Minggu, 23 Desember 2007

India






India.Yang pertama kali muncul di benak ketika itu disebut adalah Shahruk Khan. Terus terang memang dia yang muncul pertama di benak walaupun faktanya cuma sekitar dua saja dari filmnya yang pernah saya tonton secara lengkap, yaitu Asoka dan Kuch Kuch Ho Ta Hai (maaf jika salah penulisannya). Meski termasuk penggemar dan penikmat film, tapi saya tidak pernah mamasukkan sinema Bolliwood dalam daftar layak tonton. Alasan utamanya adalah tidak tahan duduk tenang selama tiga jam. Dan lagi saya tidak gemar melihat segerombolan orang menari dan menyanyi dalam gerakan teratur yang serempak, dengan tokoh utama asyik meliuk-liukkan tubuh sambil berpegangan di tiang ataupun pohon. Walau saya percaya sedih dan gembira bisa diekspresikan dengan tarian dan nyanyian tapi tetap saja saya pemandangan seperti itu tampak konyol dan norak di mata saya.




Lalu ada sebuah buku yang memberi saya wacana baru tentang India. Saya kenal Tagore sang legendaris. Tapi justru Arundati Roy yang menjentikkan jari ke muka saya lewat The God of Small Things (Yang Maha Kecil). Saya memutuskan untuk membaca sastra itu lebih karena terprovokasi satu pemberitaan di Kompas. Dan ternyata saya jatuh cinta dengannya, jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya. Jatuh cinta dengan seluruh bagian dari buku itu. Dan tentu saja jatuh cinta dengan cara penulisan yang melantur-lantur ke segala arah tapi terasa indah, bermakna, dan tidak sia-sia. Isinya memperlihatkan betapa dia mengerti akan negerinya, bangsanya, tradisinya. Saya jadi teringat saat ketika saya jatuh cinta pada Para Priyayi dan Jalan Menikung-nya Umar Kayam, juga Arok Dedes-nya Ananta Toer. Lalu beberapa bulan setelah menamatkan Arundati Roy saya kehilanga selera untuk membaca buku yang lain. Saya juga iri dengannya karena kebisaannya membuat suatu ide yang sederhana menjadi sesuatu yang indah, paling tidak di mata saya. Saya salut kepada perempuan sastrawan Indonesia seperti Ayu Utami, Djenar, Ratih Kumala, juga Dee. Tapi saya terpaksa menempatkan Arundati Roy di tempat yang terpisah dengan mereka yang saya saluti itu, walau saya tak hendak memilah mereka dengan kategori bintang tiga atau empat.


Kemudian saya mulai mencari India yang lain. Ada Jhumpa Lahiri dan Citra Banarjee Divakaruni. Lagi-lagi mereka melenakan saya, walau bagi saya belum sedahsyat Arundati Roy. Saya jadi tercenung. Apa yang membuat saya begitu menyukai tulisan dengan cerita yang sederhana itu? Perlahan saya rinci bagian mana dari semua tulisan itu yang paling saya suka. Jawabnya adalah pada bagian yang secara detail memperlihatkan ke-India-an mereka. Ketiga perempuan itu dengan detail menggambarkan sisi-sisi tradisi India kepada saya, melalui hal-hal simpel semisal makanan dan cara memasaknya, sari, juga pernikahan. Dengan semua itu saya merasa seperti sedang digandeng seorang sahabat beda bangsa untuk ditunjukkan hal-hal khas mereka. Saya suka itu. Di tengah pergeseran tradisi dengan mengatasnamakan kemodernan, ketiga perempuan itu menyuguhkan cerita dengan detail ketradisionalan dimana mereka berakar. Dan saya respek terhadap mereka, terlebih setelah tahu bahwa Lahiri lahir dan besar di luar India.


Satu kenyataan membuat saya berpikir tentang apa yang sebenarnya disebut sebagai tradisi. Di Surabaya dan di Jakarta beberapa kali saya temui perempuan India berkeliaran di mal masih dengan sarinya. Mal dan sari di mata saya adalah dua hal yang berseberangan. Satu mewakili kemodernan masa kini, sedang yang lainnya mewakili ketradisionalan masa lalu. Saat itu saya bertanya dalam hati, apakah perempuan-perempuan itu mempertahankan sarinya karena mereka sudah cukup umur alias tua, sehingga tak perlu lagi tampil modis? Bagaimana dengan para gadis yang lebih muda? Saya belum dapat jawabannya.


Ketika ada penugasan ke Singapura tempo hari, saya dan teman sempat mampir ke kawasan Little India untuk mencari oleh-oleh. Dan yang saya temukan disana tentu saja sesuai dengan nama kawasan tersebut. Saya nyaris tak mendengar bahasa Inggris. Dalam hati saya bertanya apakah ini bahasa Bengali? Entahlah. Yang pasti semua dari mereka memperlihatkan ke-India-annya, tidak hanya dengan wajah dan warna kulit saja. Saya jadi berpikir, apakah saya akan tetap setia tidur dengan daster batik jika suatu saat kelak ada kesempatan untuk bermukim lama di Paris, Milan, London, atau New York misalnya? Entahlah...... walau saya gemar berkeliaran kemana-mana dengan kaos barong Bali tapi toh saya tidak bisa menjamin apa-apa.


Seorang teman tertawa ketika mendapati saya bersorak cuma karena menemukan Shalimar The Clown-nya Salman Rusdie di satu rak toko buku di Changi. Dia bilang tidak menyangka kalau ternyata saya India minded. Saya ikut tertawa. Saya bilang saya kepingin tahu seperti apa sebenarnya tulisan Rushdie. Teman saya tak mau percaya begitu saja dan memaksa saya mengakui sebagai penggemar joged India. Daripada ramai saya iyakan tuduhan itu. Toh baru saja saya sadari bahwa sebenarnya saya tertarik dengan India sejak kecil, sejak saya mengenal Mahabarata dan mengeloni komik itu di kasur. Saya tunjukkan kepada teman saya satu buku bergambar dengan judul yang sangat terkenal: Kama Sutra. Dia meneguk ludah dan mulai meneliti halaman demi halaman dan tentu saja gambarnya. Dalam hati saya berkata welcome to 'India'.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wow.... mbak ina bikin blog.... assiikk, aku sdh menduga kalo tulisan sampeyan assooyyy.. asiik mbak, kayaknya sampeyan sdh menemukan media yg cocok mbak, terus aja menulis mbak, trus... "kamasutra....?" wew.. pinjem donk mbak... wekekekkekek.
mbak . . . option komentnya di ubah donk, biar yg selain blogger bisa nitip koment juga