Kamis, 11 Agustus 2011

ANTI AGING

Tempo hari saya rasakan satu bagian di kepala saya gatal sekali. Cuma ada satu penyebab gatal yang terpikir di benak saya, yaitu ketombe. Karena memang yang namanya ketombe jujur saja datang dan pergi dari kepala saya, karena ketidaksetiaan saya terhadap satu jenis shampo. Juga kebiasaan mengenakan kerudung pas ketika kepala masih kuyup sisa keramas. Nah nah nah ... berbekal persepsi itu keramaslah saya dengan shampo anti ketombe yang katanya paten dan memang saya pernah membuktikannya. Tapi kali ini tidak. Bagian itu tetap gatal kedati tadi saya sempat bershampo dua kali. Iseng-iseng mengacalah saya untuk melihat bagian tersebut. Daaannnnnn olalala .... ternyata ada uban disana! Tidak cuma satu, tapi lima dan bergerombol di area yang sama. Setelah tuntas mencabutinya satu persatu saya tercenung.

Uban, kata orang memang menyebabkan gatal. Dan identik dengan tua. Jujur saja, saya miris menjadi tua. Bukan tua seperti yang digembar-gemborkan oleh industri kosmetik dalam iklan televisi. Bukan, saya tidak memikirkan tua dalam artian muka berkeriput, mata berkantung, dan kulit yang bercorak. Saya memikirkan tentang tua yang sebenarnya, bukan sekedar tua yang mengarah pada 'bungkus' atau casing saja. Tua yang mengacu pada 'bungkus' dan 'casing' rasanya sudah diberikan solusinya oleh industri kecantikan dan kosmetika. Lihat saja berapa banyak iklan kosmetik yang mengusung jargon 'anti aging'. Coba hitung pula jumlah salon yang menawarkan perawatan ini itu untuk menghilangkan keriputlah, mengencangkan wajahlah, operasi plastiklah, dan tetek bengek lainnya yang berujung pada 'terlihat kembali muda'. Terlihat ..... saya selalu menggaris bawahi kata ini untuk semua cara dan formula itu. Lalu, jika wajah tetap kinclong kinyis kinyis ala bayi apakah berarti kita tak lagi menjadi tua?

Tua. Ehmmm sampai detik ketika menemukan uban di kepala, saya selalu berpikir saya tak cukup tua, walaupun juga tidak muda sekali. Sebenarnya itu cuma kalimat panjang untuk mengatakan bahwa saya percaya saya masih muda. Apalagi sayalah yang termuda dalam keluarga inti selama ini Tapi rasanya kepercayaan itu terpatahkan dengan bukti uban di kepala saya. Jika saya sudah beruban, lalu apa bedanya saya dengan bapak dan ibu saya yang kepalanya sudah putih rata? Ya ya ya memang sekarang baru ditemukan lima helai, tapi bukankah yang lima itu bukti bahwa ada proses yang sedang aktif berjalan?

Sebenarnya ini kedua kalinya saya merasa tua. Dulu ketika kakak perempuan saya melahirkan anaknya yang pertama, yang berarti keponkan pertama saya, saya tersadarkan oleh satu hal : generasi baru telah lahir tepat di bawah saya. Tapi waktu itu saya tidak tercenung karena toh yang saya hadapi masih berupa bayi tak berdaya yang menggemaskan. Tapi sekarang, ketika saya temukan uban itu, si generasi baru ini ternyata sudah menginjak bangku SMP dan tingginya pun sudah melampaui bahu saya. Ahhhh .... proses yang bernar-benar aktif bergerak.

Jadi intinya, saya cukup resah. Benar-benar bukan masalah takut keriput. Tapi takut menjadi tak berdaya. Saya mulai berhitung apa yang saya lakukan sekarang. Saya produktif bekerja. Saya juga sibuk berencana ini itu dan mulai merintisnya. Saya mengerahkan energi dengan satu pikiran ada waktu yang masih terasa luang dan panjang. Sering-sering saya berangkat tidur lewat tengah malam dengan kepala yang masih berputar akan apa yang harus dan akan dikerjakan esok. Sering-sering juga masih berandai-andai hal indah yang ingin saya lakukan. Saya hidup dengan semua itu. Dan rasanya itu bukti bahwa sebuah kemudaan walau hanya berupa harapan dan cita-cita.

Harapan dan cita-cita. Rasanya masa muda penuh dengan keduanya. Karena ya itu tadi, ada waktu di depan yang terasa panjang, walau sebenarnya belum tentu juga panjang. Beda dengan mereka yang sudah berumur tua. Apalagi yang diharapkan wong kita sudah tua, kalimat ini sering sekali saya dengar dalam pembicaraan orang tua saya dengan teman-teman seangkatannya. So, kalau sudah tua berarti tak punya harapan lagi? Atau tidak patut berharap? Karena ada waktu yang secara logika manusia cuma tinggal sejengkal? Mungkin kurang lebih seperti itu. Dan yang paling kentara adalah tak ada lagi kegiatan harian yang padat. Contoh nyata akan hal ini saya temuai di rumah setiap kali pulang kampung. Bapak saya yang dulu setiap hari berangkat ke kantor dan sering kali masih membawa pulang pekerjaannya dalam berbagai bentuk, kini adalah orang rumahan yang bisa bangun atau berangkat tidur seenaknya. Tak ada lagi target atau dead line kerja. Enakkah seperti itu? Entahlah. Kalau Bapak saya bilang sih, yaaaaa beginilah masa pensiun. Dan saya membandingkannya masa pensiun itu dengan ritme hidup saya sekarang. Ehmmmmm .....

Nah nah nah ..... tua. Kata seorang teman saya terlalu mendramatisir masalah penemuan uban. Ehmmmm ... mungkin juga dia benar. Tapi saya sudah kadung merasa gelisah dan jadi mulai menafsirkan ungkapan seorang filsuf Yunani 'berungtunglah mereka yang mati muda'. Mungkin memang berurntung karena paling tidak mati muda berarti mati tidak dalam kondisi tak bisa berharap dan bercita-cita lagi. Teman saya membantah. Katanya ya malah rugi besar, wong masih asyik-asyiknya produktif kok mati. Apalagi kalau matinya melalui proses panjang seperti sakit parah lama. Tambah tidak enak lagi, katanya, masih muda tapi tak produktif eh malah membebani yang lain. Ehmmmmmm ..... benar juga..... Lalu teman saya bilang, mungkin yang benar adalah 'beruntunglah mereka yang mati mendadak'. Kontan saya mendelik. Katanya, karena yang mati mendadak tak akan sempat berpikir ruwet-ruwet seperti saya.

So...... akhirnya saya pikir industri kecantikan telah salah membuat provokasi. Mereka sibuk mengompori konsumen terutama perempuan untuk melakukan perawatan anti aging pada mukanya. Tujuannya apalagi kalau tidak melawan proses tua. Tapi apa yang mengalami penuaan cuma muka saja? Tidak bukan? So seharusnya yang perlu diawetkan tidak cuma muka! Apa gunanya muka masih muda kinyis-kinyis tanpa keriput jika hati dan pikiran telah layu tanpa harapan? Untuk pernyataan ini paling tidak teman saya tadi membuat statement yang mati mendadaklah yang beruntung, setuju dengan saya .....

3 komentar:

Kang Ary mengatakan...

saya baru sadar bahwa kita hanyalah seonggok daging dan tulang tanpa hidayah dari-Nya. Trus mau apa kita...

ina3alasta mengatakan...

@kang Ary : yaaaaa... nurut aku seh terus berusaha untuk melapangkan kubur .... heheheheheheh......

Kang Ary mengatakan...

InsyaAlloh....
Kapan nih nulis yg berbau ABG gitu, semisal pangalaman waktu SMP gitu...
Kayaknya seru ya...
ditunggu Mbak Ina