Namanya Pramudya. Di kantor ini
dia biasa dipanggil Pram, Mas Pram, ataupun Pak Pram. Tentu saja tergantung
siapa yang memanggil. Dan aku termasuk yang memanggilnya Pram aja. Sementara
gadis-gadis itu termasuk yang memanggilnya Mas Pram. Ya, gadis-gadis di ruang
administrasi dan logistik itu yang kumaksud. Mereka yang nyaris selalu manis
terhadap si Mas Pram. Manisnya kadang melebihi manis terhadap yang lain.
Termasuk kepadaku, bahkan kepada pak Bos Besar sekalipun. Ah, tapi siapa juga
yang bisa tidak bersikap seperti itu padanya? Toh Pram memang seorang yang baik
hati dan tidak sombong. Dia ramah dan sopan, tak pernah berkata kasar, pun
ketika marah. Semua tahu jika marah dia akan berbicara dengan kalimat
singkat-singkat tapi penuh tekanan lalu diam. Ini membuat lawan bicaranya segan
sekaligus tahu keadaan. Dan marahnya juga tak pernah lama. Dengan segala
kebaikan itu, dia masih punya kelebihan tampang. Komplit sudah. Jadilah dia
Manager kesayangan.
Ya, dia kesayangan semua. Semua
selalu peduli. Termasuk ketika dia jatuh cinta pada Reina dulu. Reina yang staf
ekspor impor itu memang si cantik segar, bagai burung kutilang yang selalu
berkicau dengan merdunya. Reina yang menyedot perhatian banyak lelaki. Dan
Reina yang dengan riang dan ringan menikmati semua itu. Tanpa beban dia
menyambut uluran tangan satu laki-laki sebelum kemudian berpindah ke yang lain.
Hingga akhirnya mulai banyak bisik-bisik tak enak tentangnya. Cukup banyak
bujangan di kantor saat itu. Yang aku tak mengerti adalah mengapa Reina
mengabaikan Pram dan lebih memilih berkencan dengan yang lain terlebih dulu.
Pram memang tak sevulgar yang lain dalam hal menunjukkan perhatiannya. Dia tak
bisa menggoda di depan banyak orang. Itu bukan gaya Pram. Dia adalah si pemalu
yang mengirimkan sinyal lewat pandangan yang berhenti beberapa detik lebih
lama, lewat senyum tipis yang mudah terkembang ketika mereka berada dalam ruang
yang sama. Seharusnya Reina mengerti itu. Tapi entah mengapa dia
mengabaikannya. Dan baru membalas ketika semua mulai berbisik-bisik tentangnya.
Dan pangeran yang nyaris sempurna itu tentu girang luar biasa dan tak peduli
dengan gunjingan apapun.
Tak butuh waktu lama bagi Pram
untuk membuat keputusan. Ketika semua sibuk bertaruh berapa lama Reina bertahan
sebelum kembali melompat, Pram sudah melingkarkan cincin pertunangan ke jari
Reina. Dan tak sampai tiga bulan kemudian undangan pernikahan telah tersebar.
Heboh. Para gadis patah hati. Para bujangan tertawa getir. Semua memberi
selamat. Tapi di balik itu tak sedikit yang menyayangkan dan memulai pertaruhan
baru berapa lama mereka bertahan dalam satu pernikahan. Semua karena Reina yang
dipilih. Terlalu banyak yang bilang itu pilihan salah. Pram terlalu cinta. Juga
terlalu naif. Reina terlalu berjiwa bebas. Diam-diam aku sepakat. Tapi
pernikahan tetap berlangsung. Reina tak lagi bekerja setelahnya.
Awalnya indah adanya. Ditandai
dengan penampilan Pram yang jelas tampak lebih terawat. Ini sudah pasti
pengaruh Reina. Pram jadi lebih rapi. Tak pernah telat bercukur ataupun potong
rambut. Kemejanya juga jadi kenal warna, tak lagi melulu seputaran putih, biru,
kelabu, dan hitam. Dia jadi tahu warna merah muda, kuning, hijau, juga ungu.
Model celananya juga up to date. Baunya
lebih wangi, dengan aroma yang berganti-ganti. Dan yang paling penting adalah
dia jadi rajin pulang sejam lebih cepat dari masa bujang dulu. Semua karena
Reina tentu saja. Dan semua mata menyaksikan semua itu dengan cemburu, tapi tak
bisa apa-apa. Toh di luar semua itu dia tetaplah Pram yang baik.
Itu tahun pertama. Menginjak
tahun kedua mulai ada suara tentang mereka berdua. Entah dari mana sumbernya,
tapi kabarnya Reina menolak untuk hamil. Sementara Pram sudah kepingin sekali
punya bayi kecil mungil yang lucu. Dia sudah rindu dipanggil Ayah atau Bapak
atau Papa. Orang mulai berbisik-bisik menyalahkan Reina, menudingnya terlalu
cinta pada bentuk tubuhnya yang memang spesial sehingga tak rela kehamilan
membuatnya berubah. Dan dalam satu acara plesir karyawan dan keluarga aku
melihat dengan mataku sendiri bagaimana Pram yang baik itu gemar menggoda
balita Pak Dahlan yang baru saja mampu berjalan, juga balita Cik Mei yang
berkucir tinggi dan berpipi gembul. Sementara Reina tak tampak tertarik dengan
itu dan asyik berkumpul dengan teman-teman lamanya. Ketika kugoda dia sudah
pantas menggendong bocah macam itu, Pram cuma tersenyum getir. Aku jadi tak
tega bertanya lebih dalam. Biarlah itu jadi urusan mereka berdua saja. Tak ada
untungnya juga aku ikut merecoki. Tapi tak urung aku kasihan padanya.
Sekarang sudah masuk tahun
keempat. Bajunya masih warna-warni. Celananya juga masih model terkini. Cukur
dan potong rambut walau sesekali telat tapi tak memperburuk rupanya. Tapi ada
yang jadi beda. Roman mukanya tak lagi secerah dulu serinya. Sering tampak
berkabut. Sering tampak merenungi sesuatu dan menggeleng lemah ketika ditanya
kenapa. Jelas dia sedang tak sepenuhnya bahagia. Tak seperti tahun-tahun
sebelumnya. Orang-orang itu mulai berbisik-bisik, Pram dan Reina banyak
bertengkar. Soal anak. Soal uang. Soal kekurangan masing-masing. Dan Pram jadi
mulai lambat lagi meninggalkan kantor, mulai kembali ke kebiasaannya semasa
bujang dulu. Seperti malam itu.
Kutemukan ruangannya masih
menyala ketika aku hendak pulang. Dia tergeragap kaget saat kuketuk kaca pintunya.
“Masih memikirkan soal
perubahan jadwal yang diminta si Javier tadi?” Javier adalah buyer yang
kutangani. Bule gemblung itu suka sekali memaju-majukan jadwal pengiriman
ordernya.
Senyumnya sekilas saja, entah
apa artinya.
“Asal kau bisa sedikit memundurkan
order EcoKane maka Javier tak akan jadi masalah. Terserah alasan apa yang akan
kau suguhkan ke orang EcoKane. Atau aku akan membuat line baru khusus untuk Javier. Tapi kau harus pastikan dia segera
turun order lagi setelah ini sesuai jumlah yang dijanjikannya. Jangan sampai
kurang. Bagus kalau bisa lebih banyak. Jangan sampai line itu kekurangan pekerjaan.”
Suaranya jernih seperti biasa.
Sudah ada solusi di kepalanya. Seharusnya tak ada masalah yang menahannya tetap
duduk disana.
“Lalu?”
“Apa?”
“Lalu kenapa kau masih ada
disini, itu maksudku.”
Dia mengusap wajahnya
kuat-kuat, seperti sedang berusaha mengenyahkan semua yang menempel di sana.
“Sebentar lagi aku pulang.”
Entah kenapa aku bukannya pergi
tapi malah duduk di kursi di depan mejanya, menatapi kedua matanya yang
ternyata berkantong. Kemarin-kemarin rasanya tak ada kantong-kantong itu. Kini
mata itu keruh. Aku jadi berpikir mungkin apa yang dibisikkan orang-orang itu
benar, bahwa ada yang tidak seindah dulu. Ah, apakah mata Reina juga berkantong
dan keruh seperti itu? Bagaimana jadinya rupanya? Masih cantikkah? Susah juga
membayangkan karena Reina yang kutahu selalu sempurna.
“Kenapa kau tak segera
menikah?”
Pertanyaannya datang tiba-tiba.
Tapi aku tak kaget. Juga sudah terbiasa dengan pertanyaan macam itu. Pertanyaan
yang bisa datang dari siapa saja ketika umur sudah melampaui angka tiga puluh enam.
Bahkan dari seorang yang baik hati sepertinya.
“Belum ada yang cocok di hati.
Dan aku juga belum cocok di hati perempuan manapun.”
Dia nyengir, seperti sedikit
terhibur dengan jawaban kliseku.
“Memang yang bagaimana yang
cocok untukmu?”
“Yang tidak bawel. Yang tidak
penuntut. Yang tidak materialistis.”
“Ada yang seperti itu?”
Tahu-tahu kami tergelak
bersama.
“Kau tak kepingin ada yang menunggumu
di rumah? Ada yang mengurus keperluan hidupmu. Ada yang kau hidupi. Ada yang menyandang namamu. Dan ada
ada yang lain .....?”
Jika pertanyaan ini benar
keluar dari hatinya maka aku bisa memastikan bisik-bisik di balik punggungnya
itu salah belaka. Artinya hidupnya baik-baik saja. Artinya Reina yang cantik
benar membahagiakannya. Artinya dia adalah Pram yang baik dan bahagia. Betapa
sempurna dan indah hidupnya.
“Kau masih ingat hidupmu ketika
bujang dulu, Pram?”
Dia mengerutkan kedua alisnya
hingga bertaut.
“Ya, masa ketika kau bebas
tidur dan bangun kapan saja kau mau. Bebas mengenakan baju apapun, bahkan
ketika warna dan motifnya tabrak lari tak karuan. Tak ada yang mengomel walau seharian
tak mandi sekalipun. Pulang kerja bebas mampir kemanapun yang kau mau. Bebas
menghamburkan uangmu untuk gadget,
buku, atau sekedar dongkrak mobil. Bebas menonton bola jam berapapun dan
dimanapun kau mau. Yakin kau tak pernah kangen dengan masa itu?”
Tawanya kecil saja. Dia
menudingku. Katanya, “Kau memang liberalis! Di matamu perempuan jadi seperti
penjajah.”
“Tidak juga. Perempuan yang
tepat pasti akan membahagiakan. Karena itu aku perlu yang tepat.”
“Tepat? Padahal tak ada yang
sempurna........”
Tak ada yang sempurna. Siapa
yang tak sempurna? Reina termasuk yang tak sempurna? Yang kutahu orang-orang
menganggap dirinya tak cukup punya kekurangan sebagai laki-laki. Dan aku
sepakat dengan mereka.
Selepas kalimat itu dia
membereskan mejanya lalu mengajakku pergi. Kami tak berkata-kata lagi. Aku jadi
tak punya alasan untuk mendetail apa yang tak sempurna tadi. Dia membunyikan
klakson satu kali sebelum melajukan mobilnya.
Lalu kini mukanya tambah sering
keruh. Lalu kabar baru mulai berhembus. Reina minta cerai. Pram mengabulkan.
Tapi mestinya tak dengan hati ringan. Karena jika demikian mukanya tak akan
sekeruh comberan. Mulutnya tetap terkunci. Tapi seperti biasa, bisik-bisik
terus beredar seperti lebah yang tak bosan menggumam. Ada yang menghujat Reina
tak tahu bersyukur, terus menuntut ini itu pada pangeran yang baik hati itu. Yang
lain bercerita Pram memaksa ingin anak, tapi Reina tetap tak mau. Mulut yang
lain lagi bilang Pram tak bisa lagi mengendalikan istrinya yang cantik jelita
itu. Dan seperti biasa, mulut Pram tetap terkatup. Tak berusaha membuat mereka
berhenti mendengung. Tak peduli apa yang mereka bisikan dan tinggal di kantor
lebih lama. Lalu ketika tak juga ada penjelasan mulai ada saja yang kulihat
berusaha mendekat padanya, para gadis di ruang administrasi dan logistik itu.
Bahkan Yessi; janda manis, bagian akunting yang pendiam dan pemalu; juga ikut
tertarik urun perhatian. Beberapa kali dengan sengaja dia mengambil tempat
semeja dengan Pram saat makan siang, hal yang selama ini tak pernah
dilakukannya. Bukti daya tarik Pram masih tak melemah. Tapi si magnet itu tetap
keruh wajahnya, tetap terkunci rapat mulutnya, juga tak merespon apa-apa.
Kurasa hatinya terkunci masih pada Reina.
Sudah lebih dari jam tujuh
malam ketika aku lewat ruangannya. Sebenarnya aku tak hendak mampir tapi dia
melambaikan tangannya, memanggilku masuk.
“Kau pulang sekarang?”
“Ya. Kenapa?”
“Aku numpang ya? Mobilku ada di
bengkel.”
Hal yang tak biasa, tapi biar
saja. Toh, tak ada ruginya mengangkut dia walau sampai rumahnya sekalipun. Aku
malah senang. Sepanjang jalan dia lebih banyak bisu. Kalaupun bicara cuma
pendek-pendek saja. Lalu terus-terusan menatap ke luar lewat kaca samping. Kubiarkan
saja dia begitu, kadang orang perlu waktu untuk merenung.
“Kau tak ada janji dengan
kekasihmu malam ini?”
Hehh, kekasih ....?! Pertanyaan
yang mengejutkan. Karena isinya, juga karena terlontar setelah bermenit-menit
mulutnya diam.
“Tak ada. Kenapa?”
“Makan dulu, yuk? Aku lapar
sekali.“
“Boleh. Makan apa?”
Katanya apa saja. Ah, mereka
yang sedang berkabung memang biasanya tak punya cukup selera untuk memilih
makanan. Kubawa dia ke sop kaki kambing langgananku. Kupikir uap panasnya bisa
membantu sedikit menghangatkan hatinya.
“Mau?”
Dia mengangguk, lalu
pelan-pelan duduk di salah satu bangku.
“Reina juga suka makan disini.”
Aku jadi
menyesal. Seharusnya aku membawanya ke tempat lain. Mukanya sendu ketika
meniup-niup kuah di sendoknya. Mungkin dia juga tengah berusaha meniup pergi
kenangan Reina pernah duduk di satu bangku disitu.
“Bagaimana
kabarnya?”
“Siapa?”
“Reina.”
Kuusahakan sehati-hati mungkin
menyebut nama itu. Aku berjanji tak akan mengulangi pertanyaanku jika dia tutup
mulut. Tapi ternyata setelah menghela nafas dia menjawab.
“Dia di
rumah orangtuanya sekarang. Kau sudah dengar soal kami, kan? Aku tahu
orang-orang membicarakanku.”
“Jadi
benar berita itu?”
Dia
mengangguk sambil menyingkirkan mangkuk sopnya ke samping; sisa separuh. Begitu
juga nasinya.
“Kenapa?”
“Aku
juga tak cukup mengerti..... Kupikir aku tak bodoh. Tapi dalam hal ini aku bodoh
sekali.”
Wajahnya
memang tampak tolol dan lelah. Dia bukan si pintar yang biasanya.
“Terus
bagaimana?”
Dia
mengendikkan bahunya, membayar makanan kami, lalu mengajakku beranjak. Kupikir
saatnya aku antar dia pulang. Tapi ternyata tidak. Malam ini sungguh dia
mengejutkan. Tak dinyana dia minta ditemani ke klab. Hal yang tak pernah
kubayangkan. Katanya dia kepingin minum sedikit. Kubawa dia ke hotel. Dan aku
takjub melihatnya meneguk cairan itu. Meneguknya lagi, lagi, dan lagi. Lalu
dengan badan bersandar di sofa dia mulai bicara. Matanya tertutup.
“Susah
sekali mengertinya .... Selalu ada yang tak betul...... Apa perempuan semua
begitu?”
Aku tak
tahu. Aku tak punya pengalaman.
“Perempuan
itu aneh sekali ....”
“Aneh
bagaimana?”
Jawabannya
berupa gumaman, tapi aku masih bisa menangkap jelas.
“Padaku
dia bilang belum siap punya anak. Katanya nanti saja ketika rumah sudah lebih
besar dan kita tak lagi banyak bertengkar. Tapi sekarang dia minta cerai karena
ada anak laki-laki itu di perutnya. Dia sungguh menghinaku! Padahal aku
mencintainya setengah mati......”
Aku diam
karena kaget. Dia juga diam, mungkin karena tambah mabuk. Tak ada lagi
kata-kata dari mulutnya. Kubiarkan begitu lebih dari sejam. Lalu kupapah dia
keluar.
“Kepalaku
pusing,” keluhnya di dalam mobil.
“Kau
mabuk.”
Tanpa
meminta persetujuannya, kubawa dia ke tempatku. Dia muntah-muntah di kamar mandi
sebelum akhirnya lelap di kasurku.
Pagi dia
bangun dengan kusut dan awut-awut, menghampiriku di meja makan.
“Untung
kau membawaku kesini. Rumahku kosong.”
Persis
seperti yang kuduga. Kusorongkan kopi panas untuknya. Juga roti dan selai.
“Cuma
ada itu untuk sarapan.”
“Tak
apa. Maaf, aku merepotkanmu semalam.”
“Tak
masalah. Aku juga mabuk kadang-kadang.”
“Aku mengoceh
apa saja?”
“Cuma
soal Reina minta cerai darimu. Kau banyak bergumam, aku tak bisa jelas
mendengar.” Kuputuskan sedikit berbohong. Dia bukan tipikal yang gampang
menceritakan masalahnya. Pasti dia tak bermaksud mengungkap soal kehamilan
Reina. Pasti itu aib yang ingin dia tutup rapat. Aib yang menyangkut harga
dirinya sebagai laki-laki.
Dia
mengangguk. “Begitulah ...”
“Terus?”
“Biarlah,
kuberikan saja apa maunya. Tak ada yang perlu dipertahankan.” Matanya mengamati
sekeliling. “Rumahmu rapi sekali. Kau membersihkannya sendiri?”
Aku
mengerti itu sebuah pengalihan pembicaraan.
“Ya. Aku
tinggal sendiri. Juga jarang ada tamu. Jadi gampang membersihkannya.”
Dia
menatap arlojinya. Setengah jam lagi kami harus berangkat ke kantor.
“Mandilah.
Pakai kemejaku. Ambil sendiri di almari. Rasanya ukuran kita tak jauh beda.
Pakai celanaku kalau kau mau. Ada satu yang masih baru dan belum pernah
kupakai. Masih ada labelnya menempel.”
Diteliti
badannya. “Aku pinjam kemeja saja. Celana tak usah, masih bisa pakai ini.”
“Ada
handuk bersih rak itu. Juga sikat gigi baru.”
Keluar
dari kamar mandi, lagi dia mengeluh kepalanya sakit. Juga loyo. Kutawarkan obat
pusing. Tapi dia menggeleng, meneguk sisa kopinya, mengambil lagi selembar roti.
“Bagaimana
kalau aku agak siang saja ke kantornya?”
“Terserah
kau. Nanti kusampaikan kau sedang tak enak badan.”
“Aku
tiduran dulu disini tidak apa-apa ya?”
Tentu
aku tak keberatan.
Jadilah aku berangkat sendiri.
Katanya nanti dia akan memanggil taksi. Seandainya tak ada janji factory visit dengan Chester Hogan pasti
aku temani dia leyeh-leyeh di rumah.
Sepanjang
hari itu aku menikmati hangat hatiku. Dan lebih hangat lagi melihatnya datang
dengan kemejaku, putih bergaris biru. Standar sekali warna pilihannya. Dia
menekuk lengannya hingga sesiku, mungkin karena kepanjangan. Ketika menjabat
tangan Chester, kulihat wajahnya sedikit lebih cerah. Pasti efek tidur tambahan
tadi, di kasurku.
Sore
hampir gelap. Dia masuk ke ruanganku.
“Terima
kasih untuk semalam. Aku kacau akhir-akhir ini. Jungkir balik rasanya.”
“Tak
apa. Aku pernah jauh lebih mabuk darimu.”
“Ehmm....
apapun yang kau dengar dariku semalam tolong simpan untukmu saja.”
“Ya. Aku
mengerti itu urusan pribadimu.”
Dia
bangkit dari kursi, mencangklongkan tas ke bahunya.
“Kau
pulang sekarang?”
“Ya.
Kepingin tidur awal.”
“Mau
menumpang lagi? Aku tinggal menunggu satu e-mail
keluar dari outbox-ku.”
Dia
menggeleng. “Terima kasih. Tapi tadi siang orang bengkel sudah mengantar
mobilku kemari. Lagipula, aku takut akan memaksamu ke klab kalau menumpang
lagi.” Dia mencoba bercanda.
“Tak
apa, asal kau masih betah tidur di rumah bujanganku.”
Senyumnya terkembang cukup
lebar. “Kapan-kapan kalau perlu aku akan menumpang kau lagi. Asal kau tak kapok
saja.”
Dia
mungkin sudah melaju dalam mobilnya di jalan sana sekarang. Tapi aku masih
duduk, mengingat, dan melihatnya jelas di pikiranku. Dia yang kupapah. Dia yang
tidur bergelung di kasurku, memeluk erat gulingku. Dia yang mereguk kopi
buatanku dari mugku, dan mengunyah roti di meja makanku. Dia yang menyeka
badannya dengan handukku, lalu mengenakan kemejaku...... Ya, memang cuma itu,
tapi sungguh sekelumit yang menyenangkan. Sungguh menghangatkan hati. Seperti sebuah
kado indah yang tiba-tiba saja kudapatkan setelah sekian lama menata sikap
terhadapnya. Ah, tapi dia tak perlu tahu .....
***
2 komentar:
Ternyata ada secret admire buat pram ya...
heheheeh iya mbak Icha... terima kasih sudah berkunjung :D
Posting Komentar