Akhir-akhir ini saya merasa dihadapkan pada satu fenomena yang terasa marak
tapi tetap saja saya tergagap-gagap menghadapinya. Konsep spiritualisme yang
makin bebas dan sekaligus individual. Semua orang seperti syah untuk menelurkan
konsepnya. Semua orang seperti syah untuk menjadi penafsir. Mereka ada
dimana-mana. Dan saya ternganga.
Mengapa saya jadi nyinyir dengan ini? Ehmmm .... hidup selalu tak tertebak,
demikian kalau saya kepingin agak puitis. Hidup mempertemukan saya dengan masa
yang berbeda dan tentu juga orang yang berbeda. Saya ingat betul jaman orde
baru berkuasa, kata atheis seperti momok. Ini merujuk pada pengalaman sejarah
tahun 65-an, dimana perang saudara pecah di negeri ini. Jujur saya bersyukur
belum lahir masa itu. Dari cerita orang-orang yang mengalami saja, saya sudah
bisa membayangkan kengeriannya. Yang memang atheis sebenarnya tidak sama dengan
komunis. Cuma dari penafsiran-penafsiran politis, kedua kata itu terasa seperti
kembar siam. Lalu dengan segala alasannya, orde baru bercokol dengan represif.
Semua terasa seragam untuk banyak hal. Dan ini baru sangat terasa bagi saya
sebenarnya justru ketika orde itu kolaps.
Lalu muncul orde yang lebih baru. Semua seperti dalam euforia kebebasan. Apa-apa
yang sebelumnya dilarang, dituntut untuk dibebaskan. Atas nama apalagi kalau
bukan demokrasi, kebebasan, dan juga HAM. Banyak hal yang sekarang saya rasakan
kehilangan kesakralannya. Satu contoh dulu siapa yang berani mengkritik
pemerintah yang berkuasa? Bandingkan dengan sekarang. Sungguh seperti bumi dan
langit. Presiden bisa diparodikan tiap minggu, dan laku ditonton. Media jelas
memprovokasi ini itu dan namanya adalah kebebasan pers. Demonstrasi seperti
sudah jadi jalan jitu. Ehmmmm ... salahkah? Entahlah. Saya tak hendak
menghakimi ini. Saya cuma seorang yang sedang mengamati dan berpikir.
Spiritualisme demikian juga. Agama ditangan banyak orang tak lagi sakral di
istana gading. Begitu juga dengan Tuhan. Spiritualisme bukan lagi berarti agama
mainstream. Mereka memandang agama dan Tuhan dengan kekritisan yang logis. Otak
memang diciptakan dengan fungsi sebagai mesin pemikir. Dan itu benar-benar
digunakan dalam arti sebenarnya. Jujur saya salut kepada kemauan mereka untuk
terus berpikir, terus bertanya, terus mencari, tanpa gentar konsekuensi di
depan. Dan jujur saya sering terperangah dan nelangsa, betapa sedikit isi dari
kepala saya. Betapa saya cuma memfungsikan isi kepala saya untuk hal yang
umum-umum saja. Sementara mereka, ehmmmm ... tak ada yang luput dari pandangan
kritis. Kadang juga terasa sinis.
Para penafsir. Demikian saya pribadi menyebut mereka. Bukan bermaksud menjelekkan
jika saya menggunakan kata dasar ‘tafsir’. Bagi saya seperti itulah adanya. Mereka
berpikir, mereka menafsir, mereka menyimpulkan. Dan karena ini yang dikritisi
adalah Tuhan dan agama, saya yakin kebenarannya tidak berupa Tuhan yang
benar-benar datang dan menunjukkan benar salah buah pikiran makhluknya itu. Yang
saya tahu yang muncul sebagai segala jawaban adalah pertanda-pertanda yang
harus dibaca. Jadilah terjadi kegiatan tafsir menafsir yang tak akan pernah
henti entah sampai kapan.
Salahkah? Lagi-lagi saya bilang saya tak hendak membuat pengadilan tentang
benar salah. Saya benar-benar merasa tak punya modal untuk membuat penafsiran, apalagi
membuat pengadilan. Tapi melihat publikasi yang dilakukan oleh para penafsir
itu di banyak media, jujur hati saya sungguh miris. Apalagi banyak yang
bentuknya berupa media yang menghibur semacam fiksi. Memang sebuah karya
seperti fiksi adalah karya individual, awalnya. Tapi tak lagi menjadi sebuah
individu yang tidak bisa mempengaruhi ketika barang itu dicetak banyak dan didistribusikan
ke khalayak. Ada pembaca yang sadar atau tidak akan menentukan sikap terhadap
tafsir tersebut. Penentuan sikap bisa saja sekedar setuju dan tidak setuju.
Bisa juga lebih dari itu. Artinya bisa lebih dalam, bahkan jauh lebih dalam. Jadi
tafsir ini bisa mempengaruhi sikap dan kerangka berpikir orang lain. Beruntung
jika sang audiens mempunyai kesempatan, ilmu, dan kemauan untuk mengunyah
terlebih dahulu. Tapi bagaimana dengan audiens yang tak punya semua itu?
Apalagi yang dari sononya memang sudah malas berpikir dan mudah terbawa
euforia. Semua ide yang marak akan terlihat keren dan wajib diikuti bagi mereka
yang seperti ini. Dan jadilah mereka pengikut yang sebenarnya tanpa melalui
proses berpikir mandiri. Mungkin sekedar mengikuti arus yang sedang in, tanpa
tahu detail isi dan maksudnya. Terus....? Ya embuh.....
Para penafsir seringkali terlihat sebagai sosok yang berkilau, terutama
ketika mereka membuat tafsiran yang
terasa mendobrak apa yang oleh banyak orang dimaknai sebagai belenggu. Semua
akan silau dengan ide tersebut. Apalagi jika dikemukakan dengan percaya diri
penuh, oleh sosok yang menarik dan mempunyai pengaruh. Lalu semua nilai lama,
yg dianggap mainstream, jadi terlihat usang. Padahal jika direnungkan
sebenarnya bukan masalah baru dan usang intinya. Kebenaranlah yang harus tetap
bertahan. Cuma membuktikan kebenaran itu yang manalah yang menyeret semua pada
tafsir-tafsir tiada akhir.
Saya gamang. Di sekitar saya beredar tafsir-tafsir itu. Ironisnya saya tak
cukup pandai untuk menyeleksi. Padahal hati saya bilang saya harus menyeleksi.
Logika saya juga berkata yang sama. Merenunglah saya. Jadi begini, sebenarnya
tulisan ini saya buat lagi-lagi seusai membaca sebuah fiksi karya penulis yang memang
sudah terkenal karena ‘ilmunya’. Kebetulan secara fisik dia sungguh menarik.
Kloplah. Siapa yang tidak silau? Saya pun silau. Cuma terasa ada yang
mengganjal. Ya, tafsir yang dibuatnya...... Membuat saya kagum dengan gamang.
Kagum akan kemampuan berpikir hingga jadi karya yang indah, sekaligus gamang
karena tafsir yang ada didalamnya. Sungguh perlu kedewasaan berpikir sebelum
membacanya. Begitu kesimpulan saya......... dan saya berharap termasuk yang
dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar