Kamis, 16 April 2009

Pesta Atau Dagang?

Pemilu katanya pesta demokrasi, katanya pesta rakyat. Jadi tanggal 9 April tempo hari seluruh rakyat Indonesia berpesta. Merayakan apa? Merayakan demokrasi, mungkin. Yang pasti sebelum tanggal tersebut, begitu banyak manusia-manusia berbudi luhur dimana-mana, termasuk di televisi dan sekitar lingkungan hidup saya. Ada yang mengirim pasir, batu, dan semen untuk perbaikan jalan desa. Ada yang memberikan pelayanan kesehatan gratis. Ada yang jadi senang 'cangkrukan' jajan bakso bareng warga kampung. Ada yang memberikan televisi untuk pos keamanan. Ada yang merelakan lahannya dijadikan pasar pagi. Ada yang dengan riang memberikan bantuan alat musik untuk kegiatan kampung. Ada yang jadi rajin bertamu dari satu rumah ke rumah yang lain. Di televisi tak kalah ramainya. Banyak orang berbicara dengan mimik penuh perhatian dan sungguh-sungguh betapa mereka cinta dan akan berbuat semua hal baik untuk negeri dan rakyat ini. Tiap hari mereka berdebat, berusaha menunjukkan pada pemirsa yang satu lebih berbudi dari yang lainnya. Dan kadang saking ramainya perdebatan itu sampai-sampai host-nya malah tidak kebagian waktu bicara sehingga perlu berkata "boleh saya bicara?" berkali-kali hanya untuk membuat mereka semua diam sejenak dan mendengarkan orang lain. Nah ..... kalau sekarang saja mereka susah mendengarkan orang lain, apalagi nanti .....

Sekarang satu tahapan pesta sudah berakhir walau dengan carut marut yang konon tak karuan. Dan itupun masih ditambah dengan tingkah aneh-aneh dari para caleg yang tidak dapat suara cukup. Ada yang menarik kembali televisi yang sudah diberikan. Ada yang menutup lahan pasar. Ada yang stress sehingga membuat keluarganya melarikan ke paranormal terdekat. Ada yang malah meninggal karena shock dan kecewa. Ehmmmmmm .........

Jadi sebenarnya apakah ini benar pesta? Pesta yang menelan korban? Pesta yang cuma keriaan sementara dan beberapa saat kemudian kembali ke realitas bahwa rakyat ya tetap saja rakyat, yaitu obyek penderita. Jadi kalau sudah begitu apa yang dirayakan?

Seorang teman menjawab dengan cepat ketika saya bertanya apakah dia menggunakan hak contrengnya tempo hari. Dia bilang, "Jelasssss ...saya kan warga negara yang baik. Lagian kan saya kepengen tahu rasanya salah pilih ..." Sebenarnya awalnya saya merasa tertohok oleh kalimat pertama dari jawabannya, karena saya tidak bernapsu untuk melakukannya sehingga memilih untuk mengerjakan side job di hari H pesta akbar itu. Tapi setelah mendengar kalimat kedua, saya jadi tidak terlalu merasa berdosa. Salah pilih. Ehmmmmm ....... hebat ya teman saya itu. Dia bisa dengan legowo menerima kenyataan bahwa mencontreng nyaris identik dengan salah pilih tapi tetap bulat menunaikan haknya. Kanapa para caleg itu tidak bisa bersikap sama seperti teman saya? Oooohhhhh ... karena teman saya tidak keluar modal, sedangkan para caleg itu semua keluar modal, banyak pula. Ya ya ya ....... Tapi siapa juga ya yang suruh bagi-bagi uang, kaos, dan pasang iklan diri?


Menurut saya, ini sebenarnya bukanlah pesta. Mungkin baru suatu saat nanti akan bisa jadi pesta, ketika rakyat sudah benar-benar mengerti apa itu demokrasi, ketika caleg benar-benar sadar bahwa menjadi anggota lembaga legislatif itu bukanlah profesi dimana dia bisa menarik untung sebesarnya, ketika KPU benar-benar tahu apa yang harus dilakukan, ketika partai sepakat bahwa pengabdian pada bangsa dan negara bukanlah jargon omong kosong semata, ketika ........... , ketika ........., dan entah berapa ketika lagi.....


Jadi, sementara ini belum bisa dilabeli sebagai pesta demokrasi maka bagaimana kalau kita labeli saja sebagai dagang demokrasi?

Tidak ada komentar: