Judul buku : MAYA
Pengarang :
Ayu
Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia
Tebal : xii + 249 halaman
Cetakan : 2013
Kalau diibaratkan pacaran, perasaan saya terhadap karya Ayu Utami penuh
dengan pasang surut, naik turun. Saya jatuh cinta setengah mati pada Saman,
terus makin cinta saat Larung lahir. Tapi kemudian biasa-biasa saja pada
Parasit Lajang, juga Bilangan Fu. Sedikit senang pada Manjali dan Cakrabirawa.
Lalu anjlok lagi saat membaca Cerita Cinta Enrico. Yang terakhir ini malah
membuat saya kehilangan minat membaca karya Ayu Utami selanjutnya. Sampai satu
hari saya ‘terpaksa’ memilih Maya di sebuah toko buku online, sekedar agar paket buku yang saya pesan genap sekilo dan
tak membuat saya rugi membayar ongkos kirim. Dan ternyata Maya cukup punya daya
untuk menyembuhkan perasaan saya, walau kekuatannya belum seampuh Saman dan
Larung.
Melalui Maya, Ayu agaknya bermaksud membuat ‘jembatan’ kecil yang menghubungkan Saman dan Larung ke serial Bilangan Fu. Sebutir batu membawa Yasmin; salah satu karakter di Saman dan Larung; bertemu dengan Parang Jati; salah satu tokoh dalam serial Bilangan Fu. Dan keterhubungan tersebut kemudian makin jelas karena ternyata jauh sebelumnya Saman telah mengenal keluarga Suhubudi, termasuk Parang Jati semasa bocahnya. Seketika itu juga saya bertanya-tanya apakah sebenarnya Ayu Utami telah membuat semacam grand design untuk semua karyanya sehingga mulai membangun ‘jembatan’ untuk kami pembacanya? Jika benar begitu maka nantinya akan karya yang mempertemukan karakter-karakter lain lintas serial. Atau mungkin nantinya akan ada semacam karya final untuk menceritakan peran, fungsi, dan keterhubungan semua karakter dalam satu peristiwa besar entah apa itu. Dan jika memang benar begitu, sungguh saya sangat bergairah untuk menantikan karya final tersebut. Tapi tak tahu lagi kalau Ayu sekedar hendak mengajak pembacanya untuk bernostalgia dengan Saman dan Larung yang sudah lama lewat, sekedar untuk mengenang kisah cinta tersembunyi yang tak pernah selesai karena terpenggal begitu saja dengan hilangnya Saman di akhir cerita Larung. Kalau yang benar adalah kemungkinan kedua ini, ya tak masalah juga sih. Toh, Maya sudah kadung berhasil mengembalikan mood saya terhadap buah karya Ayu Utami.
Maya menyuguhkan kisah
tentang orang-orang tak sempurna secara fisik, yang kenyataannya memang kerap
tak punya tempat di lingkungan manusia yang menganggap dirinya ‘sempurna’.
Pendek kata, mereka terpinggirkan. Saking pinggirnya sampai KTP yang menjadi dokumen
pribadi paling standar pun tak ada. Dalam praktek kehidupan masyarakat nyata
mereka dianggap tak eksis. Mereka hanya ada dalam ‘dunia’ kecil yang dibuat Suhubudi
di lingkungan padepokannya. Hanya di dalam situ mereka diakui keberadaannya.
Bahkan Suhubudi juga bisa membuat mereka menjelma menjadi sosok impian
masing-masing di kala malam, walau hanya melalui satu pertunjukan. Hanya di
saat di panggung itulah mereka menjadi sempurna.
Rasanya bukan Ayu Utami
kalau tidak meramu ceritanya dengan latar belakang politik. Begitu juga dengan
Maya, Ayu menggunakan setting waktu menjelang
keruntuhan Orde Baru. Juga dibumbui dengan pernik klenik berupa sebutir batu yang
konon memang cukup dipercaya oleh pucuk tertinggi pemimpin negeri ini saat itu.
Akhirnya bahwa seorang yang sebenarnya nyaris mendekati sempurna pun bisa
menggantungkan keping akhir kesempurnaannya itu pada sebutir batu. Jika sudah
demikian, bagaimana dengan mereka yang jelas tak sempurna?
Ya, Maya tak dengan
cengeng dan melankolis melulu bertutur tentang kisah cinta Yasmin-Saman. Maya
jauh melampaui itu, menyuguhkan sebuah perjalanan spiritual, dengan nuansa huru
hara politik. Kisah Yasmin-Saman ibarat jalan masuk menuju esensi Maya yang
sesungguhnya. Jadi jujur saja, saya termasuk pembaca yang terkecoh karena
sempat mengharapkan ada cerita panjang lebar tentang sejoli itu. Terbukti
kemudian Ayu tak menyajikan yang saya harapkan. Tapi saya tak kecewa karena Ayu
malah memberikan yang lebih baik dari harapan saya. Ayu juga meneguhkan bahwa
pun ketika ada unsur Yasmin-Saman di dalamnya, Maya tetaplah Maya yang bagian
dari serial Bilangan Fu, bukan Maya yang penuh ‘aroma’ Saman atau Larung. Dan
saya yakin ini jelas ditangkap oleh pembaca yang mengikuti kiprah seorang Ayu
Utami dari awal. Dan lagi-lagi jika saya saya diminta untuk memeringkatkan,
maka saya menempatkan Maya di atas Manjali dan Cakrabirawa dan Bilangan Fu.
Tapi tetap, dari sekian banyak karya Ayu Utami, Saman dan Larung-lah
pemuncaknya. Paling tidak sampai saat ini belum tergantikan. Mungkin akan
datang saatnya nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar