Minggu, 21 Desember 2008

Turun (dong) .....

Baru-baru ini pemerintah menurunkan harga BBM. Kebijakan yang tentu disambut dengan gembira oleh seluruh masyarakat, termasuk saya. Dan terus terang saya tak peduli apakah itu kebijakan yang tendensius, mengingat bakal ada hajatan besar tahun 2009 ini, atau tidak. Yang penting bagi saya BBM akhirnya turun juga setelah masyarakat mendesak-desak. Dan desakan berdasar logika sederhana (bahwa dulu pemerintah menaikkan harga BBM karena harga minyak dunia meroket, dan sekarang seharusnya pemerintah menurunkannya karena toh harga minya dunia sedang turun) ternyata ampuh juga, walau awalnya alasan pemerintah banyak juga. Mentamben bilang bahwa menurunkan harga BBM bukan wewenangnya. Terus menteri lain juga beralasan bahwa penurunan harga BBM akan membuat pemerintah harus merevisi anggaran. Tapi syukurlah akhirnya harga BBM turun juga.

Tapi, ternyata penurunan itu tidak langsung membuat tarif angkot turun seperti harapan saya. Ketika harga BBM diumumkan naik tempo hari, besok paginya ketika berangkat kerja saya langsung ditodong tarif angkot yang sudah naik 500 perak dari biasanya. Kernet angkot bilang, "BBM naik, mbak." Ya sudah saya bayar saja, walaupun gaji saya belum naik (dan sampai detik ini pun belum juga naik). Nahhhhhhh ...sekarang giliran harga BBM turun, ehhhhhhh besok paginya saya tidak disambut dengan tarif angkot yang turun. Kenapa? Di televisi para pelaku bisnis tranportasi berkicau bahwa penurunan harga BBM tidak bisa membuat tarif angkutan langsung turun. Karena biaya BBM hanya mengambil porsi 25-30% dari biaya operasional keseluruhan. Dan lagi penurunan harga BBM tidak otomatis membuat harga suku cadang turun. Penurunan harga suku cadang baru terjadi jika ATPM menurunkan harga. Dan lagi penurunan tarif angkutan tidak bisa langsung terjadi karena toh Organda belum menentukan tarif baru berdasarkan harga BBM terbaru tersebut. Seorang tokoh pengusaha yang lain beralasan bahwa walau harga BBM turun tapi harga bahan pokok juga belum turun jadi tarif angkutan tidak bisa langsung turun juga. Ehmmmmmm ....... saya jadi cuma bisa menghela nafas karena semua alasan itu. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal bagi saya adalah alasan sederhana sang sopir angkot, yaitu dia tidak bisa menurunkan tarif karena juragannya juga belum menurunkan jumlah setoran. Nah saya anggap saja ini intinya.

Jadi ketika urusan naik adalah urusan yang sederhana dan serba otomatis, maka urusan turun adalah sebaliknya. Alias susahnya minta ampun. Rasanya tidak cuma masalah turun tarif saja. Turun-turun yang lain pun sama susahnya. Mau contoh? Lihat saja bagaimana orang-orang Thailand menduduki bandaranya sendiri demi membuat Somchai Wongsawat turun dan mencegahnya berkuasa kembali. Jauh sebelum itu ada Cory Aquino dengan gerakan 'kuning'-nya demi membuat Marcos turun. Para mahasiswa Indonesia juga harus berdemo berhari-hari, bahkan akhirnya menelan banyak jiwa, demi membuat Soeharto turun. Dan juga lihat bagaimana hakim-hakim di MA membuat aturan-aturan yang konon menurut banyak pihak demi menghindari segera turun. Juga lihat tingkah para anggota DPR yang sekarang mati-matian berkampanye meraih hati konstituennya agar tidak turun.

Ahhhhh....... mungkin turun memang sesuatu yang tidak menyenangkan. Termasuk turun berok yaaaaaa.... hehehehehe..... Mungkin satu-satunya yang turun dengan sukarela adalah ......... HUJAN.

Tidak ada komentar: