Minggu, 26 Desember 2010

Novel Karya Saya

Tahu apa yang saya lakukan ketika orang lain merayakan Natal tahun ini? Ehmmmm ... saya mencoba menulis ulang draft novel yang pernah saya buat beberapa tahun yang lalu. Saya menulis novel? Hehhehe ...iya, i did it .... Malah sebenarnya saya pernah menulis novel; jika layak disebut begitu; sebanyak dua judul dan masing-masing sepanjang sekitar seratus halaman. Tidak menyangka ya? Sama, saya juga tidak menyangka ... ahahahhahaha.....

Sebenarnya saya senang menulis sejak dulu, sejak SD. Waktu itu jika teman-teman saya kesulitan di pelajaran mengarang, maka bagi saya pelajaran menyanyi lebih menyulitkan saya. Sangat menyulitkan malah .... Seorang teman pernah bertanya bagaimana saya bisa menulis kalimat-kalimat itu. Saya bilang saya cuma menulis apa yang ingin saya katakan. Lalu suatu saat seorang guru mengirim saya untuk ikut lomba mengarang sekecamatan. Dan saya keluar jadi juara kedua kalau tak salah.

Jadi apakah saya hebat soal tulis menulis? Ohhhhhhhhhhh nooooooooooooooooooo ..... jauhhhhhhhhhhhhhhhhh .... hheheheheheh .... Cuma tetap saja saya suka menulis cerita, sebagai rentetan kesukaan akan membaca cerita.

Nahhhhh ..... soal menulis novel begini ceritanya. Suatu hari sebuah cerpen saya dimuat oleh sebuah majalah wanita ibukota. Waktu itu sebenarnya maksudnya ikut sayembara menulis cerpen yang sedang diadakan oleh majalah tersebut. Tapi katanya cerpen saya layak dimuat walau tidak menang. Jadilah itu pertama kali saya melihat nama saya terpampang di sebuah media. Lalu apakah saya jadi lebih rajin menulis? Ehmmmmm tidak .... heehhhe ..... saya berangan-angan menjadi penulis tapi kenyataannya saya adalah seorang karyawan kantor yang berkutat mengurus ini itu dari jam delapan pagi sampai lima sore bahkan sering lebih. Jadi saya jauh dari produktif soal tulis menulis. Tapi kegiatan membaca jalan terus. Karena itu ketika muncul istilah sastra wangi di kancah sastra Indonesia saya ikut ngeh alias agak paham. Dan jujur mereka-mereka membuat saya latah ikut mencoba membuat novel. Dannnnnnnn baru saya rasakan betapa susahnya menulis panjang .......

Novel pertama jadi. Saya lupa berapa lama saya menulisnya. Awalnya waktu itu buat karena pengen ikut sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Ehmmmmm cita-cita yang tinggi .... karena waktu itu saya bermimpi untuk jadi the next Ayu Utami .... hahahahhahahaha ..... Tapi ternyata di akhir saya menyerah. Karena jumlah minimum halamannya belum tercapai sementara kepala saya sudah kering ..... hehhehehehehe .... Lalu saya edarkan draft novel itu ke beberapa teman kantor. Yaaaa ada sih yang bilang cukup bagus .... hehheheheheheh .... duh duh duhhhh .....

Lalu setelah jeda sekitar setahun saya mencoba lagi. Seingat saya motivasinya masih tetap, yaitu ikut sayembara Dewan Kesenian Jakarta. Waktu itu saya berpikir lebih realistis. Saya pasti jauh dari kualitas juara, tapi dengan ikut berpartisipasi paling tidak saya bisa membuat nama-nama terkenal yang bertindak sebagai juri itu lebih sibuk karena harus membaca satu novel tak berkualitas milik saya ... dan saya bisa sedikit sombong dengan mengaku novel saya pernah dibaca oleh si ini lhoooo .... hehhehehhe .... Tapi ujung-ujungnya saya urung mengirimkannya. Terlalu malu ......

Nah novel kedua inilah yang beberapa hari yang lalu menyusup ke kepala saya dan saya baca ulang. Ehmmmm ... saya kok jadi narsis dengan jatuh cinta pada bagian-bagian tertentu dari tulisan saya ya ..... hehehehehheeh ..... Maka berpikirlah saya untuk menulis ulang novel tersebut. Selanjutnya? Ehmmmm ... kita lihat saja nanti .....

Senin, 08 November 2010

melancoly mood ......

jika kutemukan kau di ujung sana suatu hari nanti, kan kutanyakan padamu apa yang membuat waktu tertunda begitu lama, hingga seakan mengkelukan segala dan menunggu menjadi selamanya .....
kuharap jawabanmu adalah sekulum senyum yang boleh kusentuh dengan ujung telunjukku
kuadukan padamu bahwa detik dan menit adalah persekongkolan kental yang sangat enggan beranjak lalu... kaki mereka beku ... sementara aku meranggas getas dalam rindu ...

jika kau temukan aku di ujung sana suatu hari nanti, pertanyaan apa yang kau punya untukku?

Senin, 25 Oktober 2010

Sebuah Percakapan ....

Tempo hari saya sedang jalan-jalan sendiri di sebuah mal ketika tiba-tiba kuping saya menangkap sebuah pembicaraan. Pembicaraan antara ibu dan anak sebenarnya. Sang ibu yang rasanya sekitar pertengahan tigapuluhan dan sedang menggendong balita putih bersih. Sedangkan anaknya yang berjalan di sampingnya berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Kedua eh ketiga anak beranak itu tampilannya modis, dan terlihat dari kalangan mana berasal. Ehmmm ya, mal yang saya kunjungi itu memang terkenal sebagai mal yang masuk kelas atas di Surabaya. Jadi yang datang kesitu juga mestinya dari golongan kelas tsb. Ehmmmm kecuali saya barangkali ..... hehehheehe sebab saya datang bukan dengan maksud untuk mengeluarkan uang, tapi untuk menukarkan poin kartu kredit yang terkumpul akibat pembelanjaan yang dilakukan oleh teman saya. Nahhhh jelas kan maksud dan tujuan saya ke situ? Kalau buat mengeluarkan uang di situ sih ehmmmmmm rasanya saya malas .... sebab di tempat lain dengan nominal yang sama bisa dapat lebih banyak barang. Ada harga, ada kualitas. Demikian teman saya selalu berujar. Iya benar sih .... cuma saya males kalau kualitas itu diidentikkan selalu dengan merk terkenal. Saya kan berniat beli barangnya, bukan merknya ..... Begitcuuuuuuuu ..... Kata teman saya,"karena niat beli barangnya, atau tak cukup kuat bayarnya?" Ehmmmmm .... pertanyaan yang susah untuk dijawab .... ahahahahahaha...

Okay, balik ke masalah percakapan anak beranak tadi. Si ibu berkata pada anakknya seperti ini ,"Lihat itu yang ada kertas merah-merahnya! Kan ada tulisan 50%. Berarti itu Mama hanya akan bayar setengah dari harga barang sebenarnya. Murah kan? Nah, kita cari yang seperti itu." Ehmmmm...jelas kuping saya bereaksi karena kalimat itu dan sontak otak saya memberikan perintah untuk menoleh kepada mereka. Saya lihat si gadis kecil memandang ibunya lalu mengangguk mengerti dan mulai mengikuti ibunya menghampiri kapstok-kapstok baju perempuan. Sementara saya berjalan dengan setengah tercenung karena percakapan itu.

Ehmmm.... jujur saya sendiri heran kenapa tertarik dengan percakapan itu. Mungkin karena semasa kecil dulu tak pernah mempunyai percakapan semacam itu dengan ibu saya. Berapa banyak ibu-ibu yang mengajari anaknya seperti itu? Entahlah .... Perlukah seorang anak diajari seperti itu? Entahlah .... Saya tak sedang berbicara soal benar atau salah mengenai hal ini yang saya tak tahu. Cuma bagi saya rasanya percakapan seperti itu kontekstual. Sebab di kota seperti Surabaya, rasanya mal merupakan tempat rekreasi dengan rating tinggi. Saya yakin semua umur bisa ditemukan dalam sebuah mal. Coba lihat saja mulai dari bayi yang masih dalam kandungan, atau yang belum bisa berjalan, sampai mereka yang sudah renta, bisa ditemukan di mal. Bahkan saya pernah bertemu dengan mereka yang konon kurang sehat jiwanya di beberapa mal.

Nah kalau misal sedang rekreasi ke pantai dan seorang ayah mengajar berenang anaknya, maka kontekstual kan ketika seorang ibu yang sedang mengajak anaknya berjalan-jalan di mal mengajarkan cara berbelanja? Bukankah sebuah hal yang bijak jika seorang ibu mengajarkan cara berbelanja agar kelak si anak tidak konsumtif misalnya? Toh sebenarnya sama saja dengan ketika sedang bermain di taman seorang anak diajari naik sepeda atau main layang-layang? Iya kan? Ehmmm ..... sungguh saya jadi merindukan tanah lapang dengan pohon-pohon yang teduh, atau petak luas taman bermain, atau apalah dimana manusia bisa berkegiatan santai. Yaaaa semacam taman-taman kota yang biasanya terlihat di film-film Hollywood. Mungkin kalau banyak tempat seperti itu maka mal akan lebih lengang..... Bayangkan jika dalam sebuah kota semacam Surabaya terdapat sebuah taman seperti Central Park ... ehmmmmmm ... mimpi kali yeeeee .....

Kamis, 21 Oktober 2010

Drakula, Vampir , Whatever ....


Vampir. Drakula. Ehmmmm .... saya jujur sangat tak suka dengan makhluk ini. Mungkin tak suka bukan kata yang tepat sebenarnya. tapi kata takut juga ga kalah tidak tepatnya. Sebab walau memang takut tapi rasanya tidak takut-takut amat. Awal takutnya karena dulu waktu SD awal-awal; sekitar kelas 3; pernah nonton film Indonesia yang lakonnya soal drakula. Kalau tidak salah judulnya Untung Ada Saya. Kalau tidak salah lhooooo ..... maafkan kalau saya salah. Nah di film tersebut tokoh drakulanya sebenarnya berkostum standard yaitu kemeja putih, dasi hitam kupu-kupu (kalau tidak salah), pantalon hitam, dan jubah hitam. Cuma entah mengapa saya ngeri dengan jubah hitam yang bagian leher dalamnya berwarna merah itu. Ditambah 'pupur mbeluk' dan taring di wajah .... ehmmmmm benar-benar kala itu berhari-hari tidur saya terganggu. Sejak itu saya mencanangkan satu hal : film tentang drakula adalah film yang tidak layak tonton!

Itu tadi ketika saya masih kecil. Sekarang drakula atau vampir ini tak lagi sangat menakutkan. Walaupun tetap tidak menjadi tema film favorit saya. Sekarang saya bisa menonton sang drakula dengan 'santai'. Eh tapi tidak juga, karena setiap menonton Bram Stroker's Dracula saya selalu siap dengan bantal di tangan dan harus dalam ruangan yang terang benderang. Sejauh ini rasanya cuma Bram stroker's Dracula yang masih agak menakutkan. Dan film ini pula satu-satunya film drakula yang saya cintai. Suasana gelap dan berkabut yang terus-menerus hampir di sepanjang film memang menakutkan saya. Tapi sungguh film itu indah sekali. Artistik. Jika diberikan pilihan Titanic atau film ini, maka saya tak akan berpikir panjang untuk memilih yang kedua.

Sejauh ini sepanjang ingatan saya cuma Bram Stroker's Darcula yang mampu menakuti saya. Tapi jika dibandingkan film Indonesia yang tonton di masa kecil itu, Bram Stroker's Fracula tak cukup menakutkan. Karena tidak memberikan efek 'tinggal' di benak saya. Kenapa? Ehmmm .... mungkin karena saya menonton keduanya di masa yang berbeda. Yang satu pas saya masih imut-imut, sedangkan yang satunya lagi pas saya sudah jadi 'amit-amit' ... hehehehehe .... Atau berarti orang kita lebih pintar daripada bule dalam hal menakut-nakuti? Atau saya tidak lagi merasa takut karena memang menolak dan tak pernah menonton film horor? Hhehhehehee .... sepertinya alasan ini yang sungguh tepat. Karena saya memang tak pernah mau menonton film horor. Wong bayar kok ditakut-takuti, dikaget-kagetin, ya maleslah ..... Itu prinsip saya ..... Paling banter film semacam Interview With The Vampire yang saya masih bersedia bayar. Yang lainnya ... ehmmmm no way!

Nahhhh akhir-akhir ini rasanya tema drakula alias vampir kembali jadi tren lagi. Buku dan film yang mengusung makhluk ini jadi booming sekali. Jujur saya heran karena ternyata sambutannya luar biasa juga. Mungkin cuma saya yang tidak terprovokasi ... Ya bagaimana lagi wong namanya juga enggak ngefans. Walau tidak membeli bukunya tapi saya ikut nonton filmnya kok..... Tapi yang gratisan alias hasil unduhan teman saya. Nahhhhh ceritanya nih teman saya mengunduh True Blood entah berapa episode. Saya langsung ikut menonton. Setelah beberapa menit keluarlah nada protes dari mulut saya, "Kok filmnya gelap-gelapan terus sih? Kalau tidak adegan malam hari, ya di ruang gelap.... ". Mata teman saya membola. Lalu dia jelaskan bahwa itu adalah film tentang manusia dan vampir yang hidup sebumi, sekota..... Halahhh pantas gelap semua ..... Dan saya tidak tahan lama-lama menontonnya. Bukan karena takut, cuma tidak cukup menarik saja bagi saya. Tak peduli apakah itu benar film populer di belahan bumi bule sana, yang pasti saya lebih memilih melakukan hal lain daripada menontonnya.

Kalau True Blood saya lihat satu episode dan tak lengkap, film hasil rekaan cerita Stephenie Meyer mungkin lebih beruntung. Karena saya menonton dua sekuelnya secara lengkap..... walau masih dari hasil unduhan alias tetap enggan membayar bioskop ...hiihihih ..... Dan tidak menakutkan. Malah membuat saya meringis tertawa. Kenapa? Ehmmm karena si Edward Cullen yang dari sononya pasti sudah putih nian itu terus diputihkan lagi wajahnya dengan riasan. Dan kalau begitu banyak kaum hawa histeris melihatnya, ehhh saya malah merasa geli melihat bule putih berbedak .... Sumpah, bule putih bedakan itulah kesan yang tertinggal di benak saya. Dan hampir selalu begitu. Dulu waktu menonton Interview With The Vampire, saya juga sempat tertawa karena disitu Tom Cruise dan Brad Pitt terlihat seperti dua orang dengan bedak berlebih di wajah masing-masing .... hehheheeh lha wong sudah putih kok masih bedakan tho mas...? hhhehehehhehhe....

Oh iya, tempo hari setelah menonton Edward Cullen, saya menulis soal bule berbedak lebih di status facebook saya .... Dan hasilnya seorang teman yang mengaku fans berat dari film itu langsung menyatakan protes ... hehehheheheh.... Ya maaflah yawww .. bukan penggemar drakula atau vampir nih ... So, nonton film yang lain saja yuk ..

Minggu, 19 September 2010

Lebaran :D

Lebaran. Ehmmmmm .... kalau dengar kata itu rasanya banyak hal terlintas di benak saya. Satu yang paling cepat muncul adalah mudik. Iya ga? Jujur sebenarnya saya agak-agak 'gimana' dengan tradisi yang satu ini. Saya sendiri juga melakukannya karena saya adalah penghuni kos. Jadi kalau tidak mudik waktu lebaran ehmmmmm bakal jadi satpam untuk rumah ibu kos. Dan jujur juga neh, bahwa saya selalu merasa tak nyaman begitu menemui begitu banyak manusia di terminal dengan segala macam bawaannya. Saya mesti berebut untuk bisa masuk ke dalam lebih dahulu dari orang lain demi sebuah kursi. Dan namanya juga rebutan, jadi pastilah ada insiden dorong-mendorong dan seringkali orang melakukan segala cara untuk jadi pemenang. Termasuk di dalamnya menyikut, mendorong, dan mendesak saya ... hehehheeheheh ..... Sialnya saya tidak punya badan yang cukup besar untuk membalasnya. Lagipula saya kok merasa tidak enak hati untuk membalas perlakuan itu. Bukannya sok baik hati, cuma tidak sudi memancing keributan di suasana yang dari sononya sudah ribut ini. Paling banter yang saya lakukan adalah melotot sambil protes.

Nah begitu sudah berhasil dapat kursi dan bis berjalan tak berarti perjalanan menjadi nyaman. Ada macet akibat jutaan manusia tumplek blek di jalan. Dan tidak semua dari mereka berhati-hati dan disiplin dalam berkendara dan memakai jalan raya. Ada mobil yang bergoyang dombret, mungkin sopirnya sedang lelah tapi tetap memaksakan diri karena perjalanan belum selesai. Ada pengendara motor yang tidak cuma mengajak banyak nyawa sekaligus, tapi juga berlagak seperti punya nyawa rangkap. Ada penumpang yang menyetop bis, memaksa naik kendati jelas seluruh kursi sudah terisi. Dan sialnya awak bisnya juga menerima karena itu berarti rupiah. Yang terakhir ini selalu membuat saya sangat-sangat jengkel. Tidak hanya pada awak bisnya tapi juga pada penumpangnya. Saya merasa awak bis tidak memperlakukan penumpang tsb dengan adil. Si penumpang membayar penuh, tapi tak mendapatkan kursi yang seharusnya menjadi haknya. Mereka harus berdiri atau duduk di atas box mesin yang pasti panas rasanya. Dan sebalnya si penumpang rela-rela saja. Pada mudik lebaran tahun ini saya mendapati seorang ibu yang memaksa naik dan rela berdiri di dalam bis Patas yang saya tumpangi. Dan sungguh saya sebal pada ibu itu karena dia membawa balita yang tentu saja tak akan kuat berdiri di dalam bis yang berjalan. Herannya si ibu tidak menggendong atau seharusnya paling tidak memegangi balita tsb. Saya yang semula berniat menampung si balita di kursi saya jadi sangat sebal dan menunda menolong si balita. Jahat ya? Maaf, tapi sungguh saya jengkel dengan perilaku si ibu. Saya menunda untuk memberi waktu si ibu dan awak bis sadar akan apa yang sudah dilakukannya. Sepertinya si kondektur menyadarinya, terbukti kemudian dia memberikan sebuah cushion agar si ibu bisa duduk di lantai bagian depan bis sambil memangku si balita. Tapi muka saya sudah kadung masam ..... hehehehehhhhe...

Pasti cerita saya di atas cuma sebagian kecil dari insiden waktu lebaran. Sebab masih ada bis ekonomi dan kereta api yang mengangkut penumpangnya dengan cara yang kurang manusiawi. Untung si penumpang lagi merasa butuh jadi terpaksa rela-rela saja diperlakukan seperti itu. Seorang teman dengan sabar berkata,”ya ini kan dalam rangka lebaran ....ya dinikmati saja deh.” Arggggg ..... apa hubungan lebaran dengan perlakuan kurang manusiawi coba?! Teman saya cuma senyum-senyum. Sebagai perantau yang tinggal di ibukota dan selalu mudik waktu lebaran dia mengaku menganggap segala tetek bengek itu sebagai seninya mudik lebaran. Dan dia mengaku bisa menikmatinya. Ehmmmmm ..... entahlah. Saya jadi curiga barangkali cuma saya yang menggerundel untuk masalah ini ....... Toh seorang teman kantor selesai mudik ke ibukota yang menjadi kampung halamannya terbukti dengan bangga menunjukkan kepada saya rekaman perjalanannya. Di ponselnya saya bisa melihat bagaimana istri dan tiga orang anaknya tidur di bangku dan lantai kereta ekonomi ..... Saya cuma bisa meneguk ludah ketika dia berkilah, “Ya mampunya naik itu, Mbak. Jadi ya dinikmati saja.”

Lebaran. Ehmmmmmm .... bagi saya waktunya makan enak di rumah orang tua. Dan semua yang disediakan oleh ibu saya terasa lebih enak karena dinikmati setelah sebulan berpuasa. Jadi lebaran adalah saat balas dendam .... hehehheehhee .... Jujur ini! Saya termasuk golongan orang-orang yang memakan apapun yang tampak saat lebaran. Beruntung ibu saya selalu memasak sesuatu yang istimewa saat lebaran, tidak saja untuk menjamu tamu yang datang, tapi juga untuk anaknya yang 'kelaparan' ini. Alhasil, saya bisa makan enak dari malam takbiran sampai sebelum balik ke kos...... alhamdulillah ..... Menunya bisa macam-macam, seperti opor, kare, gulai, sop buntut, rendang, ayam bakar, gurami bakar, bakso solo, bali, rawon ..... dan lain-lain .... Dan begitu kembali ke kos ada saja teman yang berkomentar, “ Wah pipimu berisi tuh...” hhheheeehhehe .......

Ahhhhhh lebaran ..... Kemarin seorang teman kantor yang lain mengeluh tak punya uang sementara tanggal gajian masih jauh. Ehmmmm .... katanya hal yang tidak disukainya pas lebaran adalah budaya konsumtifnya. Beli baju barulah. Belanja kue, minuman, dan makananlah. Seorang teman yang mendengar keluhannya menyanggah dengan bilang, “Ah kan cuma setahun sekali... tak apalah sekali-sekali konsumtif. Angpaonya anggap saja shodaqoh.” Yang disanggah tetap sedih mukanya ... hhehehehehe.... Ahhh saya jadi teringat satu hal. Angpao. Ehmmmm ini satu hal yang ditunggu-tunggu banyak anak Indonesia saat lebaran. Bahkan keponakan saya yang belum paham benar pecahan mata uang pun selalu kegirangan ketika mendapatkan angpao dari siapa saja. Dulu ketika masih sangat kecil begitu terima angpao dia akan selalu 'menyetorkannya' pada ibunya. Sekarang dia sudah punya dompet sendiri untuk menyumpannya. Dan lucunya ketika saya tanya berapa uang yang didapatnya, dia tidak bisa menjawab karena memang belum tahu soal uang. Paling-paling dia akan mengeluarkan uang-uang itu dan meminta si ibu untuk menghitungnya ... hheheheheehe ....

Lebaran , lebaran ..... ehmmmmm kayaknya lebaran dan liburan tak jauh beda ya .... dan memang itulah yang terjadi... paling tidak walau banyak orang mengeluh harus bekerja ekstra karena sang PRT yang biasanya bertindak sebagai asisten sedang pulang kampung, tapi lebaran tetap saja liburan buat saya. Sebenarnya sebelum libur dimulai saya berniat mengerjakan beberapa pekerjaan kantor selama libur lebaran dan sudah siap menggendong laptop saya ke kampung halaman. Tapiiiiiiiii ehehehehhe otak saya sulit sekali diajak bekerja sama waktu liburan .... apalagi ada keponakan-keponkan yang menyenangkan untuk diajak bergulat ..... Jadi ...ehehehehehe maaf .....

Lebaran ... lebaran .... ehmmmm .... minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin yaaaa.....

Jumat, 03 September 2010

Iklan Favorit

Seorang teman pernah bilang bahwa jika televisi sudah mulai dibanjiri tayangan iklan sirup itu tandanya bulan Ramadhan segera datang. Rasanya teman saya benar. Iklan sirup segala rupa yang tampak begitu nikmat (walau sebenarnya ya begitu-begitu saja rasanya) wara-wiri lebih sering menjelang, selama, dan setelah Ramadhan. Demikian juga dengan iklan obat mag, kue, dan suplemen. Ehmmm jujur kadang itu menjadi godaan bagi saya di siang hari ketika tengah kehausan ... hehehheheeh ....

Sebagai penikmat iklan, saya selalu senang ketika ada event besar di depan mata. Sebab banyak perusahaan membuat iklan baru dengan tema yang sesuai event tersebut. Dan ini menurut saya bukan cuma sekedar tontonan jeda yang menyenangkan. Sering saya membayangkan kesibukan di balik tayangan iklan tersebut. Tidak cuma dalam hal pembuatannya, tapi juga soal penggalian ide. Pasti hal yang jauh dari sederhana. Dan sungguh saya sangat tertarik dengan dunia itu. Saking tertariknya saya pernah mengirimkan lamaran menjadi copywriter lho .... ahhaahhaha ... padahal asli saya tidak punya bekal apapun dalam bidang itu. Alhasil ditolak lamaran saya tak terdengar kabar beritanya sampai sekarang ...ahahahaha....

Balik ke soal iklannya. Di bulan Ramadhan tahun ini ada satu iklan yang saya sangat suka. Materi gambarnya sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi kontennya yang menurut saya menyentuh. Sebenarnya sembari mengetik tulisan ini saya berusaha mengingat-ingat nama produk atau perusahaannya. Tapi sayangnya kok ya belum ingat. Begini deh ... itu iklan bercerita soal ketulusan. Jadi ceritanya ada seorang ekeskutif muda, sebutlah seperti itu, akan ke masjid untuk acara berbuka puasa bersama. Pas hujan, dia tak ada payung. Jadi dipanggilah seorang anak yang menyewakan payungnya. Dan terjadilah tawar-menawar. Si anak minta 3 ribu untuk jasanya, si eksekutif muda menawar dengan gigih untuk jadi 2 ribu. Akhirnya si anak dengan penuh senyum setuju dengan angka 2 ribu. Jadilah dia riang berhujan-hujan dengan kaos Del Piero-nya mengiringi si eksekutif muda berpayung menuju masjid. Nah pas sampai di masjid dan giliran membayar jasa yang 2 ribu itu, si eksekutif muda merogoh-rogoh semua sakunya dan ternyata dompet tak ditemukan alias tertinggal di kantor. Dan si Del Piero memaklumi itu dengan wajah yang tetap penuh dengan senyum dan berkata,”Lain kali saja deh, Pak.” Lalu berlalu tanpa sakit hati, sementara si eksekutif muda berdiri masygul.

Sungguh saya jatuh cinta dengan iklan itu. Tanpa gambar dan trik yang spektakuler, dia berhasil menohok saya. Saya benar-benar suka senyum polos si anak, juga dari awal (sejak pertama kali lihat) sudah jengkel dengan ketegaan si eksekutif muda yang menawar harga jasa yang cuma 3 ribu perak itu. Setiap kali melihatnya, saya selalu berpikir betapa malu dan menyesalnya jika kita berada di posisi si eksekutif muda. Apalagi melihat wajah polos penuh senyum si anak yang tak marah ketika jasanya ditawar dan tetap riang-riang saja ketika ternyata klien yang tadi sudah gigih menawar ternyata tak sanggup membayar sesuai kesepakatan. Ehmmmmmm ..... entah mengapa saya selalu ikut malu dan menyesal bersama si eksekutif muda setiap kali menonton iklan tersebut. Juga diam-diam berdoa semoga tidak pernah mengalami hal itu. Atau kalau toh ditakdirkan mengalaminya, saya berharap saat itu orang seperti anak itulah yang saya hadapi ..... eehehhehehehehe ... pengen aman maksudnya ...

Jadi, itulah iklan favorit saya Ramadhan ini. Cuma sayangnya, sampai saya selesai menulis ini, tak juga saya ingat produk atau perusahaan yang membuatnya ..... Tapi walau tak ingat begitu tetap saja dua jempol tangan dan dua jempol kaki saya acungkan buat iklan tsb .... i love it ..........

Rabu, 25 Agustus 2010

Hutang

Seorang teman menjengkelkan saya akhir-akhir ini. Kenapa? Karena beberapa kali menghubungi saya lewat telepon dan urusannya cuma satu yaitu mau meminjam uang alias berhutang pada saya. Dan saya jengkel sekali karena setiap kali dia menelepon dengan tujuan itu, saat itu pula saya dalam kondisi tidak punya uang. Nah ... jengkel kannnnn ...? Tenang pembaca, bukan karena saya sok dermawan sehingga merasa jengkel ketika teman saya meminta pinjaman uang saat saya dalam kondisi bokek. Sama sekali bukan itu masalahnya. Saya cuma selalu mempertimbangkan rasa malu yang harus dia tanggung ketika meminta diberi pinjaman. Dan rasa malu itu harus sia-sia karena saya yang bokek tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan.

Hutang. Seorang teman selalu bilang bahwa manusia tidak luput dari dua hal, yaitu dosa dan hutang. Ehmmmmm... soal dosa rasanya pasti karena toh manusia tak pernah luput dari yang namanya salah. Dan soal hutang rasanya ada benarnya juga, karena toh konglomerat yang dari luarnya terlihat kaya raya ternyata juga mempunyai hutang. Tapi tentu tidak semua manusia di muka bumi ini tak luput dari hutang. Seorang teman yang saya kenal sungguh tampak tenang dan damai hidupnya tanpa hutang. Dannnnnn seorang teman yang lain merasa kurang tantangan ketika hutang-hutangnya lunas .... hehheheh.... Karena itu walau tidak selalu tapi mengaku membuat hutang yang baru setelah yang lama lunas. Tapi ya itu tadi, dia menekankan kata 'tidak selalu' dan bentuk hutang yang biasanya diambilnya adalah membeli sesuatu barang (terutama elektronik karena dia cukup gila dengan yang satu itu) secara mencicil.

Kapan pertama kali mengenal yang namanya hutang? Kalau saya sebenarnya semasa SMP pun rasanya sudah mengenal hutang, yaitu hutang kecil-kecilan. Jadi misal pas di sekolah ternyata perlu fotocopy tapi uang saku tidak cukup. Nahhh berhutanglah saya pada teman lain yang uang sakunya lebih banyak. Kalau hutang besar, seingat saya baru saya kenal semasa SMA. Waktu itu bapak saya sakit dan harus opname di rumah sakit. Uang yang dibawa ibu ternyata tidak cukup. Begitu pula cadangan uang di rumah. Tabungan? Ehmmmm .... masa itu orang tua harus membiayai dua kakak yang kuliah sehingga tabungan juga tak bisa diandalkan. Jadi ibu yang bingung memandatkan kepada saya dan seorang kakak untuk mencari pinjaman. Sebagai pemegang mandat yang belum punya pengalaman berhutang besar tentu saja kami bingung bagaimana melaksanakannya. Akhirnya kami sepakat untuk mendatangi teman sekantor bapak dengan pertimbangan beliau tampak lebih kaya. Dan ternyata perhitungan meleset. Kami ditolak dengan alasan beliau juga sedang tidak ada uang. Jadi kami memutar otak untuk mencari 'sasaran' selanjutnya. Akhirnya kami putuskan untuk mendatangi seorang tetangga yang sesuku dengan bapak saya. Kali ini pertimbangannya adalah kesukuan, bukan kekayaan ... hehehehe mengandalkan ikatan emosional maksudnyaaaaaaa .... Dan ternyata yang ini jitu, alias kami berhasil mendapatkan hutang. Jadi, wahai pencari hutang, datangilah mereka yang lebih kaya atau mereka yang punya ikatan emosional dengan kita .... hahahahahaha..... Jujur kejadian itu tidak hanya membekas di otak saja, tapi membuat saya selalu berhitung masak-masak ketika menentukan 'mangsa' sebab bagaimanapun saya selalu merasa malu dan lebih malu lagi ketika ditolak. Benar kan? Karena itulah saya selalu jengkel ketika tidak bisa memberikan pinjaman kepada mereka yang datang pada saya. Bagi saya menolaknya sama dengan menambah beban malu yang sudah ditanggungnya sejak awal.

Eh iya, saya punya pengalaman buruk soal hutang ini. Seorang teman, sebut saja A berkirim pesan singkat yang isinya meminta pinjaman uang untuk bayi yang baru dilahirkannya. Si bayi mengalami kondisi yang kurang normal sehingga perlu perawatan khusus yang notabene tentu berarti biaya ekstra. Dan sialnya saya juga sedang mencari hutangan. Tak tega menolak mentah-mentah, maka saya berupaya meminta pinjaman dari teman lain; sebut saja B; yang juga mengenal A. Sialnya, walaupun dua unsur pokok sudah terpenuhi (lebih kaya dan punya ikatan emosional), permintaan saya tsb ditolak oleh B. Dengan alasan, takut tak kembali karena toh pinjaman A ke saya sebelumnya juga belum terlunasi. Ya sudah, mau apa lagi, toh B berhak melindungi uang yang diperoleh dengan keringatnya. Terpaksa saya bilang ke A tak bisa menolongnya kali ini. A tentu tak marah. Namun hati saya hancur ketika sekitar tiga hari kemudian sebuah pesan singkat datang mengabarkan si bayi meninggal dunia. Saya merasa sangat bersalah. Sejak itu saya selalu ketakutan jika ada yang datang meminjam uang dengan alasan kesehatan.......

Nah, sejak merasa kebutuhan akan berhutang bisa datang kapan saja, saya merasa senang jika mendengar kabar kesuksesan orang-orang yang saya kenal. Tentu ada rasa iri. Tapi saya punya cara jitu untuk memupus rasa iri itu, yaitu dengan berpikir ah berarti paling tidak saya tahu siapa yang bisa dituju ketika perlu berhutang. Setelah itu biasanya hati saya tak terlalu iri lagi ...... ahahahhahahahaha

Soooooooooo ..... berapa sisa hutangmu yang belum terbayar hari ini? Ehmmm jangan lupa hitung juga hutang puasa Ramadhan yaaaaaa...... sebab sama seperti hutang uang, hutang puasa juga mesti dibayar ...hehehhehehe

Kamis, 15 Juli 2010

Jauh di Mata, Dekat di Hati (baca : Handphone)

Handphone..... ehmmmm ini salah satu produk teknologi yang menurut saya sangat revolusioner ... Revolusioner dalam artian mampu mempengaruhi bahkan mengubah gaya dan cara hidup manusia. Dulu sebelum ada yang namanya handphone hubungan jarak jauh antar manusia saya rasa tidak seintens sekarang. Dan kita pun lebih gampang 'bersembunyi'. Sekarang .... ehmmmm susahnya 'bersembunyi' dari yang namanya panggilan telepon. Sebab semua orang sudah membangun akses langsung pada dirinya dengan yang namanya handphone. Jadi sebenarnya secara sengaja kita membuka area pribadi. SECARA SENGAJA. Jadi bagi saya tidak sepenuhnya tepat jika dibilang handphone mendobrak area privat. Karena bukankah kita sendiri yang dengan sadar membeli handphone dengan alasan kebutuhan?

Nahhhhhhh handphone dan internet menurut saya produk teknologi yang membuat orang lebih suka berhubungan dengan mereka yang jauh dari pada dengan mereka yang ada di sampingnya. Benar tidak? Pokoknya menurut saya benar.... hehheheheh ... Ya bagaimana tidak, wong ketika duduk di bis saya lebih asyik bertukar SMS dengan teman saya ketimbang menyapa orang di sebelah saya. Penumpang yang lain juga asyik masyuk dengan handphone-nya, entah itu untuk chatting, telepon, mendengarkan musik, atau ber-SMS seperti saya. Tempo hari ketika duduk di ruang tunggu dokter, sahabat saya juga lebih memilih chatting melalui Blackberry dengan teman-temannya yang nun jauh disana ketimbang bercakap dengan saya yang persis di sebelahnya. Di kesempatan yang lain saya juga lebih suka membuka yahoo messenger dan mengobrol ngalor ngidul dengan teman-teman di belahan bumi yang lain ketimbang bertandang ke teman kos yang ada di sebelah kamar saya. Dan adalah satu pemandangan yang sangat jamak bahwa saya dan teman duduk bersebelahan; cuma berjarak paling jauh 30 centimeter; tanpa bercakap, hanya fokus ke layar monitor kami masing-masing. Ironisnya saat itu masing-masing kami sedang bertukar cerita dengan orang-orang yang 'maya' dan saling mengabaikan yang 'riil' yang tepat di sebelah. Ahhhh satu lagi, sebelum tidur saya rela-rela saja mengobrol dengan seorang teman yang beratus kilometer jauhnya dari saya. Padahal selama ini saya selalu menolak punya teman sekamar. Padahal kalau punya teman sekamar kan ngobrolnya tidak perlu pakai keluar uang pulsa.....

Seorang sahabat bilang Blackberry membuatnya autis. Maksudnya, dia jadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya ketika di tangannya ada perangkat canggih itu. Sebab dia bakal langsung sibuk dengannya. Berarti lebih enak berhubungan dengan orang yang jauh dari kita? Untuk pertanyaan ini sahabat saya tidak bisa memberikan jawaban pasti. Dia bilang kebetulan teman-teman akrab tempat berbagi cerita umumnya ada di luar kota. Tapi kemudian dia mengaku bahwa sebagian besar dari teman ngobrol itu didapatnya dari internet dan sebagian belum pernah bertemu muka. Nah kannnnnnnn ..... Berarti berhubungan dengan yang jauh lebih menyenangkan dari pada dengan yang ada di dekat?

Never talk to stranger. Begitu kata bule. Cuma sebenarnya menurut saya ungkapan ini tidak terlalu mengakar di kebiasaan kita. Seorang teman bule malah pernah bilang orang Indonesia itu cenderung bersikap siap menolong ketika ada orang asing di lingkungannya. Atau mungkin karena dia orang asing dalam arti yang sebenarnya sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya berusaha bersikap manis ya? Hehehheheheh .... negative thinking nehhhhh .... Maaf ..... Sooooo .... sebenarnya kenapa jadi ada kecenderungan lebih suka berasyik-asyik dengan yang jauh? Kalau dibilang karena 'never talk to stranger' toh sudah dipatahkan dengan pendapat teman bule saya tadi kan ......

Ehmmmm .... perkembangan teknologi memang seperti pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, sisi lain bisa merugikan. Jadi apakah kecenderungan jadi intens berhubungan dengan yang jauh-jauh ini sisi merugikan? Ehmmmm ... mungkin tidak bisa serigid itu ya. Salah satu alasannya saya ambil dari kalimat yang selalu didengungkan oleh Bapak saya : Indonesia itu luas. Jadi teknologi telekomunikasi yang baik tentu sangat dibutuhkan. Salah satu maksudnya adalah untuk menjalin persatuan dan kesatuan .... (ehmmmmm ... pelajaran Pendidikan Moral Pancasila neh). Nahhhhh ... kalau alasan dari teman saya : agar roda bisnis berjalan lancar. Maksudnya, semua provider berlomba memberi tarif murah alias perang harga untuk menarik pelanggan. Kalau tidak ada yang terpancing untuk memanfaatkan bukankah roda bisnis akan berhenti? Nah kalau sudah begitu berapa jiwa yang rugi karena kehilangan pekerjaan? Ehmmmmm .... masuk akal dehhhh.....

Jadi benar juga ya ungkapan jauh di mata dekat di hati..... Atau karena perkembangan teknologi perlu diganti menjadi jauh di mata dekat di handphone?

Sabtu, 19 Juni 2010

Ulang Tahun ....

Hari ini umur saya genap berkurang setahun .... ehmmmmm makin dekat deh dengan garis finish ... heheheheeh .... Jujur, sejak menjadi dewasa (baca : tua), cara saya memandang yang namanya ulang tahun atau hari jadi banyak berubah. Ahahhahah... tentu saja, toh saya bukan lagi perempuan belia belasan tahun. Jadi rasanya aneh juga kan kalau masih menginginkan perayaan dengan balon, kue tart merah muda, dan lilin menyala? Ehmmmmm bisa-bisa permukaan kue tartnya tertutup oleh lilin saking banyaknya lilin yang harus dipasang ...

Tahun ini, ehmmmmm .... biasanya ada teman yang mengirim pesan singkat dini hari. Tapi rupanya tahun ini dia lupa sama sekali. Kecewa? Ehmmmmm ... tidak juga sebenarnya. Cuma agak heran juga kok dia sampai lupa ya? Hehhehehehe .... mungkin heran itu bentuk lain dari sedikit kecewa...... But it's OK :D kokkkkkkkk. Agak siang seorang teman yang lain mengirimkan doa melalui pesan singkat. Nah, teman yang satu ini sejak sekitar 3 tahun yang lalu tak pernah absen berkirim doa. Padahal saya jarang sekali ingat hari jadinya sendiri..... hheheheeheh maaf ya, Kawan .... Sebenarnya ikhwal tahunya dia akan tanggal lahir saya adalah karena saya pernah membeli produk asuransi yang ditawarkannya. Dan rupanya dia menyalin tanggal lahir saya. Jadilah setiap tahun pesan singkatnya tak pernah absen.... sementara saya rasanya paling banter baru dua kali ingat tanggal lahirnya ...duuhhhh.... sekali lagi maaf .....

Setelah SMS tsb, handphone saya adem ayem, alias tidak ada pesan atau telepon yang masuk berkaitan dengan hari lahir saya. Malah yang masuk adalah pesan mengenai tawaran belanja dengan diskon khusus dari dua kartu kredit ...ehmmmm malesssss.....Oh iya, jujur saya senang karena tahun ini hari lahir saya jatuh pada hari Sabtu. Jadi saya merasa terbebas dari kewajiban sekedar berbagi kue dengan teman-teman sekantor ...hwahaahhahaha.... maaf kawan-kawan lagi bokekkkkkkkkkk :D

Nahhhhh ... menjelang sore baru telepon dan pesan singkat dari orang tua dan kakak-kakak saya bermunculan. Tapi kemudian pembicaraan dengan mereka semua lebih terfokus pada seorang keponakan yang hari ini menerima hasil UAN. Jadi, nilai UAN lebih penting dari even ulang tahun saya ...ahahahahahaha..... kecewa? Ahhhh tidak jugaaaaaaaa ...sumpah saya tidak kecewa.... karena memang dari awal saya tidak mengistimewakan hari lahir saya. Beneran lohhhhhh .... sebab berkurangnya umur sering membuat saya gelisah. Jadi perayaan tak lagi cukup manjur untuk menghilangkan kegelisahan itu........

Oh iyaaaaaaaaaa..... sebenarnya ulang tahun saya dirayakan dengan even dunia lhooooo... World Cup. Nahhhhh.... hari ini, tepat di hari ulang tahun saya, dua mantan penjajah Indonesia saling berhadapan di lapangan hijau. Belanda vs Jepang .... Dan tadi saya sempat melihat gol Wesley Sneijder di gawang Eiji Kawashima .... Dan karena saya suka gol seperti itu, jadi boleh dong kalau saya menganggapnya sebagai hadiah hiburan? Hehheheehheheeh .....

Jumat, 11 Juni 2010

Cinta Bola

World cup resmi dibuka hari ini. Tadi saya sempat menonton sebentar acara pembukaannya di televisi. Ehmmmm jujur sebenarnya saya lupa kapan pembukaan perhelatan dunia ini. Makanya awalnya saya menonton acara kuis di channel lain, sampai akhirnya seorang teman berkomentar tentang acara pembukaan tersebut melalui pesan pendek. Setelah itu saya baru ngeh dan pindah channel.....

Jujur saya bukan pecinta sepak bola walau dari duluuuuuuuuu begitu kepingin beli kaos seragamnya Brazil. Tapi bukan berarti seumur hidup saya tidak pernah mencintai sepak bola lhoooo ..... Saya jatuh cinta secara tak sengaja (baca : terpaksa) pada tahun 1997. Mau tahu sebab musababnya? Ehmmm ... waktu itu saya baru lulus kuliah dan masih berstatus pengangguran. Nahhh saat itu saya tinggal di rumah berdua saja dengan abang saya karena orang tua kami berdinas di Dompu NTB. Televisi di rumah cuma satu (14 inch pula ..hehhhee). Dan abang saya ini gila bola dan saya juga termasuk yang dari dulu tidak telaten terpaku pada sinetron. Jadilah saya oke oke saja ketika abang saya menyetel Liga Italia. Awalnya sebenarnya terpaksa. Tapi berhubung televisinya juga cuma semata wayang dan koran juga sudah habis dibaca ya sudah saya mulai ikut-ikutan mengamati 23 laki-laki (wasit saya hitung juga karena toh realitasnya dia juga mesti lari kesana kemari) bercelana pendek sibuk berlarian mengejar sebutir bola. Pertama memang tidak bisa menikmati. Tapi lama-lama saya merasakan keseruannya terutama jika abang saya tiba-tiba duduk tegak, mengepalkan tangan, dan berteriak "gooooooooollllllllllllllll ...!!!" Nahhhhh jadilah saya mulai tahu bagaimana menikmatinya, sampai akhirnya mulai berani berkomentar dan akhirnya menyumpah ... wkwkkwkwkwwkkwk .... Setelah bisa menikmati Liga Italia lalu saya merambah ke Liga Inggris .... Cuma entah mengapa kok saya lebih suka Liga Italia ya? Bukan masalah pemain2 di Liga Italia yang terkenal ehm ehm itu. Saya merasa Liga Inggris agak terlalu gedubrak gedubruk mainnya. Italia lebih elegans di mata saya. Oh iya, sempat terjadi lho abang saya jatuh tertidur sementara saya yang waktu itu belum wajib pergi ke kantor pagi-pagi, berseru-seru mengiringi para laki-laki bercelana pendek itu berlarian. Dan ketika akhirnya abang saya terbangun karena teriakan saya, yang keluar dari mulutnya adalah pertanyaan, "Siapa yang bikin gol? Dapat operan dari siapa?" Tentu saja saya bisa menjawab pertanyaan itu... hehheheehe..

Bagaimana sekarang? Ehmmmm ... sekarang saya sudah kembali ke bentuk asal alias kembali awam bola. Sejak punya kewajiban pergi ke kantor tiap hari, saya menanggalkan kegiatan menonton bola. Awalnya sering kangen, tapi lama-lama tak tergoda sama sekali. Paling-paling cuma memantau perkembangannya lewat surat kabar saja. Tapi tetap saja menganggap World Cup itu event yang spesial. Walau kecintaan terhadap sepak bola nyaris luntur, toh masih ada sisanya yang muncul setiap kali World Cup tiba. Apalagi kantor dimana saya bekerja penuh dengan laki-laki yang rata-rata gila bola. Jadi ketika World Cup tiba pembicaraan tentang bola sungguh luar biasa ramainya. Dalam kondisi seperti itu tentu saya merasa terpinggirkan ketika tidak mengerti. Jadi akhirnya saya membeli tv tuner tepat saat menjelang World Cup 2006 sebab pada waktu itu tak ada lagi teman perempuan di kos saya yang rela pesawat telivisinya saya pinjam cuma untuk menonton pertandingan sepak bola .... Jadi dengan modal tv tuner dan monitor komputer jadilah saya penonton 23 laki-laki bercelana pendek berlarian di lapangan hijau demi sebutir bola... hehhehehehe

Hei satu hal, jangan sekali-sekali berpikir saya mengerti peraturan-peraturan dalam permainan sepak bola ya..... Wahhhh yang itu sama sekali saya tidak paham ..ahahahahaha .... Dan lagi ketika seorang pecinta bola sejati rata-rata membenci adu penalti, maka saya sebaliknya. Saya sukaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali...... Nahhhh kan terlihat kan kualitas kecintaan dan pengetahuan saya akan permainan yang namanya sepak bola ... hehhehehehee .... Tapi rasanya saya tidak sendiri. Di event semacam World Cup ini biasanya ada banyak perempuan-perempuan yang mendadak gila bola ..... dan biasanya gilanya juga karena terbawa suasana, tanpa banyak mengerti hal-hal teknis, apalagi masalah strategi ehmm jauhhhhhh ..... hahahhaahhahaa .... Maaf saya tidak bermaksud melecehkan, hal seperti itu sah-sah saja kok. Wong saya juga begitu, tahunya cuma kalau bola masuk ke gawang berarti goooooooolllllllll ...... Tak perlu tahu macam-macam, yang penting bisa menikmati ... iya ga? So, nonton bola yuk, jeng....? Ada Christiano Ronaldo lhoooo ....

Jumat, 07 Mei 2010

untitle

read this reji ....... if u don't understand google translate could help u


padamu,
waktu itu kukatakan kuinginkan hujan datang menebas panas, menyapu debu, melarikan seluruh gerisik renik dalam saluran panjang hati ke ujung tak terbayang

kini yang kuinginkan adalah fajar rekah yang memerahkan ufuk kelam, memutihkan gelap, mengubah sendu lara menjadi bara.....

yang kuinginkan adalah ketidakterjadian atau lupa seketika yang menghapus kecewa tanpa sisa

kau cuma sekelebat bayang tak pernah nyata yang menyakiti dengan kenihilan .....
tak mengertikah kau?

Selasa, 27 April 2010

Wisata Kuliner

Ehmmmm...acara kuliner rasanya sudah jadi jenis acara televisi yang digemari oleh banyak orang. Termasuk saya ... heheehehhe. Jujur saja, setiap sabtu pagi acara saya adalah begelung di tempat tidur dengan televisi menyala. Dan untuk sabtu pagi entah mengapa saya tidak terlalu tertarik untuk mencari berita terkini ataupun segala macam tetek bengek debat. Untuk kedua hal ini saya uber di hari biasa saat petang pulang kerja karena dengan saya sangat sadar diri kekurangan waktu (baca : malas) baca koran. Nahhhhh untuk Sabtu pagi acara favorit saya adalah melihat orang memasak atau melihat orang icip-icip makanan. Dan sebenarnya agak ironis juga karena saya melihat itu semua dengan perut kosong karena nyaris selalu tidak tersedia apa-apa di kamar saya di Sabtu pagi. Alhasil sering sekali saya melihat acara tsb sambil sibuk meneguk ludah, terutama ketika sang host mengacungkan jempol sambil berkomentar 'mak nyusssss ...'

Ngomong-ngomong soal kuliner..... ehmmm yuk wisata kuliner di kampung tempat tinggal saya yukkkkkk. Mau, mau, mau? Harus mau! Ahahahahha... pemaksaan.... OK, saya mulai dari rumah kos saya yaaaaa.... Persis di depan rumah kos saya ada sebuah warung. Warung biasa sih ...Bukanya juga kadang berdasarkan mood pemiliknya. Warung tanpa nama ini menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Soal harga yaaa biasa saja. Cuma tempo hari saya iseng membeli kacang klici (kacang goreng minyak tanpa kulit ari) yang rupanya buatan sendiri. Dikemas dalam bungkusan kecil-kecil seharga seribu rupiah perbungkus. Dari iseng saya jadi kebiasaan. Karena menurut saya rasa bawangnya lumayan terasa. Asinnya juga pas di lidah saya. Tingkat kekerasan kacangnya juga lumayan 'melawan' karena pada dasarnya saya tidak terlalu suka kacang yang cepat remuk ketika dikunyah. Saya cenderung suka kacang yang 'punya kemauan untuk melawan'. Butiran kacangnya juga tergolong sedang, tidak terlalu kecil. Nahhhh kacang goreng dengan bungkus bergambar jempol ini termasuk makanan yang saya cari ketika pengen cemilan.

Terusssss ... sekitar 10 meter dari rumah kos saya, belok kanan sedikit ada tukang bebek dan ayam goreng. Sebenarnya di lingkungan ini ada dua penjual bebek. Saya ceritakan yang pertama dulu ya. Terus terang saya suka dengan 'tag line' yang digunakan oleh si penjual yaitu : Tidak Repot. Artinya dengan membeli bebek atau ayam goreng dari dia berarti kita tidak perlu repot memasak. Nahhhh kannnnn .... ketauan kenapa saya suka tag line sang tukang bebek goreng... heheheehe .... Dari rombong kaki lima ini saya biasanya lebih memilih bebek gorengnya dari pada ayam gorengnya. Dengan harga Rp. 8000 kita bisa dapat nasil plus satu potong bebek goreng. Sambalnya tidak pedas dan terlihat kulit ari tomatnya. Sepertinya dibuat dengan sedikit terasi. Ada tambahan minyak bekas ukep bebeknya. Tapi saya tidak terlalu suka minyak ini. Saya selalu memilih remah-remah bekas ukepan yang kering dan masih terasa gurihnya. Potongan bebeknya tidak terlalu besar dan cenderung sedikit liat, tapi tidak sampai perlu ngotot untuk memakannya. Menurut saya liatnya ini tidak mengurangi nilai, karena liatnya ini tanpa lemak. Lemaknya cuma menempel di bagian bawah kulit saja. Jadi okelahhhhh.....

Nahhhh kalau dari gang rumah kos saya terus belok ke kiri sekitar 25 meter kita akan ketemu dengan penjual bebek yang kedua. Kalau yang ini penjualnya ibu-ibu..... Agak berdasarkan mood juga kalau jualan. Soalnya kadang lamaaaaaaaaaaaaa warungnya tutup, terus tahu-tahu buka lagi. Konon si ibu ini sudah terkenal kualitas bebek gorengnya jauh sebelum saya tinggal di kampung ini. Bedanya dengan bebek goreng yang pertama tadi adalah yang pasti ini lebih mahal, alias sepuluh ribu perporsi. Tapi potongan bebeknya tentu sedikit lebih besar. Dagingnya cenderung lebih empuk dalam arti kemropol kalau orang Jawa bilang. Perkiraan saya, bebek yang kedua ini dimasak dengan menggunakan presto. Sedangkan bebek yang pertama tadi dimasak dengan cara diukep biasa. Jadi hasilnya pun berbeda. Bebek yang kedua ini tulang-tulangnya lebih lunak. Bagi mereka yang suka 'meremukkan tulang', bebek kedua ini lebih cocok. Oohhhh iyaa nyaris lupa..... kedua rombong ini menjual kepala dan ceker bebek, dua anggota badan yang saya suka... hehehehe .... Cuma bedanya di tingkat kekerasannya. Kalau di penjual pertama tadi tulang-tulang tengkorak kepala masih agak keras kalau mau dikeremus dengan gigi. Jadi tipsnya agar bisa nyaman menikmati adalah minta kepada si bapak untuk membelah kepala bebeknya sebelum digoreng. Kalau di penjual kedua, kepala bebeknya tak perlu dibelah lagi saking empuknya. Demikian juga dengan cekernya. Kalu mau ceker yang empuk bergelambir, datanglah ke penjual kedua. Tapi kau suka ceker 'berotot' datanglah ke yang pertama. Jelas? hehhehehehe ....

Selanjutnya rujak cingur. Nahhh ini makanan khas Surabaya. Ada seorang pedagang rujak cingur yang tingkat kebersihannya cukup mencengangkan saya untuk ukuran kaki lima. Tempat dagangnya persis dua rumah di sebelah penjual bebek kedua. Secara rasa ehmmmmmmm saya cukup cocok. Cuma yang saya kurang sreg adalah jumlah potongan cingurnya yang cuma beberpa dengan irisan yang tipis pula. Tapi bisa dimaklumi kalau menilik dari harganya yang cuma tiga ribu rupiah saja (kata teman saya, murah kok minta cingur banyak .....). Konon kata teman saya, si ibu tidak menggunakan buah pisang kluthuk sebagai salah satu bumbunya. Tapi kok sepertinya saya selalu melihat si ibu mengiris buah pisang itu ketika meracik bumbu buat pesanan saya ya? jadiiiii dipakai atau tidaknya buah pisang kluthuk di rujak tsb masih menjadi perdebatan kami berdua....

Terus sekarang bakso. Letaknya di ujung jalan, hampir mencapai jalan besar. Namanya bakso PK. Dulu saya penasaran dengan nama itu tapi selalu lupa bertanya pada penjualnya. Sampai akhirnya seorang teman memberi tahu singkatannya, yaitu Pentol Kasar. Nahhhh sesuai dengan namanya, bakso kasarnyalah yang jadi favorit saya. Dengan lima ribu rupiah bisa dapat bakso halus, kasar, siomay basah, dan siomay kering. Ada kol dan selada kalau mau. Kalau mau tambah uang sedikit bisa dapat potongan kikil atau tetelan tulang. Untuk yang terkhir ini saya tidak tahu harganya karena memang kurang suka. Oh iya, kuah baksonya tidak terlalu keruh dan tidak terlalu berlemak, juga selalu dalam kondisi panas banget. Jadi cucok dimakan pas hujan. Ehmmmm yuukkkk mariiiii....

Sekarang giliran bubur kacang hijau. Biasanya saya ketemu dengan si mas tukang bubur neh pagi jam berangkat kerja. Jualannya pakai gerobak dorong. Ada bubur kacang hijau dan ketan hitam, dengan kuah santan yang hangat-hangat. Harganya dua ribu rupiah. Buburnya kental, kuah santannya juga gurih. Dan hangatnya itu lhoooooo ..... Dulu sempat saya ke kantor dengan menggotong berbungkus-bungkus bubur si mas ini karena teman-teman kantor banyak memesan. Waktu itu saya masih tiap hari berangkat ke kantor dengan membonceng seorang teman. Jadi ya OK-OK saja menggotong bubur itu. Tapi setelah tak ada teman yang mengangkut saya tentu saja kegiatan itu terhenti. Pernah beberapa kali teman kantor mempertanyakan 'kabar' mas si tukang bubur. Jadi artinya bukan cuma lidah saya yang cocok dengan bubur hasil produksi si mas itu kannn ....?

Nahhhhh begitulah wisata kuliner di kampung saya. Mau datang mencoba? Silahkennnnnnnnnn ...... tapi bayar sendiri yaaaaaaaaa ...ahahahahahahahaha...

Selasa, 20 April 2010

Karena Aku Perempuan

Kalau bulan Pebruari bagi banyak orang identik dengan cinta dan merah muda, maka April hampir selalu mengingatkan saya pada perempuan. Bukan, bukan Kartini maksud saya, tapi perempuan dalam arti sebenarnya, tanpa nama. Perempuan kaum saya. Ehmmmm ... perempuan yang merupakan jenis kelamin lawan laki-laki. Ehmmmmmmmmm ........ Ini dia.....

Dulu di masa lalu, saya adalah perempuan yang memberontak terhadap keperempuanan saya..... Wehhh ngeri ya ...ahahahahah .... Sebenarnya tidak sehoror itulah. Cuma dulu saya merasa tidak cukup nyaman sebagai seorang perempuan. Entah kapan perasaan itu mulai ada. Yang pasti dari usia balita ada foto-foto yang menunjukkan saya lebih nyaman berkostum laki-laki, mirip dengan kakak saya. Tapi waktu itu saya masih belum menolak rok. Terus begitu lebih besar lagi .... saya pernyataan sikap : rok, no way! hhehheheehe.....

Tidak cuma dalam hal pakaian. Semakin besar saya semakin merasa hal-hal yang berbau perempuan itu mengganggu. Termasuk mengerjakan pekerjaan khas perempuan seperti memasak. Sumpah, saya selalu memilih mengepel seluruh rumah daripada menjadi asisten ibu di dapur. Satu hal yang waktu itu bagi saya cukup ekstrim adalah saya memilih mengambil tugas membersihkan genteng bersama kakak dan sepupu laki-laki saya ketimbang menuruti perintah ibu untuk mengiris bawang. Saya tidak pernah memanjangkan rambut. Saya pernah benci berjalan dengan kakak perempuan saya cuma gara-gara dia berjalan tak secepat yang saya inginkan. Waktu itu dalam hati saya mengumpat 'huh...dasar perempuan!' .....ahahahahahah. Saya juga selalu mencibir setiap kali melihat kakak perempuan saya dengan segala kecentilannya merawat wajah, kulit, ataupun rambutnya. Hal yang sebenarnya wajar-wajar saja saya anggap berlebihan dan tidak praktis. Saya juga sangat benci dengan kalimat-kalimat semisal "karena kamu perempuan, jadi .....". Atau "sebagai perempuan kamu harus ......". Bagi saya kalimat-kalimat semacam itu adalah kalimat diskriminatif! Apalagi bapak saya termasuk tipe orang tua yang tidak pernah membedakan antara anak laki-laki dan perempuannya. Malah ketika SMA saya pernah bersaing nilai dengan seorang teman laki-laki. Dan supporter setia saya tentu saja Bapak saya. Pernah suatu kali nilai saya kalah dari dia. Dan dengan maksud menghibur saya, ibu berkata."tak apa-apa kalah, kan kamu perempuan, jadi ya memang dia harusnya menang". Tentu hati saya mendidih karena 'keperempuanan' saya disenggol. Tapi sebelum saya sempat menyemburkan sesuatu Bapak saya sudah lebih dulu menukas,"Ini bukan masalah laki-laki perempuan! Ini persaingan, siapapun layak menang, tak peduli laki-laki atau perempuan. Ayo, kamu bisa balas semester depan!" Ehmmmmm ..... see, my dad is my biggest supporter.... ahhahahahaha.....

Masa kuliah praktis saya lalui dengan kadar 'keperempuanan' yang minim. Dengan kata lain, saya tidak pernah mengenakan rok. Celana jins, kemeja/kaos, dan sepatu kets adalah seragam saya. Karenanya selalu kebingungan jika ada acara pernikahan keluarga. Sebab saat itulah apa yang saya lakukan adalah sedapat mungkin menghindar..... Saya baru mengalah dan menyerah mengenakan rok ketika kakak perempuan saya menikah. Itupun dengan paksaan, bukan suka rela dan serta merta. Ohhh iya, saking tidak pernah melihat saya mengenakan pakaian perempuan, Ibu saya pernah pangling dan tidak mengenali ketika saya terpaksa karena diwajibkan mengenakan kebaya dan kain panjang di pernikahan seorang sepupu. Waktu itu ibu sempat melongo dan berujar,"Oalahhhh ini tadi anakku tohhhhhh ..." Hayyyyahhhhhhh ...... Dan ternyata yang panggling bukan hanyaperempuan yang melahirkan saya. Paman, bibi, dan sepupu yang lain pun sama melongonya .... wekssssssssssssss.....

Tapi itu semua dulu ..... Duluuuuuuuuuuu ....heehhehehehee ... sekarang saya merasa jauh lebih perempuan dari masa itu. Saya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dulu saya hindari. Saya sudah tak terlalu alergi dengan pekerjaan dapur. Walau sekarang tidak memasak tiap hari, tapi paling tidak saya pernah bertindak sebagai perempuan yang harus memasak ketika tinggal berdua saja dengan kakak laki-laki saya. Saya juga mulai merasakan nikmatnya pekerjaan khas perempuan : merajut dan menjahit. Saya juga sudah meninggalkan kostum yang dulu pernah mati-matian saya pertahankan : celana jins, dan menggantinya dengan rok. Rasanya? Ehmmmmm ...ternyata enak juga..... hehheheheeeeh....

Dan mungkin prestasi yang paling besar adalah bahwa saya tidak terlalu alergi lagi dengan kalimat 'kamukan perempuan....'. Saya sedikit lebih kalem menghadapi kalimat ini. Sedikitttttttttttt ....hehehhehheeh .... Mungkin karena saya melihat kebenaran dari kalimat tersebut dalam konteks-konteks tertentu. Misal, kalau dulu saya tidak terima jika ibu menegur karena cara duduk saya sembarangan, sekarang saya sepakat bahwa memang tak elok seorang perempuan duduk sembarangan. Demikian soal perilaku dan tutur kata lemah lembut. Walau saya belum bisa dan masih sangat jauh dari hal itu tapi saya sepakat. Karena apa? Ya karena itu baik untuk perempuan ..... Yaaaaaaaa....... karena aku perempuan .....

Sesepele itukah? Ehmmm .... mungkin juga tidak sebenarnya. Tapi saya ada pada pemikiran bahwa bukan 'kelamin' yang harus diubah, tapi pola pikir. Ibarat kata pepatah bahwa rumput tetangga lebih hijau, maka saya dulu berpikir betapa enaknya jadi laki-laki, panjang langkah, tak terikat banyak hal, tak ditimbuni macam-macam aturan masyarakat, dll. Tapi toh itu cuma rumput yang tampak lebih hijau. Sebab bagaimanapun menjadi diri sendiri lebih nyaman ...termasuk menjadi 'kelamin' sendiri ... Satu bukti, pada saat masih tomboy dulu, setiap kali melihat perempuan berrok dan tampak manis anggun saya toh kepikir untuk melakukan hal yang sama. Tapi karena waktu itu cap di badan adalah tomboy maka saya tak berani melakukannya, takut dikomentari banyak orang. Nah kan .....

Jadi, bagi yang sedang memprotes keperempuanannya sekarang, saya sarankan untuk berpikir ulang ...hehhehehee ..... Emansipasi? Ahhhh .... ketika emansipasi berarti menjadi 'laki-laki, ehmmm betapa tak eloknya dunia ini ....

Senin, 05 April 2010

Televisi

Televisi ..... ehmmmm makin hari saya makin heran dengan kotak kaca yang satu ini. Karena kotak ajaib yang satu ini sekarang tak lagi sekedar kotak penghibur. Rasanya makin hari makin banyak orang yang membawa masalahnya ke televisi dengan harapan mendapat solusi tentu saja. Dan yang membuat saya lebih kagum adalah bahwa masalah yang mereka bawa adalah masalah pribadi, termasuk masalah yang erat kaitannya dengan ranjang. Dan si pihak televisi dengan enteng melabeli acara tersebut dengan nama reality show.

Dulu waktu pertama kali menonton reality show yang intinya pencarian orang, saya tidak heran. Karena saya pikir logis mencari orang di televisi karena toh berjuta-juta manusia di seluruh pelosok dunia menontonnya. Jadi masuk akal sekali. Tapi kemudian pikiran saya berubah karena makin lama persoalan yang ditampilkan makin pribadi. Mencari pasangan yang menghilang dan ternyata tengah berselingkuh dengan yang lain terasa jamak ditampilkan. Dan lengkap dengan aksi baku hantam antara yang 'legal' dengan yang 'ilegal'. Itu baru satu contoh, masih banyak hal 'dahsyat' yang mereka tampilkan, seperti mereka yang melakukan pekerjaan yang agak-agak 'horor', dan ayah atau ibu yang bergaul 'akrab' dengan teman dekat anaknya.

Di channel yang lain dengan jam tayang yang lebih malam, ada reality show yang juga membuat saya heran. Acara ini menampilkan suami istri lengkap dengan masalah dan beberapa anggota keluarganya. Walau ada topeng yang menutupi sebagian muka, tetap saja kemauan mereka untuk tampil membuat saya heran. Okelah saya mengerti bahwa beban masalah jika ditanggung beramai-ramai bisa lebih ringan. Dan oke juga saya mengerti bahwa adakalanya masalah perlu bantuan tenaga profesional seperti psikolog. Tapi, tindakan menampilkan masalah pribadi di layar gelas yang ditonton oleh ribuan, mungkin jutaan manusia, tetap mengherankan saya. Banyak sekali masalah dapur pribadi diungkap disana. Mulai dari soal uang yang digunakan untuk menjamin kebulan asap dapur, perselingkuhan pasangan berikut alasannya, kurangnya 'hasrat' terhadap pasangan, hingga 'room service' pasangan. Hehheheheheeheh ...... saya tak hendak menggunakan alasan 'budaya orang timur' untuk menyatakan kerisihan akan hal ini. Ungkapan itu terlalu klise dan lebih berkonotasi hipokrit menurut saya. Tapi sungguh saya risih menontonnya. Lalu saya bertanya pada diri sendiri, jika ada dalam posisi mereka yang bermasalah akankah saya datang ke televisi dengan harapan besar seperti mereka? Seorang teman bilang saya tipikal yang introvert. Ehmmmmm ...apakah berarti mereka-mereka yang datang ke televisi itu adalah mereka-mereka yang ekstrovert? Yaaaaaa ..... may be yes, may be no ...... ini jawaban versi teman saya.

Masalah. Ehmmmm ... siapa sih di dunia ini yang tidak mempunyai masalah? Tak ada manusia yang luput dari masalah, tak peduli dia sehebat Hercules atau Xena sekalipun. Saya tak akan menyangkal hal ini, lha wong kenyataannya saya sendiripun punya dan sedang terlibat masalah kok. Cuma, apa iya dengan ditayangkan di televisi dan berjuta mata menonton maka akan jadi selesai dengan baik? Atau jika ternyata masalahnya tidak selesai terus apa pihak televisinya akan bertanggung-jawab? Ahhhh, rumit amat sih mikirnya, begitu sungut teman menanggapi protes saya. Menurutnya, kalau mau ya tonton saja, kalau tidak mau ya tinggal ganti channel ..... Ehmmmmm iya ya .... gitu aja kok repot!

Sabtu, 13 Februari 2010

Jalan Dan Galah

Hari ini saya bertemu dan berbincang panjang lebar dengan seorang ibu. Dan pembicaraan kami membuat saya tercenung karena kepala saya mendadak penuh dengan satu pertanyaan besar plus kekangenan yang luar biasa kepada kedua orang sepuh yang dua minggu lalu saya kunjungi.

Sebenarnya saya mengenal ibu ini sudah sejak tiga bulan yang lalu dan setiap minggu secara rutin saya bertandang ke rumahnya karena satu urusan. Sejak pertama kali kenal kami langsung banyak bicara, hal yang agak luar biasa bagi saya karena saya bukan tipikal orang supel yang mudah akrab dengan orang lain, terlebih lagi mereka yang usianya agak jauh di atas saya (malah banyak orang mengecap saya sebagai si judes … eheheheeh). Waktu itu si ibu bercerita tentang kelima anaknya (sebenarnya enam orang, tapi satu orang meninggal ketika bayi) yang sudah dewasa dan cukup sukses di bidang pekerjaannya masing-masing. Dan si ibu, yang sekarang menjadi janda, tentu sangat bangga dengan kesuksesan tersebut sehingga bercerita segala hal dengan wajah penuh binar. Sama sekali saya tidak menganggap itu sebagai bentuk kesombongan. Sebaliknya saya anggap itu sangat wajar adanya, karena prestasi terbesar orang-tua sebenarnya adalah ketika mereka bisa mengantarkan anak-anaknya ke kehidupan yang baik, bahkan melebihi kehidupan yang telah mereka alami. Penuh semangat si ibu bercerita tentang anak bungsunya yang berkali-kali memberikan kebanggaan dengan prestasi akademiknya yang luar biasa sehingga menjadi andalan di kampusnya, sebuah institut teknologi negeri ternama di Surabaya. Sang ibu menyebutnya sebagai 'si pintar luar biasa'. Dan dalam masa kuliahnya ini si anak telah mengantongi status pegawai di sebuah perusahaan swasta sehingga otomatis biaya kuliahnya dibayar dengan beasiswa plus tambahan gaji bulanan sebagai pegawai. Si nomor lima, seorang perempuan semata wayang, saat ini mempunyai jabatan tinggi di sebuah sekolah internasional di Bali. Tiga anak laki-laki lainnya tak kalah membanggakan. Si nomor dua berkarir di sebuah hotel di Jakarta. Sukses juga. Si nomor tiga, seorang pegawai swasta, ehmmmm sukses juga. Sedangkan si sulung selain bekerja di sebuah perusahaan swasta terkenal di Surabaya juga menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Ehmmmmm..... bisa dibayangkan orang-tua mana yang tak meluap hatinya melihat keadaan anak-anak yang mereka perjuangkan sejak kecil. Lalu masih dengan wajah bersinar-sinar, si ibu berkata bahwa secara finasial anak-anaknya menjamin, terutama si perempuan semata wayang. Namun seperti banyak orang-tua lain, dia tetap bekerja, walau katanya tidak sengoyo dulu, karena tak enak hati menadah tangan pada mereka semua. Sempat saya bilang bahwa sudah sewajarnya mereka menjamin kehidupan orang yang telah menjamin kehidupan mereka di masa kecil, apalagi mereka dalam kondisi berkecukupan semua. Tapi si ibu tetap pada pendiriannya untuk tidak merepotkan anak-anaknya. Secara guyon saya bilang,”Wah ibu menghalangi anak-anak untuk berbakti membalas budi orang-tua nih ….. “ Dia tertawa. Di hari-hari selanjutnya, masih ada saja cerita tentang anak-anak yang membanggakan itu. Di sela-sela mendengarkan sering saya berpikir apakah orang-tua saya punya bahan cerita seperti itu ketika berkumpul dengan teman-temannya. Dalam hari saya agak nelangsa.

Lalu tiba-tiba hari ini saya lihat wajahnya agak mendung. Cerita mengalir dari bibirnya. Tentang seorang anak (lebih baik saya tidak sebut yang nomor berapa) yang menurutnya tidak berperilaku pantas terhadap dirinya. Si anak karena keperluan dinas mesti tinggal di Surabaya dan memilih tinggal di rumah ibunya. Sudah beberapa lama hal itu berjalan. Dan sekarang karena sang istri sedang repot dengan bayi kedua mereka, maka si anak membawa serta anak sulungnya yang nota bene adalah cucu si ibu untuk tinggal bersama sang nenek. Sampai disitu saya tidak melihat hal yang membuat sedih si ibu, karena saya bandingkan dengan orang-tua saya yang selalu sumringah ketika cucu-cucunya datang. Lalu titba-tiba munculah sang cucu. Nahhhhh disini saya baru melihat masalahnya. Ternyata si cucu manja dan cukup nakal sehingga sang nenek kuwalahan menghadapinya. Di depan saya si bocah laki-laki itu mengamuk karena suatu hal kecil dan mulai memukul menendang si nenek. Sontak saya pegang si kecil agar tidak berhasil meneruskan misinya. Dia meronta-ronta dalam pegangan saya. Saat itu anak si ibu datang melihat kelakuan anaknya. Tapi melihat dalam arti yang sebenarnya, berdiri di jarak lima meter dari saya yang kerepotan menghalangi bocah itu memukuli neneknya. Dengan nada yang cukup biasa dia bicara pada anaknya, “ Kenapa sih? Hayo berhenti!” Jujur saya mengharapkan tindakan yang lebih dari sekadar kata-kata darinya. Tapi tak terjadi. Beruntung si bocah tak lama kemudian jadi lebih tenang.

Setelah itu justru si ibu ganti yang 'bereaksi'. Dengan air mata yang turun susul menyusul dia menceritakan tingkah sang anak, alias si orang tua bocah. Mulai dari sikap sangat perhitungan terhadap setiap rupiah yang diberikan kepada sang ibu untuk mengasuh bocah yang dititipkannya, sikap pasangannya yang tak pernah mencintai ataupun menghargai ibu mertuanya, kelakuan 'membedindekan' sang ibu dengan menyuruh membereskan keperluan pribadinya (termasuk mencuci pakaian mereka, memasak, sampai membuatkan kopi), hingga mengeluarkan kata-kata kasar seperti bodoh dan menyebut sang ibu pelacur karena sang ibu cuma menikah siri dengan ayah tiri mereka.

Air mata si ibu terus susul-menyusul merambati pipinya. Sungguh nelangsa saya melihatnya. Nelangsa karena kemarin-kemarin saya cuma mendengar hal yang 'luar biasa' tentang anak-anaknya. Saya jadi mengerti bahwa kemarin-kemarin si ibu sedang melakukan apa yang oleh Pak Harto dulu disebut sebagai mikul duwur mendem jero. Artinya kurang lebih memperlihatkan hal-hal yang baik dan menutupi hal-hal yang buruk. Ahhh tipikal orang-tua.

Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Demikian dulu ibu saya pernah berujar ketika saya di bangku TK. Waktu itu saya bertanya kenapa sepanjang jalan. Jawaban ibu, karena jalan itu tak pernah ada putusnya, selalu menyambung, berurai kesana kemari, tak hingga panjangnya. Lalu kenapa galah, tanya saya penasaran. Dengan lirih ibu saya menjelaskan betapa terbatasnya panjang sebuah galah. Dulu saya tak cukup paham dengan hal itu. Sekarang saya sangat paham.

Hari ini kepala saya penuh dengan pertanyaan, anak seperti apakah saya? Baikkah? Sedangkah? Burukkah? Apa yang dipikirkan oleh orang-tua tentang saya?

Ah andai cuma galahlah yang pantas untuk mengukur kasih saya sebagai seorang anak, saya berharap bisa menyambung setiap galah yang saya temui dalam hidup saya hingga panjangnya tak beda jauh dengan jalan ….....

Rabu, 27 Januari 2010

Ke Kantor

Saya termasuk orang yang terikat pada rutinitas kerja 8 to 5 dari Senin sampai Jumat. Jadi pada waktu tersebut saya adalah orang kantoran yang sibuk dengan urusan ini itu, file ini itu, bertelepon kesana kemari, bertemu si ini si itu, dan memencet-mencet keyboard komputer berjam-jam. Itulah saya sebagai orang kantoran alias karyawan. Seperti kantor lain, perusahaan tempat saya bekerja juga mensyaratkan pemakaian seragam. Cuma enaknya (bagi saya) cuma satu hari dalam seminggu kami diwajibkan mengenakan seragam. Lalu tiga hari sesudahnya boleh pakai baju suka-suka yang penting rapi. Dan sebagai penutup, di hari Jumat kami diminta untuk mengenakan batik. Yang terakhir ini baru-baru saja dicanangkan bertepatan dengan adanya klaim negeri jiran terhadap batik.

Nahhhhh .... seperti apa penampilan saya di kantor? Ehmmmmm ..... saya jadi ingat bertahun-tahun lalu ketika pertama kali bekerja. Beberapa hari sebelum hari pertama masuk kerja, saya dengan diantar kakak berkeliling toko pakaian wanita untuk mencari baju yang layak disebut sebagai 'baju ke kantor'. Maklum setelah empat tahun kuliah teknik, koleksi baju saya hanya terbatas pada t-shirt, kemeja, dan celana jins. Lalu waktu itu pilihan saya jatuh pada atasan yang modelnya seperti seperti blazer ringan dan rok selutut. Saya juga membeli sepatu perempuan yang sedikit berhak. Dannnnnnnn pada hari pertama masuk saya agak terkejut. Karena tidak semua rekan kerja saya berbaju seperti yang saya kenakan. Justru yang cenderung sudah berumur dan punya kedudukan tinggilah yang berbaju seperti saya. Sedangkan yang lebih muda cenderung santai (gaya orang proyek kata mereka) ..... aiiihhhhhh saya jadi merasa salah kostum.

Pengalaman di atas jadi merubah pola pikir saya tentang yang namanya 'baju kerja'. Sejak saat itu saya 'berbaju kantor' cuma pada saat wawancara kerja saja. First impression. Selebihnya .. ehhhmmmm .... kemeja lengan panjang dan celana panjang cukuplahhhh ..... hehehehhehehe .... Malah jika saya agak mengenal situasi perusahaan yang saya lamar, saya berani mendatangi wawancara dengan kemeja putih dan celana jins saja. Karenanya jika sedang ada tugas mewawancarai 'new comer' saya jadi sering geli kala berhadapan dengan mereka yang 'fresh from the oven', sebab rata-rata mereka berkostum rapi jali dan sibuk mengatur sikap duduk demi tampil mengesankan. Ehmmm saya tidak bermaksud mengejek atau menyalahkan para 'new comer' ini.... sama sekali tidak. Cuma jadi sering bertanya dalam hati, bakal berapa lama mereka tahan dengan kostum rapi jali? :)

Nahhhh jadilah kostum kerja saya berubah, yang nota bene semakin santai. Saya jadi berpikir bahwa pergi kerja tak ubahnya dengan pergi kuliah. Cuma saja saya menghindari pemakaian t-shirt. Jika pakai t-shirt biasanya saya menutupinya dengan cardigan atau kemeja lengan panjang. Tapi ada saatnya saya berpakaian sesuai mood dan kondisi. Jika sedang ngambek setelah disemprot boss, saya bisa datang dengan jins belel, tak peduli hari itu ada meeting dengan para atasan. Jika harus menemui tamu yang belum saya kenal sebelumnya, saya bisa datang rapi dengan celana kain dan kemeja feminin warna netral, serta sepatu perempuan. Dan jika sedang merasa norak, saya bisa saja datang dengan baju warna terang benderang yang menyilaukan mata semua orang ... ahhahahahahahaha .....

Itu semua baru baju. Lalu bagaimana dengan sepatu? Ehmmmmm .... untuk yang satu ini waduhhh maaf... saya cinta mati dengan sepatu kets. Biasanya awal-awal kerja saya mengenakan sepatu perempuan. Tapiiii begitu tahu tak ada aturan jelas mengenai sepatu, maka kets-lah yang menjadi tunggangan saya. Alasannya cuma dua : nyaman dan awet. Nyaman karena pekerjaan saya seringkali menuntut untuk banyak berjalan, terutama ketika mesti melakukan kunjungan ke lokasi produksi. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika saya masuk lokasi produksi yang penuh dengan manusia laki-laki dengan sepatu berhak tinggi yang kemayu. Disini kets lebih aman juga karena membungkus kaki saya secara cukup rapat, jadi tidak gampang terkena kotoran atau benda tajam. Sedangkan alasan kedua yaitu awet penting bagi saya. Karena kaki saya sangat boros jika berhadapan dengan sepatu perempuan. Sepatu jenis ini bisa bertahan utuh di kaki saya sekitar enam bulan saja, tak peduli berapa harganya. Sedangkan sepatu kets bisa dua tahun lebih tetap utuh. Nah kan betapa hebat perbandingannya.

Nahhhh sekarang sudah terbayangkan seperti apa saya ketika di kantor? Hehhehehehe ...... masalah ini pernah membuat bapak saya mengeryitkan dahinya. Suatu pagi ketika beliau sedang datang berkunjung, saya pamit. Bapak saya langsung bertanya mau kemana saya pagi-pagi. Dengan jengkel saya jawab, "ya ke kantorlah....". Dan ternyata keheranan bapak saya belum hilang juga. dari mulutnya terlontar, "Seperti itu mau ke kantor?" Ahahhahahahah ........

OOhhh iya, soal alas kaki saya punya alternatif lain selain sepatu kets, yaitu sandal jepit. Ahahahahahahah ...... Tapi ini bukan salah saya. Sebab kebiasaan ini mumcul karena seringnya banjir di Surabaya bila musim hujan datang. Jadi jika hujan turun saat waktu pulang kantor maka sepatu saya taruh di kantor. Sebagai gantinya sandal jepitlah yang saya tunggangi. Jadi keesokan harinya saya berangkat kembali masih dengan sandal jepit di kaki saya, Jadi bisa dipastikan dahi bapak saya akan berkerut-kerut tak karuan jika melihat anaknya dengan sandal jepit di kaki dan ransel di punggung pamitan ke kantor ..... aiiihhhhh .....

Minggu, 24 Januari 2010

Bernyanyi

Akhir-akhir ini saya agak rajin mengikuti tontonan kontes menyanyi untuk anak-anak di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Juga sempat berkirim SMS untuk mendukung salah satu kontestan yang menurut saya berpenampilan bagus. Sumpah SMS itu saya kirimkan secara sukarela, tanpa ada paksaan apapun. Lha wong saya kenal dia saja enggak ..heheheehe .... Konon menurut artikel yang pernah saya baca dulu, peserta kontes seperti ini kadang mengirim banyak SMS untuk mendukung dirinya sendiri. Tentu saja bukan dia yang langsung melakukannya karena toh dia sudah disibukkan oleh jadwal kegiatan yang katanya padat sekali. Keluarga dan orang-orang di sekitarnyalah yang membantu melakukannya. Ehmmm .... terlepas dari rumor tersebut, terusterang saya sangat salut dengan anak-anak itu. Salut dengan kualitas suaranya, salut dengan keberaniannya, salut dengan kepercayaandirinya, dan lain lain ..... Malahan menurut saya banyak dari mereka yang menunjukkan kemampuan bernyanyi di atas kemampuan mereka-mereka yang mengaku penyanyi dan sudah menelurkan album rekaman.

Jujur, saya sangat salut anak-anak itu bisa berolah suara hingga seperti itu. memang sih kadang ada juga yang terdengar agak fals di satu dua bagian atau mengambil nada terlalu rendah di bagian awal. Tapi tak terlalu fatal. Alias secara kumulatif terdengarnya baik-baik saja di kuping saya, mungkin juga bagi kuping-kuping orang lain. Dan kalaupun ada yang mengganggu, menurut saya adalah materi lagu yang mereka nyanyikan rata-rata lagu orang dewasa yang nota bene berkisah tentang cinta. Yaaaa ada sihhh beberapa kata yang diganti, cuma tetap saja bagi saya itu menunjukkan kurangnya perbendaharaan lagu anak-anak.

Nahhhhh soal menyanyi..ehmmmm aslinya saya sangat salut dengan mereka karena berkaca pada diri saya sendiri yang tidak bisa menyanyi ...hehhehehehe .... Sumpah saya tidak bisa bernyanyi. Suara saya selalu terdengar aneh jika dibuat bernyanyi. Atau jangan-jangan untuk berkata-kata pun aneh? OOOhhh tidak ..... hehhehehee ... Dulu semasa sekolah ada dua mata pelajaran yang saya takuti : olah raga dan seni suara. Di kedua mata pelajaran itu saya sungguh mati kutu. Badan saya yang dari dulu tak pernah mencapai bobot ideal tak pernah bisa diajari olah raga dengan baik dan benar. Saya tidak bisa melakukan serve dengan benar di olah raga bola voley. Tidak juga bisa menerima bola dengan baik, apalagi membuat smesh..... ahhahaha .... Tak cuma itu, saya juga tidak bisa bermain badminton, pingpong, loncat tinggi, atau bentuk olah raga yang lain. Satu-satunya olah raga yang saya bisa adalah lari ...ahahahahhaa .... tapi sungguh saya unggul dibandingkan teman-teman sekelas saya untuk yang satu itu. Tapi tentu saja jangan dipikir saya punya kemampuan seperti Marion Jones.

Kalau di olah raga paling tidak saya bisa berlari, tak demikian halnya di seni suara. Sungguh pelajaran itu menyiksa batin saya walau jatahnya cuma dua jam pekajaran seminggu. Suara saya yang aslinya sudah tak keruan menjadi lebih tak keruan ketika dalam kondisi tertekan. Saya tidak pernah bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan baik. Selalu saja saya kehabisan suara di tengah-tengah lagu. Awalanya saya pikir waktu ambil nada awal terlalu tinggi. Tapi ternyata ketika direndahkan juga tetap tidak bisa.... ahhahahahaah .... jadilah saya menyanyikan lagu kebangsaan ini dengan suara tercekik-cekik. Dan tentu saja teman-teman sekelas saya mendapat hiburan gratis. Sepanjang ingatan, saya cuma agak sukses ketika menyanyikan lagu Maju Tak Gentar dan Padamu Negeri. Untuk Indonesia Raya ...ya Allah bukan berarti saya tidak mencintai negeri ini kalau saya tidak bisa menyanyikannya dengan baik sampai saat ini. Untuk lagu daerah, saya agak sukses juga ketika menyanyikan Injit-Injit Semut. Dannnnn sebenarnya suksesnya bukan karena saya bisa menyanyikan dengan baik, tapi lebih karena saya dianggap oleh guru SD saya membawa lagu baru ke kelas. Artinya, pada saat saya kelas 5 SD teman-teman saya masih banyak yang belum mengenal lagu Injit-Injit Semut dan sayalah yang mengenalkannya kepada mereka .... hahahhahaha ..... Waktu SMP guru saya memberi petunjuk bahwa agar bisa menyanyi dengan baik saya harus membuka mulut hingga selebar tebal dua jari tangan. Tapi hasilnya bagi saya ya sama saja. Tetap saja saya menyanyi dengan suara tercekik-cekik. Dan pada masa sekolah dulu jika bisa saya akan dengan suka rela menukar dua jam pekajaran Seni Suara dengan empat jam Matematika atau Bahasa Inggris atau Fisika .... atau jika memang boleh saya akan rela menukarnya dengan dua jam mata pelajaran Kimia walaupun saya termasuk pembenci Kimia.

Ternyataaa.... ketidakbisaan menyanyi ini saya dapat dari gen bapak saya. Nahhhh ini dia masalahnya .... Konon pada masa sekolahnya dia juga mengalami hal yang mirip-mirip dengan yang terjadi pada saya. Menurutnya dia dulu cuma bisa menyanyikan satu lagu yaitu Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Dan itupun dinyanyikannya sambil bersembunyi di balik papan tulis. Ehmmm ...sepertinya track record saya agak sedikit lebih baik ... Tapiiii jangan coba bandingkan dengan ibu saya. Percaya atau tidak ibu saya punya suara merdu yang sangat cocok untuk jenis lagu keroncong. Makanya ibu saya sempat mengeryit heran ketika saya mengadu saya tidak bisa menyanyi Indonesia Raya tanpa merasa tercekik. Tapi keheranan itu tentu saja terjawab ketika bapak saya bercerita masa-masanya menyanyikan Naik-Naik Ke Puncak Gunung di balik papan tulis ..ahhahahaha ......

Sekarang setelah lepas dari kewajiban bernyanyi malahan saya dikenal oleh teman-teman saya sebagai si pemilih untuk urusan lagu dan musik.... Menurut mereka saya sok selera tinggi karena saya menyediakan kuping saya untuk musik klasik dan jazz, dua jenis musik yang sebenarnya saya tidak banyak tahu bahkan judulnya, juga tidak banyak mengerti tapi bagi saya seringkali lebih nyaman di telinga dibanding musik lain. Jadi alasan saya cuma masalah enak di telinga saja, bukan hal-hal tinggi di baliknya. Dannnn jika menengok track record saya yang penuh dengan suara tercekik-cekik ehmmmm... memang wajar jika mereka menganggap saya sok .... ahahahahahaha ....

Terakhir, berbahagialah kalian bocah-bocah yang bisa menyanyi dengan baik tanpa suara tercekik-cekik ....