Jumat, 04 April 2008

Kartini

Bulan April bagi saya identik dengan hari Kartini. Jadi teringat ketika masa sekolah dulu. Pada masa itu tanggal 21 April adalah hari yang menakutkan bagi saya karena satu hal : harus berkebaya dan berkain panjang. Alhasil berhari-hari sebelumnya otak saya selalu sibuk bekerja untuk mendapatkan alasan paling jitu agar terhindar dari ritual berpakaian khusus pada hari itu. Waktu itu alasan saya menghindar cuma satu : berpakaian seperti itu merupakan bentuk siksaan fisik, walaupun cuma beberapa jam saja. Berlebihan? Memang ...hahhahaha ... maaf saya tidak bermaksud melecehkan jenis pakaian yang sudah jadi identitas nasional.

Sekarang masa itu telah lewat. Saya tak perlu lagi deg deg plas menghadapi tanggal keramat itu. Juga jadi berusaha melihat makna sebenarnya.


Jujur, Kartini bukanlah tokoh idola saya. Haji Agus Salim justru lebih mempesona saya dengan segala kesederhanaan, kepintaran, dan pemberontakannya. Saya selalu mengagumi bagaimana laki-laki kecil ini menolak pendidikan formal untuk anak-anaknya dan memilih memberikan pelajaran sendiri kepada mereka semua di rumah. Betapa laki-laki kecil nan cerdas ini sudah melakukan apa yang saat ini sedang tren yaitu home schooling, dengan alasan yang bagi saya sangat keren dan konon hasilnya juga kereeeeennnn ....

Kartini tidak keren? Hehheheeh .... Maaf saya tidak bermaksud seperti itu. Cuma saya baru akhir-akhir ini mengerti dengan apa yang ada di kepalanya saat itu. Betapa ilmu dan pendidikan memang sungguh sesuatu tak kasat mata yang bisa memperkaya manusia. Kartini yang terkungkung adat yang konon adi luhung itu merinduinya. Dan berharap bisa mengecapnya seperti mereka yang lain. Di jaman sekarang tentu keinginan seperti itu hanyalah biasa adanya. Toh sekarang sekolah sudah begitu banyak macam dan ragamnya termasuk tarifnya. Itu baru yang formal, belum termasuk yang informal. Mau sekolah untuk sekedar agar bisa berjalan zig zag dengan indahnya pun ada. Bahkan tempo hari seorang rekan saya memasukkan anaknya yang belum genap empat tahun ke sekolah modelling khusus untuk bocah. Bagi saya itu hal yang sangat 'dahsyat'. Apalagi tak lama setelah teman saya bercerita tentang anaknya yang sudah pintar berpose, saya membaca Laskar Pelangi tulisan Andrea Hirata. Ahhhh ...hati saya terasa mak nyussssss oleh dua realita yang seolah bumi dan langit itu. Saya jadi sibuk membayangkan si jenius Lintang dan mulai dengan cengeng menangisinya. Saya jadi menyesali tindakan mencontek, membolos, menakali guru, dan hal-hal lain yang biasanya saya ceritakan dengan nada bangga. Jika saya adalah Lintang, pasti dia tidak akan membuang waktu seperti itu. Kartini pasti juga tidak akan berlaku bodoh seperti saya. Dia pasti akan berlaku seperti Lintang yang terus berusaha mengisi sel-sel kelabunya dengan barang tak kasat mata itu.


Seperti inilah saya melihat seorang Kartini. Tak terlalu penting bagi saya apakah dia seorang feminis atau bukan. Saya juga tidak terlalu peduli tentang kata emansipasi yang begitu lekat dengannya. Bagi saya dia adalah perempuan hebat yang sangat sadar akan arti penting dari apa yang biasa disebut dengan ilmu dan pendidikan. Bayangkan betapa hebatnya sebuah bangsa jika semua perempuannya yang notabene adalah para ibu dan calon ibu punya kesadaran seperti itu. Tentu tak akan ada lagi pendidikan yang terlambat atau pun jenius-jenius yang terlantar seperti Lintang. Dan tentu saja yang dimaksud pendidikan adalah tidak melulu yang harus duduk tenang di bangku sekolah. Karena teladan yang baik pun satu bentuk pendidikan yang sangat sederhana.


Jadi, maafkan saya jika saya tak mengagumi dia sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan. Sekali lagi maaf, karena ada agenda lain yang tak kalah besarnya daripada emansipasi perempuan .....


Terima kasih atas inspirasinya, Kartini ....


Tidak ada komentar: