku, mungkin karena kepanjangan. Ketika menjabat tangan Chester, kulihat wajahnya sedikit lebih cerah. Pasti efek tidur tambahan tadi, di kasurku.
            Sore hampir gelap. Dia masuk ke ruanganku.
            “Terima kasih untuk semalam. Aku kacau akhir-akhir ini. Jungkir balik rasanya.”
            “Tak apa. Aku pernah jauh lebih mabuk darimu.”
            “Ehmm.... apapun yang kau dengar dariku semalam tolong simpan untukmu saja.”
            “Ya. Aku mengerti itu urusan pribadimu.”
            Dia bangkit dari kursi, mencangklongkan tas ke bahunya.
            “Kau pulang sekarang?”
            “Ya. Kepingin tidur awal.”
            “Mau menumpang lagi? Aku tinggal menunggu satu e-mail keluar dari outbox-ku.”
            Dia menggeleng. “Terima kasih. Tapi tadi siang orang bengkel sudah mengantar mobilku kemari. Lagipula, aku takut akan memaksamu ke klab kalau menumpang lagi.” Dia mencoba bercanda.
            “Tak apa, asal kau masih betah tidur di rumah bujanganku.”
Senyumnya terkembang cukup lebar. “Kapan-kapan kalau perlu aku akan menumpang kau lagi. Asal kau tak kapok saja.”
            Dia mungkin sudah melaju dalam mobilnya di jalan sana sekarang. Tapi aku masih duduk, mengingat, dan melihatnya jelas di pikiranku. Dia yang kupapah. Dia yang tidur bergelung di kasurku, memeluk erat gulingku. Dia yang mereguk kopi buatanku dari mugku, dan mengunyah roti di meja makanku. Dia yang menyeka badannya dengan handukku, lalu mengenakan kemejaku...... Ya, memang cuma itu, tapi sungguh sekelumit yang menyenangkan. Sungguh menghangatkan hati. Seperti sebuah kado indah yang tiba-tiba saja kudapatkan setelah sekian lama menata sikap terhadapnya. Ah, tapi dia tak perlu tahu .....


***