Senin, 13 Agustus 2012

Para Penafsir (Lagi)


Akhir-akhir ini saya merasa dihadapkan pada satu fenomena yang terasa marak tapi tetap saja saya tergagap-gagap menghadapinya. Konsep spiritualisme yang makin bebas dan sekaligus individual. Semua orang seperti syah untuk menelurkan konsepnya. Semua orang seperti syah untuk menjadi penafsir. Mereka ada dimana-mana. Dan saya ternganga.

Mengapa saya jadi nyinyir dengan ini? Ehmmm .... hidup selalu tak tertebak, demikian kalau saya kepingin agak puitis. Hidup mempertemukan saya dengan masa yang berbeda dan tentu juga orang yang berbeda. Saya ingat betul jaman orde baru berkuasa, kata atheis seperti momok. Ini merujuk pada pengalaman sejarah tahun 65-an, dimana perang saudara pecah di negeri ini. Jujur saya bersyukur belum lahir masa itu. Dari cerita orang-orang yang mengalami saja, saya sudah bisa membayangkan kengeriannya. Yang memang atheis sebenarnya tidak sama dengan komunis. Cuma dari penafsiran-penafsiran politis, kedua kata itu terasa seperti kembar siam. Lalu dengan segala alasannya, orde baru bercokol dengan represif. Semua terasa seragam untuk banyak hal. Dan ini baru sangat terasa bagi saya sebenarnya justru ketika orde itu kolaps.

Lalu muncul orde yang lebih baru. Semua seperti dalam euforia kebebasan. Apa-apa yang sebelumnya dilarang, dituntut untuk dibebaskan. Atas nama apalagi kalau bukan demokrasi, kebebasan, dan juga HAM. Banyak hal yang sekarang saya rasakan kehilangan kesakralannya. Satu contoh dulu siapa yang berani mengkritik pemerintah yang berkuasa? Bandingkan dengan sekarang. Sungguh seperti bumi dan langit. Presiden bisa diparodikan tiap minggu, dan laku ditonton. Media jelas memprovokasi ini itu dan namanya adalah kebebasan pers. Demonstrasi seperti sudah jadi jalan jitu. Ehmmmm ... salahkah? Entahlah. Saya tak hendak menghakimi ini. Saya cuma seorang yang sedang mengamati dan berpikir.

Spiritualisme demikian juga. Agama ditangan banyak orang tak lagi sakral di istana gading. Begitu juga dengan Tuhan. Spiritualisme bukan lagi berarti agama mainstream. Mereka memandang agama dan Tuhan dengan kekritisan yang logis. Otak memang diciptakan dengan fungsi sebagai mesin pemikir. Dan itu benar-benar digunakan dalam arti sebenarnya. Jujur saya salut kepada kemauan mereka untuk terus berpikir, terus bertanya, terus mencari, tanpa gentar konsekuensi di depan. Dan jujur saya sering terperangah dan nelangsa, betapa sedikit isi dari kepala saya. Betapa saya cuma memfungsikan isi kepala saya untuk hal yang umum-umum saja. Sementara mereka, ehmmmm ... tak ada yang luput dari pandangan kritis. Kadang juga terasa sinis.

Para penafsir. Demikian saya pribadi menyebut mereka. Bukan bermaksud menjelekkan jika saya menggunakan kata dasar ‘tafsir’. Bagi saya seperti itulah adanya. Mereka berpikir, mereka menafsir, mereka menyimpulkan. Dan karena ini yang dikritisi adalah Tuhan dan agama, saya yakin kebenarannya tidak berupa Tuhan yang benar-benar datang dan menunjukkan benar salah buah pikiran makhluknya itu. Yang saya tahu yang muncul sebagai segala jawaban adalah pertanda-pertanda yang harus dibaca. Jadilah terjadi kegiatan tafsir menafsir yang tak akan pernah henti entah sampai kapan.

Salahkah? Lagi-lagi saya bilang saya tak hendak membuat pengadilan tentang benar salah. Saya benar-benar merasa tak punya modal untuk membuat penafsiran, apalagi membuat pengadilan. Tapi melihat publikasi yang dilakukan oleh para penafsir itu di banyak media, jujur hati saya sungguh miris. Apalagi banyak yang bentuknya berupa media yang menghibur semacam fiksi. Memang sebuah karya seperti fiksi adalah karya individual, awalnya. Tapi tak lagi menjadi sebuah individu yang tidak bisa mempengaruhi ketika barang itu dicetak banyak dan didistribusikan ke khalayak. Ada pembaca yang sadar atau tidak akan menentukan sikap terhadap tafsir tersebut. Penentuan sikap bisa saja sekedar setuju dan tidak setuju. Bisa juga lebih dari itu. Artinya bisa lebih dalam, bahkan jauh lebih dalam. Jadi tafsir ini bisa mempengaruhi sikap dan kerangka berpikir orang lain. Beruntung jika sang audiens mempunyai kesempatan, ilmu, dan kemauan untuk mengunyah terlebih dahulu. Tapi bagaimana dengan audiens yang tak punya semua itu? Apalagi yang dari sononya memang sudah malas berpikir dan mudah terbawa euforia. Semua ide yang marak akan terlihat keren dan wajib diikuti bagi mereka yang seperti ini. Dan jadilah mereka pengikut yang sebenarnya tanpa melalui proses berpikir mandiri. Mungkin sekedar mengikuti arus yang sedang in, tanpa tahu detail isi dan maksudnya. Terus....? Ya embuh.....

Para penafsir seringkali terlihat sebagai sosok yang berkilau, terutama ketika mereka  membuat tafsiran yang terasa mendobrak apa yang oleh banyak orang dimaknai sebagai belenggu. Semua akan silau dengan ide tersebut. Apalagi jika dikemukakan dengan percaya diri penuh, oleh sosok yang menarik dan mempunyai pengaruh. Lalu semua nilai lama, yg dianggap mainstream, jadi terlihat usang. Padahal jika direnungkan sebenarnya bukan masalah baru dan usang intinya. Kebenaranlah yang harus tetap bertahan. Cuma membuktikan kebenaran itu yang manalah yang menyeret semua pada tafsir-tafsir tiada akhir.

Saya gamang. Di sekitar saya beredar tafsir-tafsir itu. Ironisnya saya tak cukup pandai untuk menyeleksi. Padahal hati saya bilang saya harus menyeleksi. Logika saya juga berkata yang sama. Merenunglah saya. Jadi begini, sebenarnya tulisan ini saya buat lagi-lagi seusai membaca sebuah fiksi karya penulis yang memang sudah terkenal karena ‘ilmunya’. Kebetulan secara fisik dia sungguh menarik. Kloplah. Siapa yang tidak silau? Saya pun silau. Cuma terasa ada yang mengganjal. Ya, tafsir yang dibuatnya...... Membuat saya kagum dengan gamang. Kagum akan kemampuan berpikir hingga jadi karya yang indah, sekaligus gamang karena tafsir yang ada didalamnya. Sungguh perlu kedewasaan berpikir sebelum membacanya. Begitu kesimpulan saya......... dan saya berharap termasuk yang dewasa.

Tidak ada komentar: