Selasa, 06 Mei 2008

makan buah (kita) yuuuuukkkk....?


Sudah lihat pesan Prabowo Subianto dqn HKTI di televisi kan? Saya sudah melihat beberapa versi dari pesan tersebut. Dan terus terang jadi kepikiran. Bukan si pemberi pesan yang saya pikirkan (karena memang saya tidak mengidolakan beliaunya ...hehhehe maaf ya Pak Prabowo). Tapi isi pesannya, pesan tentang ajakan untuk mengkonsumsi buah-buahan, sayuran, dan hasil produksi petani lokal kita. Pesan ini membuat saya tersadar bahwa saya termasuk yanglebih banyak mengkonsumsi buah import daripada hasil tanaman petani negeri sendiri. Salahkah? Entahlah, tapi saya jadi merasa sedikit berdosa karena pesan itu.

Sebenarnya awalnya saya memilih buah import semata karena rasa dan mampu membelinya. Terus terang saya lebih memilih jeruk kuning bule daripada jeruk hijau kita karena rasanya lebih manis dan kuit arinya lebih tipis. Saya juga lebih memilih apel fuji daripada apel Malang. Saya juga suka membeli pir, kelengkeng, strawberry, anggur, leci, dan pisang yang entah datang dari belahan bumi sebelah mana, yang pasti bukan termasuk wilayah Indonesia. Setelah saya pikir-pikir buah lokal yang masih sering saya makan tinggal rambutan, salak, dan mangga.

Lalu tempo hari saya mengenang masa kecil dengan teman sekantor. Kebetulan dia lahir cuma lima tahun lebih dahulu dibandingkan saya. Otomatis apa yang kami temui di masa kecil relatif sama. Termasuk macam-macam tanaman dan buah. Kami mengenang masa-masa menikmati buah mentega, rukem, jirak, jambu dersono, jambu sukun, kenitu, buah natal, juwed, keres, ciplukan, dan jenis buah lain yang sekarang tak lagi pernah kami temukan. Lalu kami berpandangan dan bertanya, kemana buah-buah itu sekarang?

Apa yang dipesankan oleh Prabowo Subianto dan HKTI sedikit banyak memberi jawaban atas bagi pertanyaan kami tadi. Bagaimana buah-buah itu ada kalau tidak dihargai keberadaannya? Mungkin kurang lebih seperti itu. Sebab buah dan tanaman lokal kita biasanya baru dihargai setelah ada yang berhasil membuktikan khasiatnya. Misalnya, jambu biji baru ngetren setelah digaungkan punya khasiat untuk membantu para penderita demam berdarah. Namanya pun jadi keren, karena semua orang lebih suka menyebutnya dengan guava daripada memanggilnya jambu biji. Hal yang sama terjadi juga pada buah pace yang langsung in setelah didengungkan membantu para penderita asam urat dan kolesterol.

Seorang teman dari Malaysia bertanya pada saya, Indonesia yang punya semuanya termasuk aneka ragam flora fauna dan kandungan perut bumi mengapa tidak bisa menjadi seperti Jerman? Pertanyaan yang membungkam saya hingga seperti ada plester melintang tepat di bibir saya. Lalu seorang teman yang lain mendapatkan warisan beberapa hektar sawah bercerita bahwa biaya produksi untuk yang dikeluarkan petani padi lebih besar daripada hasil penjualan gabah atau berasnya, alias merugi. Lalu kenapa tetap melanjutkan usaha itu, tanya saya. Dia bilang lumayan jadi tak perlu takut kekurangan beras karena walau biaya produksi tak tertutup dengan hasil panen tapi toh dia bisa menomboki dengan hasil kerja kantoran. Lalu bagaimana para petani lain yang menjadikan bertani adalah sandaran hidupnya, tanya saya. Dia mengangkat bahu. Saya jadi miris. Padahal saya pernah baca di sebuah artikel bahwa pemerintah negara-negara maju memberikan segala macam subsidi kepada petaninya, sehingga mereka hidup makmur dengan profesi itu.

Tentu tak salah membeli dan memakan buah import. Toh tidak mencurinya kan? Tapi saya jadi tidak enak hati juga..... Kepikir juga mungkin satu usaha kecil yang saya lakukan ada artinya bagi orang lain. Yaaaa ...mungkin tak perlu memaksakan diri untuk menelan jeruk hijau yang saya tidak suka karena kulit arinya yang tebal. Toh saya masih bisa menelan salak pondoh. Dan hari ini saya benar-benar meletakkan kembali buah pir China setelah menimangnya beberapa saat. Sebagai gantinya saya berencana membeli rujak buah dengan special request bengkoangnya yang banyak dan sambal kacang yang pedas..... ehmmm, sedaaaaaappppp .........!!!

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mbak Ina benar, itu dalam haditsnya undzur ma qalaa wa laa tandzur man qalaa. Perhatikan apa yang menjadi muatan (content) pembicaraan dan jangan peduli siapa yaqng menyatakan. Tapi tidak salah pula 'kan kalau orang kemudian simpati dan mendukung pak Prabowo jika nanti bersedia memimpin bangsa ini menuju kemandirian dan kedaulatan pangan serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa kita yang akhir-akhir ini sering dilecehkan negeri jiran...?