Judul buku : PULANG
Pengarang :
Leila
S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer
Gramedia
Tebal : viii + 461 halaman
Cetakan : 2012
Saya tidak tahu bagaimana ‘hukumnya’ belajar sejarah dari sebuah novel. Tapi yang pasti membaca Pulang bagi saya serasa membaca sebagian sejarah tak tertulis dari bangsa ini. Rasanya tak banyak buku yang mengisahkan perjalanan hidup para eksil dan keluarga tapol. Dan Leila S. Chudori membuat Pulang sebagai salah satu dari yang sedikit itu. Untuk saya pribadi, tema yang diusung oleh Pulang sangat menarik. Dan untungnya lagi lahir dan terbit setelah masa Orde Baru usai dan bangsa ini masih dirasuki euforia reformasi dan kebebasan.
Adalah Dimas, Nugroho,
Tjai, dan Risyaf, empat sekawan yang tengah berada di luar negeri ketika
peristiwa G30S/PKI terjadi. Pemerintah mencabut paspor keempatnya karena alasan
politik sebelum mereka sempat pulang. Jadilah mereka empat sekawan tanpa status
kewarganegaraan yang jelas, menggelandang, hingga akhirnya mendapatkan suaka
dari Perancis dan menetap di Paris. Dan dari sekian cara yang ditempuh demi
bertahan hidup, akhirnya Restoran Tanah Air-lah yang berhasil menjadi sandaran.
Tak hanya itu, Restoran Tanah Air juga seakan menjadi satu-satunya benang merah
bagi keempatnya. Tak peduli betapa mereka telah terusir dari tanah air sendiri
dengan cara yang begitu menyakitkan, tetap saja kerinduan hadir kapan saja tak
terhindarkan. Apalagi masing-masing sadar banyak hal di masa lalu yang tak
begitu saja bersama dengan dicabutnya status kewarganegaraan mereka. Ada
keluarga-keluarga di tanah air yang harus mengecap kesusahan karena hubungan
darah dengan mereka.
Lintang, generasi berikut
dari empat sekawan, menemukan jalan mengenal tanah asal dari sebagian darahnya
melalui tugas akhir kuliah yang mengharuskannya benar-benar pergi mengunjungi
Indonesia. Dan jika ‘takdir’ yang membuat empat sekawan terpaksa terpental dari
tanah kelahiran mereka karena sebuah revolusi, maka ‘takdir’ pula yang membawa
Lintang ke Jakarta tepat pada akhir masa pemerintahan Orde Baru. Sejak
menginjakkan kakinya di Indonesia, Lintang menemukan banyak hal, tak hanya
tentang keping-keping masa lalu empat sekawan, tapi juga realitas kebobrokan
masa kini, juga perjuangan untuk meraih masa depan.
Novel ini layak untuk dibaca oleh semua
kalangan, terutama mereka yang lahir dalam masa ketentraman Orde Baru seperti
saya. Saya yakin generasi saya ke bawah mengenal revolusi bangsa ini yang
dipicu peristiwa tahun1965 hanya dari buku-buku sejarah standar. Mungkin ada
juga yang mendengar pengakuan dari orang-orang tua yang mengalaminya. Tapi saya
yakin tak banyak. Juga tak cukup lengkap karena yang saya tahu para pelakon di
jaman itu cenderung berusaha melupakan dalam senyap. Dan memang ada saat ketika
sejarah bangsa pada masa tersebut secara politis terlalu sensitif bahkan untuk sekedar
dituturkan. Karenanya ketika novel ini hadir, saya merasa bagai orang yang
diberikan kado kecil berupa dua babak cerita pasang surut bangsa ini. Babak
pertama saya tak menyaksikan langsung. Sementara babak kedua adalah babak yang
saya alami. Unik, sekaligus menggugah.
Ya, sejarah. Ibarat sebuah
perjalanan panjang, sejarah adalah jejak langkah yang kadang terang terbaca,
kadang hanya samar-samar terhapus angin, dan di saat yang lain malah terhapus
sama sekali. Saya senang, dari sekian panjang sejarah bangsa ini, Leila memilih
menulis bagian yang samar-samar sebagai satu titik berat. Bagian yang
didalamnya ada carut marut bangsa yang tengah terbelah, sehingga ada
orang-orang yang terpinggirkan bahkan tercerabut dari akarnya. Saya tidak
sedang menobatkankan karya ini sebagai sebuah buku sejarah yang sah. Tentu saja
tidak. Novel tetaplah novel. Hanya saja novel berlatar sejarah ini bisa jadi
satu langkah kecil untuk menengok lebih jauh ke belakang, menerimanya sebagai
bagian dari riwayat berbangsa, dan pada akhirnya belajar darinya. Sebab sampai
hari inipun jika dicermati masih ada luka-luka yang tersisa. Dan pendekatan
dalam bentuk sebuah novel tentu lebih gampang untuk diterima oleh banyak orang
ketimbang memoar yang bisa jadi cara pandangnya subyektif. Sebagai novel yang
banyak bicara tentang politik, Pulang juga tak jadi membosankan karena ada
unsur romantika yang walau getir tapi tetap indah.
Sebelum Pulang, saya
membaca karya Leila yang berjudul 9 dari Nadira. Jika diperbandingkan, 9 dari
Nadira terasa lebih personal. Dan jika lebih jauh diminta untuk merankingkan
keduanya, maka saya menempatkan Pulang dua tingkat lebih tinggi dari 9 dari
Nadira karena keluasan cakupannya. Jika ada yang agak kurang memuaskan saya,
mungkin hanya ending dari Pulang yang terasa tergesa-gesa karena sebuah
kematian, seperti sebuah pintu yang mendadak ditutup. Tapi tak apa, mungkin itu
hanya perasaan saya sebagai penikmat yang tak keberatan membacanya lebih lama.
Oh ya, satu lagi yang
menjadi nilai plus dari buku ini, ilustrasi grafis di bagian dalam bagus
sekali. Acung dua jempol khusus untuk hal istimewa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar