Saya baru menyadari satu hal beberapa waktu yang lalu bahwa saya sebenarnya
adalah penghuni surga. Iya, penghuni surga! Besar kemungkinan juga bahwa
sebenarnya saya adalah bidadari.... ahahhahaha....
Soal bidadari rasanya emang ada banyak keraguan. Tapi saya sungguh serius
soal surga. Ya, tanah yang saya pijak saat ini sesungguhnya adalah surga. Ingat
lagu Koes Plus yang liriknya berbunyi antara lain ‘orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman’? Sebelumnya saya menganggap
lagu itu ya sekedar lagu saja, sekedar ekspresi dari seniman yang mencintai
tanah airnya. Tapi sejak beberapa hari yang lalu saya berubah pikiran, lagu itu
benar adanya. Satu buku yang sudah terbeli bertahun-tahun yang lalu tapi tak
kunjung usai membacanya (bahkan sampai hari ini buku itu belum selesai
terbaca), memberikan satu kesadaran pada saya. Buku itu sebenarnya bercerita
soal meletusnya gunung Krakatau pada hari Senin 27 Agustus 1883 yang sungguh
menghebohkan, sekaligus memberi pengaruh terhadap cuaca hingga ke benua biru
sana. Di bagian depan buku itu diceritakan tentang pulau-pulau yang kaya akan
komoditas alam yang di Eropa bernilai sangat tinggi. Komoditas yang membuat
bangsa Eropa mantap menyabung nyawa mengarungi samudera berbekal peta navigasi
yang minim. Awalnya bangsa Portugis dan Spanyol yang dianggap sebagai paling
mumpuni dalam hal mengarungi samudera. Portugis khususnya pada masa itu
dianggap punya data navigasi paling lengkap soal perjalanan ke Timur. Bahkan Cornelis
De Houtman sempat ‘berguru’ dua tahun di Lisbon sebelum akhirnya memulai
ekspedisinya dengan bendera Belanda. Dan menarik sekali karena apa yang
dilakukan oleh De Houtman di Lisbon sebenarnya adalah aksi intelijen untuk
mendapatkan data-data navigasi Portugis. Setelah itu secara gradual peta
kekuatan soal mengarungi samudera seakan bergeser karena munculnya
pemain-pemain baru seperti Belanda dan Inggris. Nah, komoditas apa yang begitu
diburu itu? Yes, rempah-rempah. Komoditas yang melimpah ruah di kepulauan
Nusantara; saking melimpahnya sampai harganya murah; dan sangat berharga serta didewakan
oleh bangsa benua biru. Dan ketika bangsa asing itu harus bertarung dengan
kematian demi mendapatkan si rempah-rempah, sebaliknya penghuni surga yang
notabene ‘pemilik’ komoditas dewa hidup nyaman bermandi hangat sinar matahari
sepanjang tahun. Secara pribadi saya beranggapan bangsa Eropa akhirnya menjajah
karena tak tahan iri akan segala kenikmatan itu.
Ya, begitulah surga ini memberikan begitu banyak kepada penghuninya. Mungkin
lebih tepatnya alam memanjakan penghuninya. Tak hanya dulu, tapi juga sekarang
seharusnya. Lihat saja, ketika bangsa lain harus menderita kedinginan selama
paling tidak tiga bulan dalam setahun, maka para bidadari dan penghuni surga
ini tak perlu mengalaminya, malah dianugerahi musim-musim lain seperti musim
mangga, duren, rambutan, bahkan musim kawin pun ada.... hihihihihiihi.... Dan ketika bangsa lain tak
punya cukup sumber energi sehingga harus ‘merampas’ dari yang lain, maka di
surga justru banyak pilihannya. Mau minyak bumi, batubara, gas alam, panas
bumi, dan entah apalagi. Ketika bangsa lain diberikan sumber minyak bumi tapi
disunat sumber airnya dan dibuat gersang tanahnya, eh di surga disediakan
semuanya tanpa ada penyunatan. Ketika bangsa lain harus mengkerut dan pucat
kulitnya karena tak habis dikelilingi es batu, eh penghuni surga bisa dengan
alami tampil kinyis-kinyis dengan warna kulit yang eksotis. Ketika bangsa lain
kekurangan sumber daya manusia, eh di surga tak ada sepinya seliweran
penghuninya. Nah, kurang apa coba? Mau emas tinggal kerok. Mau ikan tinggal
pancing. Mau kayu tinggal renggut. Mau air tinggal ciduk. Pokoknya semuanya
adaaaaa....
Sungguh pemikiran iki membuat saya melihat sekeliling. Inilah surga itu
saat ini. Rempah-rempah tentu masih ada, bahkan di pawon ibu saya pun tersedia.
Tapi surga ini terasa tak lagi sesuai gambaran seharusanya. Air masih tinggal
ciduk, tapi seringkali jumlahnya terlalu berlimpah hingga jadi dinamai banjir. Tanah
masih tentu masih bertuah untuk ditanami, tapi ada saatnya dia melongsorkan
dirinya. Sumber energi masih ada, tapi pengelolaannya penuh skandal. Emas juga
masih tinggal keruk, hanya pertanyaannya siapa yang mengeruk? Kayu masih ada,
tapi ya gitu deh saking rakusnya yang mau sampai pohon terlambat tumbuh. Sumber
daya manusia masih tak pernah kurang, tapi ya gitu, umek dengan kepentingan
sendiri..... Ah, terlalu banyak untuk dirinci....
Dengan segala kenyataan itu apa masih bener saya ini penghuni surga,
sementara surganya sendiri sudah susah untuk diidentifikasi kesurgaannya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar