Rabu, 09 Juli 2008

Iklan ...... Politik

Saya termasuk golongan mereka yang telat menikmati tayangan televisi swasta. Sepanjang ingatan saya, setelah RCTI berumur sekitar dua tahunan saya baru benar-benar bisa menontonnya di kota saya. Harap maklum, saya tinggal di kota yang cukup udik (saya sebut demikian karena seringkali kenalan dari Jakarta bilang tidak pernah mendengar nama kota saya).

Waktu itu yang paling menarik perhatian saya adalah tayangan iklan. Karena kebiasaan menonton TVRI yang tanpa jeda iklan komersial, di mata saya tayangan iklan yang ada di stasiun televisi swasta menjadi terlihat begitu menarik dengan banyak alasan. Ide yang unik selalu membuat saya terpesona dan berpikir betapa kreatif si empunya ide. Cerita yang lucu seringkali berhasil membuat saya terkekeh-kekeh seperti melihat acara lawak. Sudut pengambilan gambar yang pas dan indah terasa menyejukkan mata saya. Dan semua itu seringkali masih ditambah dengan keelokan fisik bintang iklannya (ehm ehm ....). Pendek kata, bagi saya tayangan iklan bukan sekedar jeda untuk mengalihkan mata, tapi justru sebaliknya, saya menganggap tayangan iklan sebagai sebuah karya kreatif yang patut untuk dinikmati, setara dengan tayangan lain, sinetron misalnya. Coba saja cermati iklan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan rokok menjelang even istimewa semisal idul fitri, natal, dan tahun baru. Indah bukan? Coba juga cermati tayangan iklan layanan masyarakat yang sarat makna. Iklan produk konsumer pun tak kalah menarik. Cuma ya itu tadi, namanya iklan seringkali provokatif dan bombastis. Misal bagaimana sebuah produk kecantikan memprovokasi perempuan untuk memutihkan kulit dan melangsingkan badannya. Atau lihat saja bagaimana seorang anak menjadi sekuat singa hanya karena memakan sekeping biskuit. Ahhhhh ...namanya juga iklan, tetap saja harus menggunakan otak untuk mencernanya. Itu tadi kata seorang teman yang banyak bergumul dengan iklan media cetak. Kepadanya juga dulu saya pernah melancarkan protes kenapa begitu banyak digunakan perempuan untuk mengantarkan sebuah iklan. Dan bagi saya seringkali penggunaannya terkesan sebagai pemaksaan. Lihat saja bagaimana sebuah produk pompa air menyuruh perempuan cantik berakting, maaf, seksi. Padahal pesan yang ingin disampaikan hanyalah bahwa pompa air tersebut dapat berfungsi dengan handal.

Nah, sudah mencermati iklan di televisi akhir-akhir ini? Sudah melihat fenomena iklan politik? Sudah pernah mencoba menghitung berapa banyak iklan politik ditayangkan dalam sehari? Tak disangkal bahwa Pemilu sudah begitu dekat. Banyak daerah juga sedang ber-Pilkada. Jadi mengiklankan diri di televisi tak pelak adalah pilihan yang cukup cerdas, walau terus terang sebagai penikmat iklan saya selalu merasa agak jengkel tiap kali tayangan iklan politik itu muncul. Sama seperti iklan penjaja produk, iklan politik juga menjual produk, entah itu partai, entah itu politisi. Dulu pertama kali melihatnya saya bertanya-tanya dalam hati, kenapa politisi-politisi ini membuat iklan diri tanpa membeberkan maksud sebenarnya kepada pemirsanya? Malah ada seorang politisi yang begitu rajin membuat iklan diri sampai mempunyai banyak versi, termasuk versi Euro Cup 2008. Perlu beberapa waktu sebelum akhirnya saya ngeh ...ooohhhh rupanya dia kepengen jadi presiden tohhhhh ......

Baiklah jika memang ini masa dimana saya harus juga menelan iklan politik. Tapi jujur saya setengah hati melakukannya. Alasannya? Yaaa.... karena walaupun iklan politik dan iklan komersial sama-sama bermaksud menjual sesuatu, tapi tetap saja ada perbedaannya. Contoh sederhana, jika saya termakan iklan komersial lalu membeli satu produk dan ternyata kemudian saya tidak cocok, maka saya tinggal membuang produk itu, tidak membeli lagi, dan kalau perlu saya akan menghubungi customer care-nya untuk menumpahkan caci maki. Sedangkan iklan politik, jika saya termakan iklan tersebut dan ternyata di kemudian hari saya merasa apa yang saya dapat tidak sesuai dengan janji-janji di iklannya, apakah saya bisa 'membuang 'politisi atau partai segampang saya membuang produk consumer? Ehmmmm...tidak akan semudah itu kannnn? Mungkin saya harus meminta bantuan berjuta-juta mahasiswa untuk melakukan 'pembuangan' itu.

Jadiiiiii ....... iklan politik tetaplah sebuah iklan produk yang seperti teman saya tadi bilang, harus dicerna dengan otak. Sebab mungkin saja kan si tokoh akrab dengan petani dan merangkul-rangkul anak kampung cuma sebagai akting, sama seperti perempuan seksi yang disewa untuk berakting menyampaikan pesan bahwa pompa air yang dipegangnya handal adanya. Padahal belum tentu kan dia sudah membuktikan sendiri kehandalan pompa air yang diusungnya.

Sooooo ..... mari mencerna dengan menggunakan otak, dan juga hati tentu saja.




Tidak ada komentar: