Rabu, 16 Desember 2009

Hari Ini Surabaya Banjir (Lagi)

Surabaya sore tadi mendung tebal lalu hujan lebat. Sebenarnya saya tidak terlalu memperhatikan berapa lama hujan turun. Berada dalam ruang kerja dengan horisontal blind dan membelakangi jendela membuat saya kurang peka dengan hal itu. Yang pasti ketika reda pun saya masih menunda pulang dengan memilih menunaikan sholat Magrib terlebih dahulu. Begitu keluar kantor, langit masih jingga, bagus sekali. Hati jadi ikut jingga ehhehehehe....

Tapi jingganya hati saya tak berlangsung lama. Ban angkot yang saya tumpangi mulai berkecipak dengan air. Sekitar 6 kilometer dari kantor, jingga di hati saya hilang sama sekali, berganti dengan resah. Cuma satu yang ada di dalam otak saya : BANJIR. Dan benar.... begitu berganti angkot, genangan air mulai tampak. Lalu lintas merambat. Makin ke arah daerah tempat tinggal saya genangan air makin tinggi dan lalu lintas makin lambat. Makin banyak sepeda motor digiring pengendaranya ke pinggir karena busi yang sudah basah dan knalpot kemasukan air. Doa semoga angkot yang saya tumpangi diberi kemampuan lebih untuk terus berjalan mulai memenuhi hati dan otak saya.

Surabaya..... ehmmmmm waktu kemarau panas bukan main. Tapi begitu musim penghujan tiba, hawa panas tak terhalau sepenuhnya dan masih berbonus banjir pula. Tapi itulah Surabaya adanya. Saya pernah begitu putus asa karena kipas angin yang saya pasang tak mampu membuat saya tidur dengan nyaman (seorang teman berkomentar "ya pasang AC donggggg..."). Tapi di lain waktu saya juga pernah dipaksa berjalan kaki dari kantor dalam genangan air rata-rata mencapai lutut saya. Waktu itu paling tinggi genangan airnya nyaris mencapai pinggang saya. Olala...... Dan begitu mencapai rumah, yang saya rasakan adalah lelah, dingin, dan lapar luar biasa.

Jadi, kalau diminta untuk memilih antara musim kemarau dan musim hujan untuk Surabaya, terus terang saya tidak punya jawaban. Keduanya punya konsekuensi masing-masing yang saya sama-sama pernah merasa tak nyaman.

Tempo hari saya menonton acara televisi yang mengurai masalah perubahan iklim. Dan salah satu bukti perubahan iklim adalah musim kemarau makin panjang, dan musim hujan makin pendek. Ehmmm lalu bagaimana dengan Surabaya? Akan lebih panaskah? Woooowww..... Dan bagaimana dengan banjirnya? Logika saya alam yang kian rusak akan membuat banjir makin tak terkendali. Jadi akan berapa tinggi lagi banjirnya? Akankah Surabaya akan jadi versi 'lain' dari Venesia? Jadi mungkin suatu saat nanti rumah di Surabaya menjadi berupa rumah panggung dan angkot akan berganti dengan perahu kota. Aiihhhhhh ......

Lalu apa yang harus saya lakukan untuk membantu memperbaiki kondisi Surabaya? Saya tak tahu persis jawaban jitu untuk pertanyaan ini. Yang pasti hal yang sudah saya lakukan adalah membayar tanggungan pajak saya (apakah ini akan masuk ke pos yang tujuannya memperbaiki Surabaya? entahlah), membuang sampah pada tempatnya (bukan di selokan atau sungai), dan menggunakan kendaraan umum kemana-mana agar tidak menambah kandungan emisi di udara (alasan sebenarnya belum kuat beli kendaraan pribadi kaliiiii..., ini komentar teman saya). Ehmmmm sedikit sekali ya yang sudah saya lakukan? Wah wah wah ....... tapi tetap saja saya tidak merasa cukup pantas mendapat bonus bajir!!!! Dan karena itu tadi sewaktu di angkot, di sela-sela doa, saya sempat berharap semoga suatu waktu Presiden SBY terjebak banjir pada saat ada acara penting di Surabaya. Lalu Pak Presiden marah dan Pemerintah Daerah jadi tak lagi menunda-nunda untuk bergiat menanggulangi masalah banjir ini. Sebab kadang perlu sentilan dari yang ada di atas untuk membuat sesuatu dikerjakan secara serius, tak melulu berkilah atas nama dana yang terbatas. Dannnnn saya berharap yang menyentil itu cukup yang ada di atas dalam artian yang kedudukannya maksimal setara dengan Presiden. Sebab kalau yang menyentil itu lebih tinggi lagi, yaitu yang berkuasa atas langit dan bumi widiiihhhhhhhhhhhhh betapa menakutkannya .....

Iya ga?

Tidak ada komentar: