Kamis, 17 Desember 2009

Laki-Laki Biasa

Hari ini ulang tahun Bapak saya, laki-laki yang sebagian darahnya mengalir di tubuh saya. Sebagai salah satu anak perempuannya, saya selalu diidentifikasi oleh Ibu saya sebagai 'pendukung setia Bapak'. Hehheheehe ...saya akui Ibu saya tidak sepenuhnya salah dengan pernyataan itu. Tapi bukan berarti saya tidak pernah berada di pihaknya. Saya cuma berusaha untuk seimbang terhadap mereka berdua, sebab kedua kakak biasanya lebih condong ke Ibu. Jadi kalaupun sampai diperlukan voting, dengan atau tanpa suara saya Bapak saya sudah kalah. Saya cuma berfungsi untuk memperkecil jarak skor saja.... hehehhehee ....

Bapak. Begitu saya selalu memanggil laki-laki biasa itu. Dan sebagai anak bungsunya, saya punya banyak ingatan tentang dia. Dan ingatan-ingatan itulah yang membuatnya lebih dari sekedar laki-laki biasa di mata saya.

Setiap orang tua pasti mengajarkan banyak hal pada anaknya. Dan pelajaran tentang rasa keadilan paling besar saya dapatkan dari dia. Dia mengajarkan pada saya rasa keadilan seorang manusia biasa. Dan dia tak pernah mungkir ketika saya memprotesnya lantaran menganggapnya telah menyalahi apa yang telah diajarkannya pada saya. Tidak mungkir, tidak juga berdalih. Pada saat seperti itu saya boleh menunjuknya sebagai yang bersalah, tak peduli dia adalah bapak saya. Pelajaran tentang kesetaraan :)

Ibu saya pernah bilang, sayalah anak yang paling dia sayang. Tapi jujur saya tidak pernah sepakat dengan hal ini karena saya lihat dia membagi sayangnya rata pada kami bertiga, anak-anaknya. Kalau dia menyayangi saya tentu dia tidak memaksa saya mengenakan sepatu olah raga bekas kakak .... Saya ingat kejadian itu. Sepatu olah raga saya rusak. Sedangkan ada satu acara olah raga se-Kecamatan, yang entah untuk peringatan hari apa saya lupa, mengharuskan pesertanya mengenakan sepatu olah raga warna putih. Sepatu punya saya rusak dan kalaupun bisa dipakai warnanya hitam. Jadi melaporlah saya pada Bapak. Dengan enteng Bapak saya bilang pakailah yang ada karena belum ada uang untuk membeli sepatu baru. Saya bilang adanya sepatu bekas kakak saya yang ukurannya 2 nomer di atas kaki saya. Jawabnya, masih dengan enteng,"berarti cukup kan dipakai? Ayolah, jangan membuat Bapak susah cuma karena tak punya uang untuk membelikanmu sepatu baru". Ehmmmmmmm..... jadilah saya mengenakan sepatu kebesaran yang talinya diikat erat-erat agar bisa tetap bertahan di kaki ketika saya berlari. Dan ternyata setelahnya saya jadi betah memakai sepatu kebesaran. Sampai sekarang setiap kali membeli sepatu kets, saya selalu mengambil ukuran mnimal satu nomor di atas ukuran normal saya :)

Ehmmmm ..... rasanya Bapak saya juga orang yang pertama menghargai kegemaran saya menulis. Waktu itu saya masih kelas 5 SD. Guru menyuruh saya membuat karangan dua ribu kata yang ceritanya tentang sebuah desa. Saya buatlah karangan itu, mengalir begitu saja. Ternyata karangan itu membuat saya menjadi juara kedua lomba mengarang tingkat SD sekecamatan. Tanpa memahami makna dari predikat itu, saya memberitakan pada Bapak. Dan dia terbeliak lalu bilang "waahhhh ..berarti besok-besok kamu bisa jadi penulis terkenal. Penulis itu bisa hebat loh .... sama hebatnya dengan dokter dan insinyur". Kata-kata itu tidak berarti banyak bagi saya karena lagi-lagi saya tidak terlalu memahaminya. lalu saya bilang bahwa menurut guru saya harus bertanding di tingkat Kabupaten. Wajahnya sumringah. Pada hari H, dia mengantarkan saya ke lokasi. Dan betapa kecewanya dia ketika ternyata guru saya salah informasi. Ternyata hanya juara pertama saja yang harus bertanding di tingkat Kabupaten. Bapak saya nggondok berat, merasa anaknya didiskrimasikan. Sedangkan saya, ehmmmmmm .... belum juga paham arti semua itu .... hehehhheeheh .... Tapi syukur walau tak paham saya masih ingat ucapannya bahwa menjadi penulis sama hebatnya dengan menjadi dokter ataupun insinyur.

Di masa kuliah lagi-lagi Bapak memotivasi saya dengan caranya sendiri. Sebagai pegawai negeri biasa, membiayai tiga anak kuliah adalah beban yang lumayan beratnya. Tapi dia tetap mengirim kami semua untuk kuliah dengan wanti-wanti dilarang kuliah sambil bekerja. Dan alasannya adalah orang yang bekerja dan merasakan enaknya cari dan dapat duit akan cenderung menyepelekan masalah pendidikan. Saya sempat memprotes hal itu karena toh bayak orang yang kuliah sambil bekerja dan hasilnya beres-beres saja. Tapi keputusannya bulat, tanpa tawar-menawar. Jadilah uang gajinya habis dibagi antara kami bertiga dan membayar cicilan bank (karena setiap kali anaknya masuk kuliah, Bapak akan mengambil pinjaman untuk membayar uang gedung dsb). Saya tahu persis betapa susahnya hidup Bapak dan Ibu waktu itu. Dan sebenarnya kami bertiga pun kuliah dengan fasilitas yang tak berlebihan. Setiap awal bulan, Bapak mengharuskan kami bertiga pulang untuk mengambil uang jatah bulanan. Dan pada hari itu, di depan kami Bapak akan membeber uang gajinya yang sudah terpotong oleh cicilan bank, lalu membagikan kepada kami. Saat itu kami tak hanya tahu berapa rupiah yang kami dapat, tetapi juga jadi tahu berapa rupiah yang tersisa untuk Bapak dan Ibu di rumah. Rupiah yang tersisa di rumah tak pernah lebih banyak dari yang Bapak genggamkan ke tangan saya. Dan saya merasa berdosa, walaupun jumlah yang diberikannya tidak membuat saya kuliah dengan dukungan fasilitas yang sempurna. Malah di akhir bulan seringkali saya berhutang pada teman untuk membeli kertas gambar, atau mengganti menu makan dengan mie instant karena uang jatah harus terkuras untuk sebuah mata rapido. Rasa berdosa inilah yang membuat saya rela-rela saja menambah beban kredit per-semester cuma dengan satu tujuan : cepat lulus. Dan komentar Bapak waktu itu adalah : "jangan cuma cepat lulus tapi nilai ngepas!" Ehmmmmmm ....beruntung saya bisa lulus dalam 4 tahun dengan nilai yang cukup pula.

Gaji pertama.... ehmmmm.... saya ingat sekali betapa senangnya mendapat gaji pertama. Dengan gaji pertama, saya membelikan sehelai kemeja untuk Bapak. Warnanya putih dengan garis-garis vertikal biru tegas. Saya tahu Bapak senang. Tentu saja dada saya nyaris meledak karenanya. Tapi ternyata masih ada hal lain yang membuat dada saya pecah. Ternyata berbulan-bulan Bapak menyimpan kemeja hasil keringat pertama saya itu di tumpukan teratas bajunya, lengkap dengan plastik pembungkusnya, dan sesekali menengoknya seolah itu adalah harta berharga yang tak ternilai. Ahhhhhh.... waktu itu air mata saya turun satu-satu..... terlebih hal seperti ini pernah saya alami sebelumnya. Ketika itu dia berulangtahun, saya lupa yang keberapa. Saya kirimkan kartu ucapan untuknya, tapi isi dalam seluruhnya saya tulis pakai bahasa Inggris, walau saya tahu dia tidak mengerti bahasa Inggris. Waktu itu saya melakukannya karena terpikir dia tidak akan percaya jika membaca kalimat sanjungan saya. Jadi saya buatlah semua kalimat itu dalam bahasa yang dia tak mengerti. Dannnnnnnnnn berminggu kemudian ketika saya pulang, saya dapati ada kamus bahasa Inggris di dekat tempat tidurnya, dan kartu saya terselip di dalamnya. Lalu berbulan kemudian ketika saya pikir kartu itu sudah terbuang ternyata saya temukan kembali di dalam tas kerjanya ...... Dan sekarang, setiap kali menggenggamkan sedikit rupiah ke tangannya dan dari mulutnya keluar ucapan terima kasih, saat itulah saya merasa malu sekali. Kata itu tak pantas keluar dari mulutnya dan saya juga tak pantas menerimanya. Apa yang saya genggamkan ke tangannya hanyalah sekedar pembeli koran atau remeh temeh yang diinginkannya, sama sekali tak sebanding dengan tahun-tahun susahnya bersama Ibu berbuat sesuatu untuk saya......

Ahhh itulah Bapak saya. Manusia tak sempurna. Lelaki biasa. Tapi demi Allah saya beruntung menjadi salah satu anaknya.

Selamat ulang tahun, Bapak......

Tidak ada komentar: