Minggu, 09 Desember 2007

tentang seorang teman

Seorang teman; seorang bapak; kehilangan nyawa anak keduanya sekitar seminggu yang lalu. Diagnosa dokter, anak tersebut menderita leukemia akut. Diagnosa 'orang pintar', ada roh kakek-kakek yang dulunya meninggal karena leukemia menempel pada anak tsb, sehingga si anak yang sehat menjadi terlihat terlihat sakit.

Sang bapak cuma bisa meneguk ludah, karena tak ada uang di kantong, di lemari, di bawah bantal, ataupun di rekening tabungan. Tak ada biaya untuk ambil cairan sumsum tulang belakang dan kemoterapi seperti yang diminta dokter. Jadi si anak dibawa pulang untuk dirawat di rumah.

Sementara 'orang pintar' menganjurkan cara yang murah. Hanya dengan sekomat-kamit mantra dan air putih dalam gelas untuk mengusir roh kakek yang menempel.

Tahu hal itu, kumarahi sang bapak, dan menghunjamkan tuduhan bahwa dia tidak cukup berusaha untuk memenangkan nyawa anaknya, padahal anak adalah tanggung-jawab orangtuanya. Kusuruh dia urus kartu Gakin, karena menurut informasi dengan kartu tersebut kemoterapi bisa gratis di satu RS pemerintah. Kuceramahi sang bapak tentang bagaimana cara berusaha dengan sangat keras. Kukatakan bahwa dia harus menerobos semua celah karena tengah berkejaran dengan waktu ajal.

lalu sebulan kemudian, sekitar setengah delapan pagi, sms masuk ke ponselku. Si anak meninggal. Aku tercenung, teringat kegemasan terhadap bapaknya yang memilih percaya kepada komat-kamit mantra dan air putih dalam gelas, ketimbang menyodorkan kartu Gakin di loket RS. Bodoh sekali, umpatku dalam hati.

Di depan jenazah anaknya, kusalami dia. Mata dan hidungnya berair. Dia bilang aku mengatakan hal yang benar ketika bilang dia sedang berkejaran dengan waktu ajal. Sementara aku kembali tercenung. Ini bukan kali pertama aku mengunjunginya di rumah. Tapi kunjungan kali ini menyegarkan ingatan bahwa dia hanyalah seorang bapak yang harus menghidupi istri dan 4 anaknya (kini jumlah berkurang menjadi 3) dengan gaji yang hanya sejuta.

Kini aku mengerti mengapa dia menggantungkan harapan pada komat kamit mantra dan segelas air putih. lalu aku malu terhadapanya karena hanya bisa memarahi dan menuduhnya sebagai bapak yang tak cukup berusaha untuk memenangkan nyawa anaknya.....

Maaf ......

Tidak ada komentar: