Jumat, 02 Januari 2009

Kepada Bang Andrea Hirata

Bang Andrea, dua minggu yang lalu, ketika saya pulang menemuinya, Bapak saya curhat. Rupanya beliau jengkel dengan karena stasiun televisi yang cukup disukainya raib dari peredaran alias tak tertangkap siarannya. Stasiun televisi yang dimaksud adalah Metrotv. Saya mahfum, karena Bapak saya adalah penyuka berita dan penggemar berat Kick Andy. Beliau tipikal pemirsa televisi yang selalu mengomel kalau menonton sinetron, kebiasaan yang membuat Ibu saya selalu tak nyaman duduk bersamanya ketika Cinta Fitri mengudara. Bapak selalu memberi komentar-komentar yang mengganggu kenikmatan Ibu. Menurut Bapak, cerita sinetron itu dangkal dan cenderung mencederai kemampuan otak pemirsanya. Ehmmmmm ...tentu saja Ibu saya tersinggung karena omongan itu. Jika Bapak mempunyai pendapat 'kejam' seperti itu, Ibu juga punya pendapat sendiri tentang sinetron. Menurutnya sinetron cuma untuk hiburan ringan saja, sehingga tak perlu dibuat susah hingga peras otak segala. Menonton berita orang memutilasi kekasihnya, ekonom beranalisa dengan macam-macam variabel susah, atau politikus berkicau berbusa-busa, tidak selamanya menyenangkan. Jadi, intinya Ibu memilih sinetron sebagai jeda dari itu semua.

Ehmmmmm ... itulah pendapat kedua orang tua saya. Dan, tanpa menghilangkan segala hormat saya terhadap perempuan yang telah melahirkan saya, saya berdiri di belakang pendapat Bapak tentang sinetron. Saya sepakat ketika Bapak menggerutu "apa hidup ini cuma berisi rebutan laki dan harta? Apa tidak ada tema lain yang lebih bagus dan logis dari itu? Masa' semua orang Indonesia kerjanya cuma rebutan laki dan harta sih?"

Jadi, begitulah Bang Andrea, gerutuan bapak saya itu membuat saya teringat dengan Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Bagaimana Bang, kalau buku-buku itu dijadikan sinetron saja? Saya yakin sinetron yang bagus bermula dari ide cerita yang bagus. Dan keempat buku tadi saya yakin bisa merupakan ide yang hebat. Dan saya pribadi merasa sayang ketika melihat bagaimana Laskar Pelangi yang inspiratif dan ratusan halaman itu dimampatkan menjadi film yang hanya sekitar dua atau tiga jam saja. Terlebih lagi bagian favorit saya di buku itu, yaitu bagian cerdas cermat direnovasi sedemikian rupa, mungkin demi alasan komersialitas. Terus terang ketika mendengar Laskar Pelangi difilmkan, satu adegan yang saya setengah mati ingin lihat adalah ketika Lintang beradu ilmu fisika dengan si Bapak Guru sekolah elit. Sungguh saya masih menyimpan keinginan itu ketika berdesakan di loket bersama berpuluh orang-tua yang menggandeng anak-anaknya. Dan ternyata kemudian terbukti saya kecewa. Tapi paling tidak saya tidak sendirian. Teman saya pun sama kecewanya dengan saya karena kehilangan adegan itu.

Jadi Bang, bagaimana kalau buku-buku itu disinetronkan saja? Agar tak banyak bagian yang harus tergerus, agar makin banyak yang bisa mengambil inspirasi dari dalamnya. Tapi Bang, jika memang Abang setuju, tolong jangan dibuat ala India yang seringkali ruwet melingkar-lingkar tak keruan. Tolong buatlah tetap sederhana ala Belitong. Mungkin seperti Surat Untuk Sahabat, Para Pencari Tuhan, Si Doel Anak Sekolahan, atau Kiamat Sudah Dekat. Bukankah akan cantik itu Bang?

Tolong ya Bang, dipikirkan usulan saya ini. Jika Abang setuju dan menemukan penggarap yang sederhana tapi oke, tentu saya akan bisa melihat Bapak dan Ibu saya duduk berdampingan di depan telebisi dengan tenang tanpa berdebat. Dan juga tema sinetron kita tak akan lagi cuma melulu rebutan laki dan harta.

Jadi bagaimana, Bang? Setujukah?


Tidak ada komentar: