Selasa, 27 April 2010

Wisata Kuliner

Ehmmmm...acara kuliner rasanya sudah jadi jenis acara televisi yang digemari oleh banyak orang. Termasuk saya ... heheehehhe. Jujur saja, setiap sabtu pagi acara saya adalah begelung di tempat tidur dengan televisi menyala. Dan untuk sabtu pagi entah mengapa saya tidak terlalu tertarik untuk mencari berita terkini ataupun segala macam tetek bengek debat. Untuk kedua hal ini saya uber di hari biasa saat petang pulang kerja karena dengan saya sangat sadar diri kekurangan waktu (baca : malas) baca koran. Nahhhhh untuk Sabtu pagi acara favorit saya adalah melihat orang memasak atau melihat orang icip-icip makanan. Dan sebenarnya agak ironis juga karena saya melihat itu semua dengan perut kosong karena nyaris selalu tidak tersedia apa-apa di kamar saya di Sabtu pagi. Alhasil sering sekali saya melihat acara tsb sambil sibuk meneguk ludah, terutama ketika sang host mengacungkan jempol sambil berkomentar 'mak nyusssss ...'

Ngomong-ngomong soal kuliner..... ehmmm yuk wisata kuliner di kampung tempat tinggal saya yukkkkkk. Mau, mau, mau? Harus mau! Ahahahahha... pemaksaan.... OK, saya mulai dari rumah kos saya yaaaaa.... Persis di depan rumah kos saya ada sebuah warung. Warung biasa sih ...Bukanya juga kadang berdasarkan mood pemiliknya. Warung tanpa nama ini menjual aneka kebutuhan sehari-hari. Soal harga yaaa biasa saja. Cuma tempo hari saya iseng membeli kacang klici (kacang goreng minyak tanpa kulit ari) yang rupanya buatan sendiri. Dikemas dalam bungkusan kecil-kecil seharga seribu rupiah perbungkus. Dari iseng saya jadi kebiasaan. Karena menurut saya rasa bawangnya lumayan terasa. Asinnya juga pas di lidah saya. Tingkat kekerasan kacangnya juga lumayan 'melawan' karena pada dasarnya saya tidak terlalu suka kacang yang cepat remuk ketika dikunyah. Saya cenderung suka kacang yang 'punya kemauan untuk melawan'. Butiran kacangnya juga tergolong sedang, tidak terlalu kecil. Nahhhh kacang goreng dengan bungkus bergambar jempol ini termasuk makanan yang saya cari ketika pengen cemilan.

Terusssss ... sekitar 10 meter dari rumah kos saya, belok kanan sedikit ada tukang bebek dan ayam goreng. Sebenarnya di lingkungan ini ada dua penjual bebek. Saya ceritakan yang pertama dulu ya. Terus terang saya suka dengan 'tag line' yang digunakan oleh si penjual yaitu : Tidak Repot. Artinya dengan membeli bebek atau ayam goreng dari dia berarti kita tidak perlu repot memasak. Nahhhh kannnnn .... ketauan kenapa saya suka tag line sang tukang bebek goreng... heheheehe .... Dari rombong kaki lima ini saya biasanya lebih memilih bebek gorengnya dari pada ayam gorengnya. Dengan harga Rp. 8000 kita bisa dapat nasil plus satu potong bebek goreng. Sambalnya tidak pedas dan terlihat kulit ari tomatnya. Sepertinya dibuat dengan sedikit terasi. Ada tambahan minyak bekas ukep bebeknya. Tapi saya tidak terlalu suka minyak ini. Saya selalu memilih remah-remah bekas ukepan yang kering dan masih terasa gurihnya. Potongan bebeknya tidak terlalu besar dan cenderung sedikit liat, tapi tidak sampai perlu ngotot untuk memakannya. Menurut saya liatnya ini tidak mengurangi nilai, karena liatnya ini tanpa lemak. Lemaknya cuma menempel di bagian bawah kulit saja. Jadi okelahhhhh.....

Nahhhh kalau dari gang rumah kos saya terus belok ke kiri sekitar 25 meter kita akan ketemu dengan penjual bebek yang kedua. Kalau yang ini penjualnya ibu-ibu..... Agak berdasarkan mood juga kalau jualan. Soalnya kadang lamaaaaaaaaaaaaa warungnya tutup, terus tahu-tahu buka lagi. Konon si ibu ini sudah terkenal kualitas bebek gorengnya jauh sebelum saya tinggal di kampung ini. Bedanya dengan bebek goreng yang pertama tadi adalah yang pasti ini lebih mahal, alias sepuluh ribu perporsi. Tapi potongan bebeknya tentu sedikit lebih besar. Dagingnya cenderung lebih empuk dalam arti kemropol kalau orang Jawa bilang. Perkiraan saya, bebek yang kedua ini dimasak dengan menggunakan presto. Sedangkan bebek yang pertama tadi dimasak dengan cara diukep biasa. Jadi hasilnya pun berbeda. Bebek yang kedua ini tulang-tulangnya lebih lunak. Bagi mereka yang suka 'meremukkan tulang', bebek kedua ini lebih cocok. Oohhhh iyaa nyaris lupa..... kedua rombong ini menjual kepala dan ceker bebek, dua anggota badan yang saya suka... hehehehe .... Cuma bedanya di tingkat kekerasannya. Kalau di penjual pertama tadi tulang-tulang tengkorak kepala masih agak keras kalau mau dikeremus dengan gigi. Jadi tipsnya agar bisa nyaman menikmati adalah minta kepada si bapak untuk membelah kepala bebeknya sebelum digoreng. Kalau di penjual kedua, kepala bebeknya tak perlu dibelah lagi saking empuknya. Demikian juga dengan cekernya. Kalu mau ceker yang empuk bergelambir, datanglah ke penjual kedua. Tapi kau suka ceker 'berotot' datanglah ke yang pertama. Jelas? hehhehehehe ....

Selanjutnya rujak cingur. Nahhh ini makanan khas Surabaya. Ada seorang pedagang rujak cingur yang tingkat kebersihannya cukup mencengangkan saya untuk ukuran kaki lima. Tempat dagangnya persis dua rumah di sebelah penjual bebek kedua. Secara rasa ehmmmmmmm saya cukup cocok. Cuma yang saya kurang sreg adalah jumlah potongan cingurnya yang cuma beberpa dengan irisan yang tipis pula. Tapi bisa dimaklumi kalau menilik dari harganya yang cuma tiga ribu rupiah saja (kata teman saya, murah kok minta cingur banyak .....). Konon kata teman saya, si ibu tidak menggunakan buah pisang kluthuk sebagai salah satu bumbunya. Tapi kok sepertinya saya selalu melihat si ibu mengiris buah pisang itu ketika meracik bumbu buat pesanan saya ya? jadiiiii dipakai atau tidaknya buah pisang kluthuk di rujak tsb masih menjadi perdebatan kami berdua....

Terus sekarang bakso. Letaknya di ujung jalan, hampir mencapai jalan besar. Namanya bakso PK. Dulu saya penasaran dengan nama itu tapi selalu lupa bertanya pada penjualnya. Sampai akhirnya seorang teman memberi tahu singkatannya, yaitu Pentol Kasar. Nahhhh sesuai dengan namanya, bakso kasarnyalah yang jadi favorit saya. Dengan lima ribu rupiah bisa dapat bakso halus, kasar, siomay basah, dan siomay kering. Ada kol dan selada kalau mau. Kalau mau tambah uang sedikit bisa dapat potongan kikil atau tetelan tulang. Untuk yang terkhir ini saya tidak tahu harganya karena memang kurang suka. Oh iya, kuah baksonya tidak terlalu keruh dan tidak terlalu berlemak, juga selalu dalam kondisi panas banget. Jadi cucok dimakan pas hujan. Ehmmmm yuukkkk mariiiii....

Sekarang giliran bubur kacang hijau. Biasanya saya ketemu dengan si mas tukang bubur neh pagi jam berangkat kerja. Jualannya pakai gerobak dorong. Ada bubur kacang hijau dan ketan hitam, dengan kuah santan yang hangat-hangat. Harganya dua ribu rupiah. Buburnya kental, kuah santannya juga gurih. Dan hangatnya itu lhoooooo ..... Dulu sempat saya ke kantor dengan menggotong berbungkus-bungkus bubur si mas ini karena teman-teman kantor banyak memesan. Waktu itu saya masih tiap hari berangkat ke kantor dengan membonceng seorang teman. Jadi ya OK-OK saja menggotong bubur itu. Tapi setelah tak ada teman yang mengangkut saya tentu saja kegiatan itu terhenti. Pernah beberapa kali teman kantor mempertanyakan 'kabar' mas si tukang bubur. Jadi artinya bukan cuma lidah saya yang cocok dengan bubur hasil produksi si mas itu kannn ....?

Nahhhhh begitulah wisata kuliner di kampung saya. Mau datang mencoba? Silahkennnnnnnnnn ...... tapi bayar sendiri yaaaaaaaaa ...ahahahahahahahaha...

Tidak ada komentar: