Senin, 17 Desember 2007

orang katrok ke Singapura

Baru seminggu punya paspor, pertama kali naik yang namanya pesawat udara, dan pertama kali pergi ke luar negeri. Kompleks sekali ......

Waktu itu bandara Juanda versi baru, baru saja diresmikan dan beroperasi. Dasar tak pernah bepergian dengan pesawat, waktu itu yang ada di benak adalah Juanda lumayan juga........


Lalu masuk lambung Garuda, untuk pertama kalinya melihat Surabaya dari udara, juga awan-awan yang putih bergelombang.

Akhirnya mendarat. Keluar dari lambung Garuda lewat belalai panjang dan menginjak Changi. Besar sekali. Juga gemerlap. Untung tidak banyak waktu untuk terheran karena penjemput sudah tak sabar.

Singapura di depan mata. Resik. Hijau. Teratur. Bahkan sampah daun jatuh pun terlihat enak di mata. Jalan-jalan yang besar diisi dengan mobil yang tak seberapa jumlahnya. Mobil-mobil bagus pula. Ada beberapa sepeda motor. Tapi tidak ada yang kecil. Semuanya besar dan berkilat. Juga pengendaranya. Sementara di trotoar manusia modis segala warna kulit dan rambut berkeliaran. Yang perempuan rata-rata ber-high heels. Yang lelaki dengan celana bergaris lurus. Semuanya rapi. Lalu yang terpikir di benak adalah adakah kaum papa di antaranya?


Malam datang. Lampu-lampu elok pengganti bintang di Orchard road. Kata orang surganya mereka yang berduit dan gemar shopping. Benar rasanya. Bermacam anak manusia berkeliaran dengan tas belanja segala rupa, segala merk. Merasa sebagai satu-satunya orang yang sibuk belajar matematika karena terus menerus tergoda untuk mengalikan semua harga di label dengan kurs rupiah. Dan semuanya jadi terasa mahal. Akhirnya memuaskan diri dengan melihat mereka yang asyik memilih barang dengan riang dan membayar dengan enteng. Beberapa dari mereka berbicara dalam bahasa Jawa. Beberapa yang lain asyik mengoceh santai dengan gaya loe gue. Jadi berasa masih ada di Indonesia..... Tapi juga jadi berpikir benarkan 49% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan?


Besoknya berkeliling negara kota itu dari pagi. Berfoto disana sini ..... mencoba mengukir jejak. Senang sekali melihat ada jejak Indonesia berupa gambar film Heart dan Kuntilanak di Little India. Heran campur senang ketika para pejalan kaki berhenti untuk memberi waktu untuk setiap turis untuk melanjutkan posenya .... Sopan dan sangat mendukung pariwisata. Pasti tak sedikit turis yang senang dengan perlakuan seperti itu. Itupun masih ditambah lagi dengan kerelaan warga untuk menghampiri dan memberi petujuk setiap kali ada turis yang berhenti di jalan dengan tangan membentangkan peta, tak peduli turis itu blonde atau coklat melayu. Jujur, rasanya agak susah untuk tersesat, jalan-jalan penuh dengan petunjuk yang komunikatif. Belum lagi brosur atau selebaran tentang kota/kawasan yang bisa dengan mudah didapatkan. Jadi teringat ketika tersesat di lorong-lorong Jakarta, Surabaya, dan Semarang.......


Disiplin. Itu yang jelas kentara. Jarang sekali yang nekad menerobos lampu merah untuk pejalan kaki menyeberang walau jalan sedang senyap. Tak terlihat yang membuang sampah sembarangan. Sungguh sistem sanksi yang berjalan baik. Pikiran jadi melayang pada saat tangan dengan mudah melepas sampah di jalanan. Untuk sementara jadi setengah mati menahan diri untuk terus berdiri hingga lampu hijau menyala, juga terpaksa menyimpan bungkus permen di saku celana ketika tak ada tempat sampah di sekitar.... O la la ...berat juga rasanya....


Lalu nongkrong di Changi sangat awal dari jam keberangkatan pesawat. Ternyata Juanda hasil renovasi pun tak ada apa-apanya..... Duty free berserakan dimana-mana.... Tapi tetap saja “belajar perkalian matematika” ketika melihat label harga..... Akhirnya cuma ambil Salman Rushdie karena terpikir mungkin tidak akan ketemu lagi di Indonesia......


Duduk di satu bangku di Changi membuat otak berpikir, ketika Indonesia jadi seperti Singapura secara fisik, lalu seperti apa Singapura sendiri? Seorang teman yang sama “ndesonya” menjawab sekenanya, “Mungkin sudah seperti Gotham City”. Benarkah? Apakah kami berdua terlalu “ndeso” seperti katak tertutup tempurung kelapa sehingga kagum atas semua fisik itu?


Akhirnya masuk kembali ke dalam lambung Garuda dan keluar di Juanda. Seorang petugas berseragam coklat menggiring para TKW ke sudut tertentu untuk pungutan yang konon liar. Jadi teringat kembali akan petugas imigrasi di Changi yang walau tidak terlalu ramah tapi santun dan lurus dalam perlakuan ..... “Ahhh Indonesia ....., right or wrong this is my country,” lagi-lagi teman sesama “ndeso” menyeletuk .... Ya iyalahhhhh .....

1 komentar:

Unknown mengatakan...

weee.. akhirnya sampeyan berangkat juga ke singapura, thanks lho oleh-olehnya mbak.