Judul buku : GELOMBANG
Pengarang :
Dee
Lestari
Penerbit : Bentang
Tebal : x + 482 halaman
Cetakan : 2014
Sampai hari ini, hanya
satu buku yang sanggup memaksa saya untuk pre-order.
Dan satu buku itu adalah Gelombang karya Dee Lestari. Ya, Gelombang, bukan
sekuel-sekuel Harry Potter, bukan Inferno-nya Dan Brown. Dan begitu
menyelesaikan halamana terakhir saya juga langsung mengirimkan kicauan pada
sang penulis berupa pertanyaan dimana saya bisa pre-order sekuel selanjutnya. Cuma sayangnya tak dibalas.
Dee Lestari, atau aslinya
Dewi Lestari, termasuk yang disebut kalangan kritikus sebagai bagian dari
sastra wangi ketika pertama kali muncul dengan Kesatria, Putri, dan Bintang
Jatuh. Dan dari sekian para sastra(wan) wangi itu hanya Dee Lestari dan Ayu
Utami yang saya ikuti sampai sekarang. Tapi bukan berarti saya selalu puas
dengan semua buku Dee. Jujur saja, ketika banyak yang memuji Perahu Kertas, saya
tidak termasuk di dalamnya walau tak juga bilang itu jelek. Saya cuma
menganggap tidak menemukan seorang Dee yang sesungguhnya di dalam Perahu
Kertas. Atau mungkin kalimat seharusnya adalah saya tidak menemukan Dee yang saya inginkan di
dalam sana? Entahlah. Yang pasti, Dee yang sesungguhnya menurut saya dan tentu
yang saya inginkan adalah Dee yang ‘melahirkan’ sekian keping Supernova.
Kini Gelombang telah
lahir. Begitu menerima dari kurir ekspedisi, saya tak tahan untuk segera
menuntaskan semua tanggungan pekerjaan hari itu, lalu naik ke tempat tidur,
menyangga kepala dengan tiga bantal, dan membacanya. Tak butuh waktu lama untuk
menghabiskannya (sehari lebih sedikit) walau sebenarnya saya berniat
mengirit-irit. Hasilnya? Ehmmmmm ... ingin sekali melihat sosok hidup dari
Alfa, dr Kalden, dan Nicky.
Alfa dan dunia mimpinya
lagi-lagi membius. Dan seperti sebelum-sebelumnya, saya mempercayai setiap kata
yang ditulis oleh Dee. Membuat saya memandang tidur dan mimpi dengan persepsi
yang berbeda dari biasanya. Tidur tak lagi sekedar rebah lalu vakum selama
beberapa jam. Dan mimpi jadi tak lagi sekedar bunga dari tidur yang tak berarti
banyak. Saya jadi kagum pada yang namanya tidur dan mimpi. Lalu bertanya-tanya,
darimana Dee punya ide untuk menulis tentang dua hal itu? Dan selanjutnya,
bagaimana dia bisa begitu pintar mengolahnya menjadi cerita ratusan halaman
yang akhirnya membius saya? Bagaimana risetnya? Bagaimana mikirnya?
Bagaimana...? Bagaimana ...? Berapa banyak bagaimana saya tak tahu persis. Yang
pasti banyak!
Tapi sebenarnya saya juga
punya uneg-uneg tentang Gelombang walau tetap menyanjung dan menyukainya.
Gelombang bagi saya agak terlalu kental kesamaannya dengan Partikel. Ketebalan
yang mirip-mirip tentu tak masuk hitungan. Saya tak tahu apa sebutan yang
tepat, yang pasti saya merasa menemukan pola yang sama dalam Partikel dan
Gelombang, hal yang tak saya rasakan dalam tiga buku terdahulunya. Buku
pertama, Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh jelas sekali beda. Mudah dipahami
karena dia adalah buku pertama, ibarat peletak dasar segalanya. Lalu Akar,
Petir, dan Partikel. Sampai empat buku saya tak merasakan rasa yang sama
ataupun pengulangan. Sampai akhirnya Gelombang membuat saya merasakannya.
Ya, saya merasakan Zarah
dan Alfa punya banyak kesamaan. Keduanya punya sifat ngotot yang setara, juga kecerdasan
di atas rata-rata. Jalan hidup yang digariskan untuk mereka juga tak berbeda:
sukses di usia muda di negeri orang. Di Partikel Zarah punya Paul dan Zach
sebagai teman-teman sejati. Sementara di Gelombang seorang Alfa punya Troy dan
Carlos. Soal percintaan pun mirip. Lihat saja bagaimana Paul diam-diam berharap
pada Zarah, persis seperti Nicky diam-diam berharap pada Alfa. Bahkan ada
adegan ciuman yang lokasi dan adegan yang prinsipnya sama. Paul mencium Zarah
di terminal bus lalu melangkah pergi. Sementara Nicky mencium Alfa di bandara
lalu lari berurai air mata karena kesal. Dan bahkan pada prinsipnya Zarah dan
Alfa sama-sama travelling ke dimensi
lain. Bukankah semua itu kesamaan?
Anggap saja jawaban dari
pertanyaan saya di atas adalah ya. Muncul pertanyaan berikutnya: untuk apa? Nah
untuk pertanyaan lanjutan tersebut sementara seri lanjutannya; Inteligensi
Embun Pagi; belum terbit saya merasa harus puas dengan jawaban rekaan sendiri
yaitu karena Dee mendesainnya seperti itu. Ya, Dee menginginkan kesamaan itu. Secara
keseluruhan saya yakin Dee telah membuat sebuah grand design untuk Supernova. Grand
design itu dituangkan detail-detailnya dalam lima buku yang telah lahir.
Ibarat sebuah desain rumah, lima buku itu adalah ruang-ruang di dalamnya.
Mereka mungkin mewakili ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur, dapur, dan
kamar mandi. Keterhubungannya membentuk
sebuah rumah. Ketika masih berada dalam tiap-tiap ruang, tentu tak terlihat
bentuk rumah itu. Baru ketika keluar dan menjelajah, lalu berdiri di halamannya
maka tampaklah rumah utuh itu. Bisa jadi saat itu adalah ketika Inteligensi
Embun Pagi lahir.
Ya, apapun kesan saya
setelah membaca Gelombang, saya tetap yakin semuanya by design, bukan kecelakaan tak terencana. Artinya itu adalah
pertanda yang ditebar Dee demi menuju ke grand
design yang telah disiapkannya. Semua ada artinya, semua ada alasannya. Saya yakin Dee menghidupkan semua karakternya dengan peran uniknya masing-masing. Dan semuanya akan terlihat pada waktunya. Yes, in Dee I trust.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar